“Allah angkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan yang diberikan ilmu di antara mereka.” [Al-Mujadilah: 11]

Minggu, 27 Desember 2009

Nasehat-Nasehat Para Ulama Salaf

بسم الله الرحمن الرحيم

Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.” (Ibnu Nashr, 30, Al-Lalikai 1/88 no. 114, dan Al-Ibanah 1/320 no. 161)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.” (Al-I’tisham, 1/112)

Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)

Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
Berhati-hatilah kamu, jangan sampai menulis masalah apapun dari ahli ahwa’, sedikit atau pun banyak. Berpeganglah dengan Ahlul Atsar dan Ahlus Sunnah.” (As-Siyar, 11/231)

Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:
Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih meskipun seluruh manusia menolakmu dan jauhilah pendapat orang-orang (selain mereka) meskipun mereka menghiasi perkataannya terhadapmu.” (Asy-Syari’ah hal. 63)

(Lammuddurril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi)

Introspeksi Diri

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri kerena Allah Subhanahu wa ta’ala semata.”
Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
Sesungguhnya seorang mukmin (apabila) dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya maka dia pun berbisik: ‘Demi Allah, sungguh aku benar-benar sangat menginginkanmu, dan sungguh kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan tetapi demi Allah, tiada (alasan syar’i) yang dapat menyampaikanku kepadamu, maka menjauhlah dariku sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi antara aku denganmu’.”
Dan (jika) tanpa sengaja dia melakukan sesuatu yang melampaui batas, segera dia kembalikan pada dirinya sendiri sembari berucap: ‘Apa yang aku maukan dengan ini semua, ada apa denganku dan dengan ini? Demi Allah, tidak ada udzur (alasan) bagiku untuk melakukannya, dan demi Allah aku tidak akan mengulangi lagi selama-lamanya, insya Allah’.”
Sesungguhnya seorang mukmin adalah suatu kaum yang berpegang erat kepada Al Qur`an dan memaksa amalan-amalannya agar sesuai dengan Al Qur`an serta berpaling dari (hal-hal) yang dapat membinasakan diri mereka.”
Sesungguhnya seorang mukmin di dunia ini bagaikan tawanan yang (selalu) berusaha untuk terlepas dari perbudakan. Dia tidak pernah merasa aman dari sesuatupun hingga dia menghadap Allah, karena dia mengetahui bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas semua itu.”
“Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling diutamakan.”(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 39, 40, 41)

Cinta Dunia Merupakan Dosa Besar

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
Tidaklah aku merasa heran terhadap sesuatu seperti keherananku atas orang yang tidak menganggap cinta dunia sebagai bagian dari dosa besar.
Demi Allah! Sungguh, mencintainya benar-benar termasuk dosa yang terbesar. Dan tidaklah dosa-dosa menjadi bercabang-cabang melainkan karena cinta dunia. Bukankah sebab disembahnya patung-patung serta dimaksiatinya Ar-Rahman tak lain karena cinta dunia dan lebih mengutamakannya? (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 138)

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
Telah sampai kepadaku bahwasanya akan datang satu masa kepada umat manusia di mana pada masa itu hati-hati manusia dipenuhi oleh kecintaan terhadap dunia, sehingga hati-hati tersebut tidak dapat dimasuki rasa takut terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan itu dapat engkau ketahui apabila engkau memenuhi sebuah kantong kulit dengan sesuatu hingga penuh, kemudian engkau bermaksud memasukkan barang lain ke dalamnya namun engkau tidak mendapati tempat untuknya.”

Beliau rahimahullahu berkata pula:
Sungguh aku benar-benar dapat mengenali kecintaan seseorang terhadap dunia dari (cara) penghormatannya kepada ahli dunia.”(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 120)

Kejelekan-kejelekan Harta

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
Isa bin Maryam ‘alaihissalam bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak.”
Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?”
Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.”
Mereka menukas: “Jika haknya sudah ditunaikan?”
Beliau menjawab: “Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.”
Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?
Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan dari dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala).”

(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)

Beliau rahimahullahu berkata:
Kelebihan dunia adalah kekejian di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.
Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan kelebihan dunia?”
Beliau menjawab: “Yakni engkau memiliki kelebihan pakaian sedangkan saudaramu telanjang; dan engkau memiliki kelebihan sepatu sementara saudaramu tidak memiliki alas kaki.”

(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 76)

Sabar Saat Mendapat Musibah

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata:
Kebaikan yang tiada kejelekan padanya adalah bersyukur ketika sehat wal afiat, serta bersabar ketika diuji dengan musibah. Betapa banyak manusia yang dianugerahi berbagai kenikmatan namun tiada mensyukurinya. Dan betapa banyak manusia yang ditimpa suatu musibah akan tetapi tidak bersabar atasnya.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 158)
Beliau rahimahullahu juga berkata:
Tidaklah seorang hamba menahan sesuatu yang lebih besar daripada menahan al-hilm (kesantunan) di kala marah dan menahan kesabaran ketika ditimpa musibah.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 62)

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
Tiga perkara yang merupakan bagian dari kesabaran; engkau tidak menceritakan musibah yang tengah menimpamu, tidak pula sakit yang engkau derita, serta tidak merekomendasikan dirimu sendiri.” (Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)

Beragam Tujuan dalam Menuntut Ilmu

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
Janganlah kalian mempelajari ilmu karena tiga hal: (1) dalam rangka debat kusir dengan orang-orang bodoh, (2) untuk mendebat para ulama, atau (3) memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian. Carilah apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ucapan dan perbuatan kalian. Karena, sesungguhnya itulah yang kekal abadi, sedangkan yang selain itu akan hilang dan pergi.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/45)

Ishaq ibnu Ath-Thiba’ rahimahullahu berkata: Aku mendengar Hammad bin Salamah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mencari (ilmu, -pen.) hadits untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat makar atasnya.”
Waki’ rahimahullahu berkata:
Tidaklah kita hidup melainkan dalam suatu tutupan. Andaikata tutupan tersebut disingkap, niscaya akan memperlihatkan suatu perkara yang besar, yakni kejujuran niat.”

Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata:
Menuntut ilmu yang merupakan perkara yang wajib dan sunnah yang sangat ditekankan, namun terkadang menjadi sesuatu yang tercela pada sebagian orang. Seperti halnya seseorang yang menimba ilmu agar dapat berjalan bersama (disetarakan, -pen.) dengan para ulama, atau supaya dapat mendebat kusir orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan mata manusia ke arahnya, atau supaya diagungkan dan dikedepankan, atau dalam rangka meraih dunia, harta, kedudukan dan jabatan yang tinggi. Ini semua merupakan salah satu dari tiga golongan manusia yang api neraka dinyalakan (sebagai balasan, -pen.) bagi mereka.”

(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 10-11, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin

Larangan Berfatwa Tanpa Bimbingan Salafush Shalih

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
Siapa saja yang mengatakan sesuatu dengan hawa nafsunya, yang tidak ada seorang imampun yang mendahuluinya dalam permasalahan tersebut, baik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun para sahabat beliau, maka sungguh dia telah mengadakan perkara baru dalam Islam. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Barangsiapa yang mengada-ada atau membuat-buat perkara baru dalam Islam maka baginya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, dan manusia seluruhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima infaq dan tebusan apapun darinya’.”

Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata kepada sebagian muridnya:
Hati-hati engkau, (jangan, -pen.) mengucapkan satu masalah pun (dalam agama pen.) yang engkau tidak memiliki imam (salaf, -pen.) dalam masalah tersebut.”

Beliau rahimahullahu juga berkata dalam riwayat Al-Maimuni:
Barangsiapa mengatakan sesuatu yang tidak ada imam atasnya, aku khawatir dia akan salah.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:
Adapun para imam dan para ulama ahlul hadits, sungguh mereka semua mengikuti hadits yang shahih apa adanya bila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat, generasi sesudah mereka (tabi’in) atau sekelompok dari mereka. Adapun sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh dikerjakan. Karena sesungguhnya tidaklah mereka meninggalkannya melainkan atas dasar ilmu bahwa perkara tersebut tidak (pantas, -pen.) dikerjakan.”

(An-Nubadz Fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 113-115, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin )

Sebab Hilangnya Agama

Abdullah bin Mas’ud berkata:
Jangan ada dari kalian taklid kepada siapapun dalam perkara agama sehingga bila ia beriman (kamu) ikut beriman dan bila ia kafir (kamu) ikut pula kafir. Jika kamu ingin berteladan, ambillah contoh orang-orang yang telah mati, sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah”.

Abdullah bin Ad-Dailamy berkata:
Sebab pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya As Sunnah (ajaran Nabi). Agama ini akan hilang Sunah demi Sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas”.

Abdullah bin ‘Athiyah berkata:
Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama kecuali Allah akan mencabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya. Dan Sunnah itu tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat”.

Az-Zuhri berkata:
Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu akan dicabut dengan segera. Tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedangkan hilangnya ilmu maka hilang pula semuanya”.
Diambil dari kitab Lammudurul Mantsur Minal Qaulil Ma’tsur yang disusun oleh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsy.

Lakukanlah Hal-hal yang Bermanfaat

‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata:
Barangsiapa beranggapan perkataannya merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya) menjadi sedikit perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat baginya.”

‘Umar bin Qais Al-Mula’i rahimahullahu berkata:
Sseorang melewati Luqman (Al-Hakim) di saat manusia berkerumun di sisinya. Orang tersebut berkata kepada Luqman: “Bukankah engkau dahulu budak bani Fulan?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan itu?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu bertanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu meraih kedudukan sebagaimana yang aku lihat ini?” Luqman menjawab: “Selalu jujur dalam berucap dan banyak berdiam dari perkara-perkara yang tiada berfaedah bagi diriku.

Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu bahwasanya beliau berkata:
Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.”

Sahl At-Tustari rahimahullahu berkata:
Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.”

Ma’ruf rahimahullahu berkata: “Pembicaraan seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya merupakan kehinaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuknya).”

(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294)

Orang Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya

Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata:
Ada tiga (golongan) yang tidak boleh diambil ilmunya, (yakni): (1) Seseorang yang tertuduh dengan kedustaan, (2) Ahlul bid’ah yang mengajak (manusia) kepada kebid’ahannya, dan (3) seseorang yang dirinya didominasi oleh keraguan serta kesalahan-kesalahan.

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata:
Tidak boleh seseorang mengambil ilmu dari empat (jenis manusia) dan boleh mengambilnya dari selain mereka (yaitu): (1) Ilmu tidak diambil dari orang-orang bodoh, (2) Tidak diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya, (3) Tidak pula dari seorang pendusta yang biasa berdusta dalam pembicaraan-pembicaraan manusia meskipun tidak tertuduh berdusta pada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Tidak pula dari seorang syaikh yang memiliki keutamaan, keshalihan serta ahli ibadah tetapi dia tidak lagi mengetahui apa yang tengah dibicarakannya.” (n-Nubadz fi ‘Adab Thalabil ‘Ilmi, hal. 22-23)

Musibah

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
Menangislah kalian atas orang-orang yang ditimpa bencana. Jika dosa-dosa kalian lebih besar dari dosa-dosa mereka (yang ditimpa musibah, red), maka ada kemungkinan kalian bakal dihukum atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat, sebagaimana mereka telah mendapat hukumannya, atau bahkan lebih dahsyat dari itu.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 73)
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar menjanjikan adanya ujian bagi hamba-Nya yang beriman, sebagaimana seseorang berwasiat akan kebaikan pada keluarganya.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 111)
“Tidak ada musibah yang lebih besar dari musibah yang menimpa kita, (di mana) salah seorang dari kita membaca Al-Qur’an malam dan siang akan tetapi tidak mengamalkannya, sedangkan semua itu adalah risalah-risalah dari Rabb kita untuk kita.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 32)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
Seorang mukmin itu berbeda dengan orang kafir dengan sebab dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, membenarkan apa saja yang dikabarkan oleh para Rasul tersebut, menaati segala yang mereka perintahkan dan mengikuti apa saja yang diridhai dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bukannya (pasrah) terhadap ketentuan dan takdir-Nya yang berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan-kemaksiatan. Akan tetapi (hendaknya) dia ridha terhadap musibah yang menimpanya bukan terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang telah dilakukannya. Maka terhadap dosa-dosanya, dia beristighfar (minta ampun) dan dengan musibah-musibah yang menimpanya dia bersabar.”
(Makarimul Akhlaq, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah, hal. 281)

Dikutip dari http://www.asysyariah.com kumpulan permata salaf.

CARA MENCINTAI ALLAH DAN RASULNYA


بسم الله الرحمن الرحيم

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Ali Imran: 31)

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, "Tidaklah beriman (secara sempurna) salah seorang dari kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia." (HR. Al-Bukhari)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kecintaan kepada Allah adalah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Menta'ati apa yang beliau perintahkan dan meninggalkan apa yang beliau larang, menurut hadits-hadits shahih yang beliau jelaskan kepada umat manusia. Tidaklah kecintaan itu dengan banyak bicara dengan tanpa mengamalkan petunjuk, perintah dan sunnah-sunnah beliau. Adapun hadits shahih di atas, ia mengandung pengertian bahwa iman seorang muslim tidak sempurna, sehingga ia mencintai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam melebihi kecintaannya terhadap anak, orang tua dan segenap manusia, bahkan sebagaimana ditegaskan dalam hadits lain hingga melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri.

Pengaruh kecintaan itu tampak ketika terjadi pertentangan antara perintah-perintah dan larangan-larangan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam dengan hawa nafsunya, keinginan isteri, anak-anak serta segenap manusia di sekelilingnya. Jika ia benar-benar mencintai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam, ia akan mendahulukan perintah-perintahnya dan tidak menuruti kehendak nafsunya, keluarga atau orang-orang di sekelilingnya. Tetapi jika kecintaan itu hanya dusta belaka maka ia akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu menuruti setan dan hawa nafsunya.


Jika anda menanyakan kepada seorang muslim, "Apakah anda mencintai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam ?" Ia akan menjawab, "Benar, aku korbankan jiwa dan hartaku untuk beliau."

Tetapi jika selanjutnya ditanyakan, "Kenapa anda mencukur jenggot dan melanggar perintahnya dalam masalah ini dan itu, dan anda tidak meneladaninya dalam penampilan, akhlak dan ketauhidan Nabi?"
Dia akan menjawab, "Kecintaan itu letaknya di dalam hati. Dan alhamdulillah, hati saya baik."

Kita mengatakan padanya, "Seandainya hatimu baik, niscaya akan tampak secara lahiriah, baik dalam penampilan, akhlak maupun keta'atanmu dalam beribadah mengesakan Allah semata. Sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda,


"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Bila ia baik maka akan baiklah seluruh jasad itu, dan bila ia rusak maka akan rusaklah seluruh jasad itu. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Suatu kali, penulis bersilaturrahim kepada seorang dokter muslim. Penulis melihat banyak gambar orang laki-laki dan perempuan di pajang di dinding. Penulis lalu mengingatkannya dengan larangan Rasulullah dalam soal memajang gambar-gambar. Tetapi ia menolak sambil mengatakan, "Mereka kawan-kawan saya di universitas." Padahal sebagian besar dari mereka adalah orang-orang kafir. Apalagi para wanitanya yang memperlihatkan rambut dan perhiasannya di dalam gambar tersebut, dan mereka berasal dari negeri komunis. Sang dokter ini juga mencukur jenggotnya. Penulis berusaha menasihati, tetapi ia malah bangga dengan dosa yang ia lakukan, seraya mengatakan bahwa ia akan mati dalam keadaan mencukur jenggot.

Suatu hal yang mengherankan, dokter yang melanggar ajaran-ajaran Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam tersebut mengaku bahwa ia mencintai Nabi. Kepada penulis ia berkata, "Katakanlah wahai Rasulullah, aku ada dalam perlindunganmu!" Dalam hati penulis berkata, "Engkau mendurhakai perintahnya, bagaimana mungkin akan masuk dalam perlindungannya. Dan, apakah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam akan rela dengan syirik tersebut?

Sesungguhnya kita dan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam berada di bawah perlindungan Allah semata."
Kecintaan kepada Rasulullah adalah tidak dengan menyelenggarakan peringatan, pesta, berhias, dan menyenandungkan syair yang tak akan lepas dari kemungkaran. Demikian pula tidak dengan berbagai macam bid'ah yang tidak ada dasarnya dalam ajaran syari'at Islam. Tetapi, kecintaan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam adalah dengan mengikuti petunjuknya, berpegang teguh dengan sunnahnya serta dengan menerapkan ajaran-ajarannya.

Sungguh, alangkah indah ungkapan penyair tentang kecintaan sejati di bawah ini.

"Jika kecintaanmu itu sejati,niscaya engkau akan menta'atinya. Sesungguhnya seorang pecinta, kepada orang yang dicintainya akan selalu ta'at setia."

sumber : kitab AL FIRQOTUN NAAJIYAH/ JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT/karya:Syaikh Muhammad Jamil Zainu/(BAGIAN34)

Liang Kubur Awal Perjalanan Kita di Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم

Khalifah kaum muslimin yang keempat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.

Suatu hari ada seorang yang bertanya:

تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟

“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد منه

“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)

Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:

Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.

Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’

Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.

Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.

Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.

Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:

لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط

“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)

Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)

Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.

Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)

Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.

Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:

1. Ikhlas
2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan landasan dua syarat di atas.

Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))

Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, amin.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)

***

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Sabtu, 26 Desember 2009

PENGERTIAN "WAHABI"

بسم الله الرحمن الرحيم

Orang-orang biasa menuduh "wahabi" kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits shahih . Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo'a (memohon) hanya kepada Allah semata.

Suatu kali, di depan seorang syaikh, penulis (Syaikh Zainu) membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawawiyah. Hadits itu berbunyi:

"Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih )

Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imam An-Nawawi ketika beliau mengatakan, "Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya menurut tradisi di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela."

Lalu kepada syaikh tersebut, penulis (Syaikh Zainu) katakan, "Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah."

Syaikh itu lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!"

Penulis lalu bertanya, "Apa dalil anda?" Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, "Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd!" dan Aku bertanya padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?" Ia menjawab, "Aku berdo'a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku."

Lalu penulis berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu."

Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."

Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya."

Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh."

Kemudian penulis (Syaikh Zainu) tanyakan jama'ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.

Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, "Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu' (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati)."

Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,

"Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan…", dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.

Kemudian syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahihnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur'anul Karim dan sunnah Nabi. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi . Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,

"Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." (Al-Hujurat: 11)

Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi'i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, "Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah."

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, "Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi."

Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, "Inilah syaikh yang sesungguhnya!"

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa'ul Husnaa).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama'ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberikan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.

Sumber : AL FIRQOTUN NAAJIYAH/JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT/Syaikh Muhammad Jamil Zainu/BAGIAN 12/PENGERTIAN WAHABI

Mengenal "MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB"

بسم الله الرحمن الرحيم

Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur'an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid'ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, "Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini."

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam , hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.

Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, serta berdo'a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur'an dan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam . Al-Qur'an menegaskan:

"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguh-nya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." (Yunus: 106)

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:

"Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo'a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

Penentangan orang-orang batil terhadapnya:

Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:
"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat menghe-rankan." (Shaad: 5)
Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhanahu wata'ala menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menulis kitab "Mukhtashar Siiratur Rasuul Shallallahu'alaihi wasallam ". Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur'an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis (Syaikh Zainu), bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

"Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasulullah berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiallaahu anhu dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan:

Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah", di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah, sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo'a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.

AL FIRQOTUN NAAJIYAH/JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT/Syaikh Muhammad Jamil Zainu/(BAGIAN 13)/MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

MAKNA "AR-RAHMAANU 'ALAL 'ARSYIS TAWA"

بسم الله الرحمن الرحيم

Banyak sekali ayat dan hadits serta ucapan ulama salaf yang menegaskan bahwa Allah berada dan bersemayam di atas. –Allah ta’ala tidak ada di mana2, tetapi Ia ada di langit dan ilmuNya meliputi segala sesuatu-.

1. Firman Allah,
"KepadaNyalah perkataan-perkataan yang baik naik dan amal yang shalih dinaikkanNya." (Al-Faathir: 10)

2. Firman Allah,
"Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan." (Al-Ma'aarij: 3-4)

3. Firman Allah,
"Sucikanlah Nama Tuhanmu Yang Mahatinggi." (Al-A'la:1)

4. FirmanAllah,
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy." (Thaaha: 5).

5. Dalam Kitab Tauhid, Imam Al-Bukhari menukil dari Abu Aliyah dan Mujahis tentang tafsir istawa, yaitu 'ala wartafa'a (berada diatas).

6. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berkhutbah pada hari Arafah, saat haji wada', dengan menyerukan,
"Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan?" Mereka menjawab, "Ya, benar". Lalu beliau mengangkat (menunjuk) dengan jari-jarinya ke atas, selanjutnya beliau mengarahkan jari-jarinya ke arah manusia seraya bersabda, "Ya Allah, saksikanlah." (HR. Muslim).

7. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,

"Sesungguhnya Allah telah menulis suatu kitab (tulisan) sebelum Ia menjadikan makhluk (berupa), sesungguhnya rahmatKu mendahului murkaKu, ia tertulis di sisiNya di atas 'Arsy." (HR. Al-Bukhari)

8. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,

"Apakah engkau tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit? Setiap pagi dan sore hari datang kepadaku kabar dari langit." (Muttafaq Alaih)

9. Al-Auza'i berkata, "Kami bersama banyak tabi'in berkata, 'Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung sebutanNya (berada) di atas 'Arsy, dan kami beriman pada sifat-sifatNya sebagaimana yang terdapat dalam sunnah Rasulullah'." (HR. Al-Baihaqi dengan sanad shahih)

10. Imam Syafi'i berkata, "Sesungguhnya Allah bersemayam di atas 'Arsy langitNya. Ia mendekati makhlukNya sekehendakNya dan Allah turun ke langit dunia dengan sekehendakNya."

11. Imam Abu Hanifah berkata, "Barangsiapa mengatakan, 'Aku tidak mengetahui apakah Tuhanku berada di langit atau bumi?' maka dia telah kafir." Sebab Allah Subhanahu wata'ala berfirman,
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy." (Thaha: 5)

'Arsy Allah berada di atas tujuh langit. Jika seseorang berkata bahwasanya Allah berada di atas 'Arsy, tetapi ia berkata, "Aku tidak tahu apakah 'Arsy itu berada di atas langit atau di bumi?" Maka dia telah kafir. Sebab dia mengingkari bahwa 'Arsy berada di atas langit. Barangsiapa mengingkari bahwa 'Arsy berada di atas langit maka dia telah kafir, karena sesungguhnya Allah adalah paling tinggi di atas segala sesuatu yang tinggi. Dia dimohon dari tempat yang tertinggi, bukan dari tempat yang paling bawah.

12. Imam Malik ditanya tentang cara istiwa' (bersemayamnya Allah) di atas 'ArsyNya, ia lalu menjawab, "lstiwa' itu telah dipahami pengertiannya, sedang cara (visualisasinya) tidak diketahui, iman dengannya adalah wajib, dan pertanyaan tentangnya adalah bid'ah (maksudnya, tentang visualisasinya). Usirlah tukang bid'ah ini.

13. Tidak boleh menafsirkan istiwa' (bersemayam di atas) dengan istawla (menguasai), karena keterangan seperti itu tidak didapatkan dalam riwayat orang-orang salaf. Metode orang-orang salaf adalah lebih selamat, lebih ilmiah dan lebih bijaksana.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang Yahudi agar mengatakan hiththatun (bebaskanlah kami dari dosa), tetapi mereka mengatakan hintha-tun (biji gandum) dengan niat membelokkan dan menyelewengkan-nya.

Dan Allah memberitakan kepada kita bahwa Dia 'Alal 'arsyistawa "bersemayam di atas 'Arsy", tetapi para tukang takwil mengatakan istawlaa "menguasai".

Perhatikanlah, betapa persis penambahan "lam" yang mereka lakukan Istawaa menjadi Istawlaa dengan penambahan "nun" yang dilakukan oleh orang- orangYahudi "hiththatun" menjadi " Hinthatun" (nukilan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyah).

Di samping pentakwilan mereka dengan "istawla" merupakan pembelokan dan penyimpangan, pentakwilan itu juga memberikan asumsi (anggapan) bahwa Allah menguasai 'Arsy dari orang yang menentang dan ingin merebutnya. Juga memberi asumsi bahwa 'Arsy itu semula bukan milikNya, lalu Allah menguasai dan merebutnya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka takwilkan.

Sumber : AL FIRQOTUN NAAJIYAH/JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT/Syaikh Muhammad Jamil Zainu/(BAGIAN 8)/MAKNA "AR-RAHMAANU 'ALAL 'ARSYIS TAWA"

TAKLID BUTA

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah berfirman,

"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul'. Mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. 'Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk...?" (AI-Maa'idah: 104)

Allah mengabarkan kepada kita tentang keadaan orang-orang musyrik, saat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata kepada mereka, "Marilah mengikuti Al-Qur'an dan mentauhidkan Allah, serta berdo'a hanya kepada Allah semata."

Mereka kemudian menjawab, "Cukuplah bagi kami kepercayaan nenek moyang kami." Maka Al-Qur'an membantah mereka bahwa nenek moyang mereka itu adalah bodoh, tidak mengetahui sesuatu serta tidak mendapat petunjuk kepada jalan yang benar.

Mayoritas umat Islam, kini terjebak dalam taklid buta ini. Pernah suatu kali, penulis mendengar ceramah. Penceramah itu mengatakan, "Apakah nenek moyang kalian mengetahui bahwa Allah mempunyai tangan...?"

Ia berdalih dengan kebodohan nenek moyang, untuk mengingkari. Padahal Al-Qur'an telah menegaskan hal tersebut, sebagaimana firmanNya tentang kisah penciptaan Adam AlaihisSallam ,

"Hai lblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tanganKu...?" (Shaad: 75)

Tetapi, tidaklah tangan para makhluk menyerupai tanganNya, Allah berfirman,

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuraa: 11)

Sekarang, ada lagi bentuk taklid lain yang lebih berbahaya. Yaitu taklid (ikut-ikutan) orang-orang kafir dalam kemaksiatan, buka-bukaan aurat, mode pakaian ketat, pakaian mini dan sebagainya.

Alangkah baiknya manakala mereka itu kita ikuti dalam penemuan-penemuan mereka yang bermanfaat. Seperti dalam hal pembuatan pesawat terbang atau bentuk ilmu dan teknologi lainnya.

Kebanyakan manusia, jika engkau mengatakan padanya, "Allah berfirman, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda", maka mereka berucap, "Syaikh saya berkata".

Apakah mereka tidak mendengar firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya." (Al-Hujurat: 1)

Maksudnya, janganlah kalian mendahulukan ucapan seseorang atas firman Allah dan sabda RasulNya.

Ibnu Abbas berkata, "Hampir-hampir saja diturunkan atas kalian batu dari langit. Aku mengatakan kepada kalian, 'Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, tetapi kalian mengatakan, 'Abu Bakar berkata, Umar berkata'."

Seorang pujangga menyenandungkan syair yang mengingkari orang-orang yang berdalih dengan ucapan para syaikh mereka. Ia berkata,

"Aku katakan padamu, 'Allah berfirman, RasulNya bersabda',lalu kamu menjawab, 'Syaikh saya telah berkata ...'."




Sumber : Kitab AL FIRQOTUN NAAJIYAH/JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT/Syaikh Muhammad Jamil Zainu/(BAGIAN 44)/TAKLID BUTA

Pengertian Salaf

بسم الله الرحمن الرحيم

Menurut bahasa

Menurut bahasa, Salaf artinya 'nenek moyang' yang lebih tua dan lebih utama.[1] Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan "salafu ar-rojuli" = salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]

Menurut istilah

Menurut istilah, kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/ masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :

"Artinya : Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi'in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi'ut Tabi'in)."[3]
[sunting] Menurut Para Ulama'

Menurut al-Qalsyani: "Salafush Shalih ialah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, menjaga sunnahnya, Allah pilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan untuk menegakkan agama-Nya..."[4]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya Al-'Aqidah Al-Islamiyyah baina Salafiyyah wal Mu'tazilah: "Penetapan istilah Salaf tidak cukup dibatasi waktu, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang 'aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-Pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah mengenai 'aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafy meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafy meskipun ia hidup pada zaman Shahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.[5]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyun bukanlah termasuk perkara bid'ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar'i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Shahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.

Ahlus Sunnah wal Jama'ah dikatakan juga As-Salafiyyun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Shahabat dan Tabi'in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafy, karena dinisbatkan kepada Salaf. Dan Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-'aqidah, beribadah, berhukum, berakhlaq dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan 'aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu 'anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah[7] (wafat thahun 728 H) berkata : "Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran."[8]

Catatan Kaki

1. ↑ Lisanul 'Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat tahun 711 H) Rahimahullah
2. ↑ Lihat Al-Mufassiruun baina Ta'wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin 'Abdirrahman al-Maghraawi. Mu-assasah ar-Risalah 1420 H.
3. ↑ Muttafaq 'alaih. HR. Al-Bukhary (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (211)) dari Shahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu
4. ↑ Al-Mufassiruun bainat Ta'wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
5. ↑ Al-Mufassiruun bainat Ta'wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii 'Aqiidah Salafush Shaalih hal 34.
6. ↑ Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama'ah min Ahlil Ahwa' wal Bida' (I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin 'Amir ar-Ruhaily, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf (hal. 21) karya Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali dan Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fil 'Aqiidah.
7. ↑ Beliau adalah Ahmad bin 'Abdil Halim bin 'Abdissalam bin 'Abdillah bin Khidhr bin Muhammad bin 'Ali bin 'Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi'ul Awwal th. 661 H di Harran (daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk Mujaddid abad ke-7 H dan hafal Al-Qur'an sejak masih kecil. Beliau mempunyai murid-murid yang 'alim dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin 'Abdil Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat th. 748 H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H), Syam-suddin Ibnu Muflih (wafat th. 763 H) serta 'Imaduddin Ibnu Katsir(wafat th. 774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibni Katsiir. 'Aqidah Syaikhul Islam adalah 'aqidah Salaf, beliau rahimahullah seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, berjuang untuk menegakkan Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat g tetapi Ahlul Bid'ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau menjelaskan yang haq tetapi ahli bid'ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara (tahun 728 H). Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan beliau t ke dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145).
8. ↑ Majmu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/149).

Maraji' : Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M.