tag:blogger.com,1999:blog-22599671529584508042024-03-13T14:44:17.825-07:00Manhaj Salaf"Menuju jalan yang lurus"
Berittiba' pada
Al-Qur’an & As-Sunnah
dengan pemahaman amalan & dakwah salafush shalih.Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.comBlogger49125tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-85008101094809858072010-06-07T10:15:00.000-07:002010-06-07T10:20:27.577-07:00Bisa Jadi Kamu Membenci Sesuatu Namun Itu Baik Buatmu<h3 class="post-title"><a href="http://jogjamuslim.blogspot.com/2008/08/bisa-jadi-kamu-membenci-sesuatu-namun.html"></a></h3>بسم الله الرحمن الرحيم<br />
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-style: italic;"> Penulis: Al-Ustadz Qomar Sua’idi ZA, Lc</span></span><br />
<br />
<br />
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ<br />
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)<br />
<br />
Dalam ayat ini ada beberapa hikmah dan rahasia serta maslahat untuk seorang hamba. Karena sesungguhnya jika seorang hamba tahu bahwa sesuatu yang dibenci itu terkadang membawa sesuatu yang disukai, sebagaimana yang disukai terkadang membawa sesuatu yang dibenci, iapun tidak akan merasa aman untuk tertimpa sesuatu yang mencelakakan menyertai sesuatu yang menyenangkan. Dan iapun tidak akan putus asa untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan menyertai sesuatu yang mencelakakan. Ia tidak tahu akibat suatu perkara, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh hamba. Dan ini menumbuhkan pada diri hamba beberapa hal:<br />
<span class="fullpost"><br />
1. Bahwa tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba daripada melakukan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, walaupun di awalnya terasa berat. Karena seluruh akibatnya adalah kebaikan dan menyenangkan, serta kenikmatan-kenikmatan dan kebahagiaan. Walaupun jiwanya benci, akan tetapi hal itu akan lebih baik dan bermanfaat. Demikian pula, tidak ada yang lebih mencelakakan dia daripada melakukan larangan, walaupun jiwanya cenderung dan condong kepadanya. Karena semua akibatnya adalah penderitaan, kesedihan, kejelekan, dan berbagai musibah.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
Ciri khas orang yang berakal sehat, ia akan bersabar dengan penderitaan sesaat, yang akan berbuah kenikmatan yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang berlarut-larut.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
Adapun pandangan orang yang bodoh itu (dangkal), sehingga ia tidak akan melampaui permukaan dan tidak akan sampai kepada ujung akibatnya. Sementara orang yang berakal lagi cerdas akan senantiasa melihat kepada puncak akibat sesuatu yang berada di balik tirai permukaannya. Iapun akan melihat apa yang di balik tirai tersebut berupa akibat-akibat yang baik ataupun yang jelek. Sehingga ia memandang suatu larangan itu bagai makanan lezat yang telah tercampur dengan racun yang mematikan. Setiap kali kelezatannya menggodanya untuk memakannya, maka racunnya menghalanginya (untuk memakannya). Ia juga memandang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala bagai obat yang pahit rasanya, namun mengantarkan kepada kesembuhan dan kesehatan. Maka, setiap kali kebenciannya terhadap rasa (pahit)nya menghalanginya untuk mengonsumsinya, manfaatnyapun akan memerintahkannya untuk mengonsumsinya.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
Akan tetapi, itu semua memerlukan ilmu yang lebih, yang dengannya ia akan mengetahui akibat dari sesuatu. Juga memerlukan kesabaran yang kuat, yang mengokohkan dirinya untuk memikul beban perjalanannya, demi mendapatkan apa yang dia harapkan di pengujung jalan. Kalau ia kehilangan ilmu yang yakin dan kesabaran maka ia akan terhambat dari memperolehnya. Tetapi bila ilmu yakinnya dan kesabarannya kuat, maka ringan baginya segala beban yang ia pikul dalam rangka memperoleh kebaikan yang langgeng dan kenikmatan yang abadi.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
2. Di antara rahasia ayat ini bahwa ayat ini menghendaki seorang hamba untuk menyerahkan urusan kepada Dzat yang mengetahui akibat segala perkara serta ridha dengan apa yang Ia pilihkan dan takdirkan untuknya, karena dia mengharapkan dari-Nya akibat-akibat yang baik.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
3. Bahwa seorang hamba tidak boleh memiliki suatu pandangan yang mendahului keputusan Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau memilih sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta'ala pilih serta memohon-Nya sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. Karena barangkali di situlah kecelakaan dan kebinasaannya, sementara ia tidak mengetahuinya. Sehingga janganlah ia memilih sesuatu mendahului pilihan-Nya. Bahkan semestinya ia memohon kepada-Nya pilihan-Nya yang baik untuk dirinya serta memohon-Nya agar menjadikan dirinya ridha dengan pilihan-Nya. Karena tidak ada yang lebih bermanfaat untuknya daripada hal ini.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
4. Bahwa bila seorang hamba menyerahkan urusan kepada Rabbnya serta ridha dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala pilihkan untuk dirinya, Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan mengirimkan bantuan-Nya kepadanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala pilihkan, berupa kekuatan dan tekad serta kesabaran. Juga, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan palingkan darinya segala yang memalingkannya darinya, di mana hal itu menjadi penghalang pilihan hamba tersebut untuk dirinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan memperlihatkan kepadanya akibat-akibat baik pilihan-Nya untuk dirinya, yang ia tidak akan mampu mencapainya walaupun sebagian dari apa yang dia lihat pada pilihannya untuk dirinya.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
5. Di antara hikmah ayat ini, bahwa ayat ini membuat lega hamba dari berbagai pikiran yang meletihkan pada berbagai macam pilihan. Juga melegakan kalbunya dari perhitungan-perhitungan dan rencana-rencananya, yang ia terus-menerus naik turun pada tebing-tebingnya. Namun demikian, iapun tidak mampu keluar atau lepas dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah taqdirkan. Seandainya ia ridha dengan pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala maka takdir akan menghampirinya dalam keadaan ia terpuji dan tersyukuri serta terkasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila tidak, maka taqdir tetap akan berjalan padanya dalam keadaan ia tercela dan tidak mendapatkan kasih sayang-Nya karena ia bersama pilihannya sendiri. Dan ketika seorang hamba tepat dalam menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ridhanya kepada-Nya, ia akan diapit oleh kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya dalam menjalani taqdir ini. Sehingga ia berada di antara kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Kasih sayang-Nya melindunginya dari apa yang ia khawatirkan, dan kelembutan-Nya membuatnya merasa ringan dalam menjalani taqdir-Nya.<br />
Bila taqdir itu terlaksana pada seorang hamba, maka di antara sebab kuatnya tekanan taqdir itu pada dirinya adalah usahanya untuk menolaknya. Sehingga bila demikian, tiada yang lebih bermanfaat baginya daripada berserah diri dan melemparkan dirinya di hadapan taqdir dalam keadaan terkapar, seolah sebuah mayat. Dan sesungguhnya binatang buas itu tidak akan rela memakan mayat.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
<span style="font-size: 85%; font-style: italic;">(Diterjemahkan oleh Qomar ZA dari buku Al-Fawa`id hal. 153-155)<br />
http://asysyariah.com/print.php?id_online=622</span></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-77281774871765767312010-06-06T08:21:00.000-07:002010-06-06T08:21:14.666-07:00Inginkah Anda Menjadi Orang yang Ikhlas?بسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
Seorang ulama yang bernama Sufyan Ats Tsauri pernah berkata, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Niat yang baik atau keikhlasan merupakan sebuah perkara yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sering berbolak-baliknya hati kita. Terkadang ia ikhlas, di lain waktu tidak. Padahal, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, ikhlas merupakan suatu hal yang harus ada dalam setiap amal kebaikan kita. Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan namun bukan karena Allah?. Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)<br />
<br />
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam menyatakan, “Amalan riya yang murni jarang timbul pada amal-amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun terkadang riya muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang memberikan manfaat bagi orang lain (semisal berdakwah, membantu orang lain dan lain sebagainya). Keikhlasan dalam amalan-amalan semacam ini sangatlah berat, amal yang tidak ikhlas akan sia-sia, dan pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.”<br />
<br />
Bagaimana Agar Aku Ikhlas ?<br />
<br />
Setan akan senantiasa menggoda dan merusak amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba. Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di antara hal-hal tersebut adalah<br />
<br />
Banyak Berdoa<br />
<br />
Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:<br />
<br />
« اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ »<br />
<br />
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad)<br />
<br />
Nabi kita sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan padahal beliau adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan. Inilah dia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat besar dan utama, sahabat terbaik setelah Abu Bakar, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku amal yang saleh, jadikanlah seluruh amalanku hanya karena ikhlas mengharap wajahmu, dan jangan jadikan sedikitpun dari amalanku tersebut karena orang lain.”<br />
<br />
Menyembunyikan Amal Kebaikan<br />
<br />
Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah air matanya.” (HR Bukhari Muslim).<br />
<br />
Apabila kita perhatikan hadits tersebut, kita dapatkan bahwa di antara sifat orang-orang yang akan Allah naungi kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang melakukan kebaikan tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik shalat yang dilakukan oleh seseorang adalah shalat yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari Muslim)<br />
<br />
Rasulullah menyatakan bahwa sebaik-baik shalat adalah shalat yang dilakukan di rumah kecuali shalat wajib, karena hal ini lebih melatih dan mendorong seseorang untuk ikhlas. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadush Sholihin menyatakan, “di antara sebabnya adalah karena shalat (sunnah) yang dilakukan di rumah lebih jauh dari riya, karena sesungguhnya seseorang yang shalat (sunnah) di mesjid dilihat oleh manusia, dan terkadang di hatinya pun timbul riya, sedangkan orang yang shalat (sunnah) di rumahnya maka hal ini lebih dekat dengan keikhlasan.” Basyr bin Al Harits berkata, “Janganlah engkau beramal agar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.”<br />
<br />
Seseorang yang dia betul-betul jujur dalam keikhlasannya, ia mencintai untuk menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Maka dari itu wahai saudaraku, marilah kita berusaha untuk membiasakan diri menyembunyikan kebaikan-kebaikan kita, karena ketahuilah, hal tersebut lebih dekat dengan keikhlasan.<br />
<br />
Memandang Rendah Amal Kebaikan<br />
<br />
Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia. Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.”<br />
<br />
Takut Akan Tidak Diterimanya Amal<br />
<br />
Allah berfirman:<br />
<br />
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ<br />
<br />
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)<br />
<br />
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut ( Tafsir Ibnu Katsir ).<br />
<br />
Hal semakna juga telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Aisyah ketika beliau bertanya kepada Rasulullah tentang makna ayat di atas. Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” adalah orang yang mencuri, berzina dan meminum khamr kemudian ia takut terhadap Allah?. Maka Rasulullah pun menjawab: Tidak wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, yang dimaksud dengan ayat itu adalah mereka yang shalat, puasa, bersedekah namun mereka takut tidak diterima oleh Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih )<br />
<br />
Ya saudaraku, di antara hal yang dapat membantu kita untuk ikhlas adalah ketika kita takut akan tidak diterimanya amal kebaikan kita oleh Allah. Karena sesungguhnya keikhlasan itu tidak hanya ada ketika kita sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan. Apalah artinya apabila kita ikhlas ketika beramal, namun setelah itu kita merasa hebat dan bangga karena kita telah melakukan amal tersebut. Bukankah pahala dari amal kebaikan kita tersebut akan hilang dan sia-sia? Bukankah dengan demikian amal kebaikan kita malah tidak akan diterima oleh Allah? Tidakkah kita takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal sholeh yang menyebabkan tidak diterimanya amal kita tersebut? Dan pada kenyataannya hal ini sering terjadi dalam diri kita. Sungguh amat sangat merugikan hal yang demikian itu.<br />
<br />
Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia<br />
<br />
Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya, beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim)<br />
<br />
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan pujian atau celaan orang lain sebagai sebab engkau beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia beramal saleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal sholeh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagimu maupun celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita pilih wahai saudaraku, dipuji manusia namun Allah mencela kita ataukah dicela manusia namun Allah memuji kita ?<br />
<br />
Menyadari Bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka<br />
<br />
Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan berdiri di padang mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka, maka ia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka. Karena tidak satu pun dari mereka yang dapat menolong dia untuk masuk surga ataupun menyelamatkan dia dari neraka. Bahkan saudaraku, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakangmu, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya untuk mereka?<br />
<br />
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jamiul Ulum wal Hikam berkata: “Barang siapa yang berpuasa, shalat, berzikir kepada Allah, dan dia maksudkan dengan amalan-amalan tersebut untuk mendapatkan dunia, maka tidak ada kebaikan dalam amalan-amalan tersebut sama sekali, amalan-amalan tersebut tidak bermanfaat baginya, bahkan hanya akan menyebabkan ia berdosa”. Yaitu amalan-amalannya tersebut tidak bermanfaat baginya, lebih-lebih bagi orang lain.<br />
<br />
Ingin Dicintai, Namun Dibenci<br />
<br />
Saudaraku, sesungguhnya seseorang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia tidak akan mendapatkan pujian tersebut dari mereka. Bahkan sebaliknya, manusia akan mencelanya, mereka akan membencinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-amalannya “ (HR. Muslim)<br />
<br />
Akan tetapi, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena Allah, maka Allah dan para makhluk-Nya akan mencintainya sebagaimana firman Allah ta’ala:<br />
<br />
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا<br />
<br />
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)<br />
<br />
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ). (Tafsir Ibnu Katsir).<br />
<br />
Dalam sebuah hadits dinyatakan “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata: wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya di bumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, sesungguhnya Aku membenci fulan, maka bencilah ia. Maka Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah membenci fulan, maka benciilah ia. Maka penduduk langit pun membencnya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya di bumi.” (HR. Bukhari Muslim)<br />
<br />
Hasan Al Bashri berkata: “Ada seorang laki-laki yang berkata : ‘Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat, dia adalah orang yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang kecuali mereka berkata: ‘lihatlah orang yang riya ini’. Dia pun menyadari hal ini dan berkata: tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, ’sungguh aku akan melakukan amalan hanya karena Allah’. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata: ’semoga Allah merahmatinya sekarang’. Kemudian Hasan al bashri pun membaca ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Tafsir Ibnu Katsir)<br />
<br />
Demikianlah pembahasan kali ini, semoga bermanfaat bagi diri penulis dan kaum muslimin pada umumnya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.<br />
<br />
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ<br />
<br />
(Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya sehingga sempurnalah segala amal kebaikan)<br />
<br />
***<br />
Disusun oleh: Abu ‘Uzair Boris Tanesia<br />
Muroja’ah: Ustadz Ahmad Daniel Lc.<br />
Artikel www.muslim.or.idAbu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-2172358940291299512010-06-06T07:42:00.000-07:002010-06-06T07:42:15.072-07:00Keutamaan Taubat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S9mvzS-j-GI/AAAAAAAAAEM/_LiXhyRLOZc/s1600/sujud.thumbnail.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="120" src="http://2.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S9mvzS-j-GI/AAAAAAAAAEM/_LiXhyRLOZc/s200/sujud.thumbnail.jpg" width="200" /></a></div>بسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
Hakikat taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari bermaksiat kepada-Nya kepada ketaatan kepada-Nya. Taubat ada dua macam: <strong>taubat mutlak</strong> dan <strong>taubat muqayyad</strong> (terikat). Taubat mutlak ialah bertaubat dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa tertentu yang pernah dilakukan.<br />
<span id="more-401"></span><br />
Syarat-syarat <a href="http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/keutamaan-taubat.html" title="Keutamaan Taubat">taubat</a> meliputi: beragama Islam, berniat ikhlas, mengakui dosa, menyesali dosa, meninggalkan perbuatan dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan hak orang yang dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau matahari terbit dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum beriman, bukan kewajiban orang yang baru saja berbuat dosa. Karena Allah berfirman,<br />
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ<br />
<em>“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.”</em> (QS. An Nuur: 31) (lihat <em>Syarh Ushul min Ilmil Ushul</em> Syaikh Al ‘Utsaimin <em>rahimahullah</em>, tentang pembahasan isi <em>khutbatul hajah</em>).<br />
<strong>Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang</strong><br />
Allah menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun lagi Maha Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji mengaruniakan nikmat taubat kepada hamba-hambaNya di dalam sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta’ala berfirman,<br />
وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً<br />
<em>“Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya.”</em> (QS. An Nisaa’: 27)<br />
Allah ta’ala juga berfirman,<br />
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ<br />
<em>“Dan seandainya bukan karena keutamaan dari Allah kepada kalian dan kasih sayang-Nya (niscaya kalian akan binasa). Dan sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha bijaksana.”</em> (QS. An Nuur: 10)<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ<br />
<em>“Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas ampunannya.”</em> (QS. An Najm: 32)<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ<br />
<em>“Rahmat-Ku amat luas meliputi segala sesuatu.”</em> (QS. Al A’raaf: 156)<br />
<strong>Oleh Karenanya, Saudaraku yang Tercinta…</strong><br />
Pintu taubat ada di hadapanmu terbuka lebar, ia menanti kedatanganmu… Jalan orang-orang yang bertaubat telah dihamparkan. Ia merindukan pijakan kakimu… Maka ketuklah pintunya dan tempuhlah jalannya. Mintalah taufik dan pertolongan kepada Tuhanmu… Bersungguh-sungguhlah dalam menaklukkan dirimu, paksalah ia untuk tunduk dan taat kepada Tuhannya. Dan apabila engkau telah benar-benar bertaubat kepada Tuhanmu kemudian sesudah itu engkau terjatuh lagi di dalam maksiat, sehingga memupus taubatmu yang terdahulu, janganlah malu untuk memperbaharui taubatmu untuk kesekian kalinya. Selama maksiat itu masih berulang padamu maka teruslah bertaubat.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
فَإِنَّهُ كَانَ لِلأَوَّابِينَ غَفُوراً<br />
<em>“Karena sesungguhnya Dia Maha mengampuni kesalahan hamba-hamba yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.”</em> (QS. Al Israa’: 25)<br />
Allah ta’ala juga berfirman,<br />
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ<br />
<em>“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.”</em> (QS. Az Zumar: 53-54)<br />
Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda yang artinya, <em>“Seandainya kalian berbuat dosa sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.”</em> (Shahih Ibnu Majah)<br />
Maka di manakah orang-orang yang bertaubat dan menyesali dosanya? Di manakah orang-orang yang kembali taat dan merasa takut siksa? Di manakah orang-orang yang ruku’ dan sujud?<br />
<strong>Berbagai Keutamaan Taubat</strong><br />
Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase persinggahan iman. Setiap insan selalu membutuhkannya dalam menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan taubat ialah:<br />
<strong>Pertama:</strong> Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa jalla.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ<br />
<em>“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri.”</em> (QS. Al Baqarah: 222)<br />
<strong>Kedua:</strong> Taubat merupakan sebab keberuntungan.<br />
Allah ta’ala berfirman<br />
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ<br />
<em>“Dan bertaubatlah kepada Allah wahai semua orang yang beriman, supaya kalian beruntung.”</em> (QS. An Nuur: 31)<br />
<strong>Ketiga:</strong> Taubat menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan turunnya ampunan atas kesalahan-kesalahannya.<br />
Allah ta’ala berfirman<br />
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ<br />
<em>“Dialah Allah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan Maha mengampuni berbagai kesalahan.”</em> (QS. Asy Syuura: 25)<br />
Allah ta’ala juga berfirman<br />
وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً<br />
<em>“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.”</em> (QS. Al Furqaan: 71) artinya taubatnya diterima<br />
<strong>Keempat:</strong> Taubat merupakan sebab masuk surga dan keselamatan dari siksa neraka.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً<br />
<em>“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.”</em> (QS. Maryam: 59, 60)<br />
<strong>Kelima:</strong> Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
وَالَّذِينَ عَمِلُواْ السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُواْ مِن بَعْدِهَا وَآمَنُواْ إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ<br />
<em>“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Penyayang.”</em> (QS. Al A’raaf: 153)<br />
<strong>Keenam:</strong> Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan berbagai kebaikan.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً<br />
<em>“Dan barang siapa yang melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan menemui pembalasannya. Akan dilipatgandakan siksa mereka pada hari kiamat dan mereka akan kekal di dalamnya dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh Allah keburukan-keburukan mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”</em> (QS. Al Furqaan: 68-70)<br />
Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Seorang yang bertaubat dari suatu dosa sebagaimana orang yang tidak berdosa.”</em> (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)<br />
<strong>Ketujuh:</strong> Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ<br />
<em>“Apabila kalian bertaubat maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.”</em> (QS. At Taubah: 3)<br />
Allah ta’ala juga berfirman,<br />
فَإِن يَتُوبُواْ يَكُ خَيْراً لَّهُمْ<br />
<em>“Maka apabila mereka bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi mereka.”</em> (QS. At Taubah: 74)<br />
<strong>Kedelapan:</strong> Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan pahala yang besar.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُواْ بِاللّهِ وَأَخْلَصُواْ دِينَهُمْ لِلّهِ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً عَظِيماً<br />
<em>“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk Allah mereka itulah yang akan bersama dengan kaum beriman dan Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang amat besar.”</em> (QS. An Nisaa’: 146)<br />
<strong>Kesembilan:</strong> Taubat merupakan sebab turunnya barakah dari atas langit serta bertambahnya kekuatan.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلاَ تَتَوَلَّوْاْ مُجْرِمِينَ<br />
<em>“Wahai kaumku, minta ampunlah kepada Tuhan kalian kemudian bertaubatlah kepada-Nya niscaya akan dikirimkan kepada kalian awan dengan membawa air hujan yang lebat dan akan diberikan kekuatan tambahan kepada kalian, dan janganlah kalian berpaling menjadi orang yang berbuat dosa.”</em> (QS. Huud: 52)<br />
<strong>Kesepuluh:</strong> Keutamaan taubat yang lain adalah menjadi sebab malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat.<br />
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala,<br />
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْماً فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ<br />
<em>“Para malaikat yang membawa ‘Arsy dan malaikat lain di sekelilingnya senantiasa bertasbih dengan memuji Tuhan mereka, mereka beriman kepada-Nya dan memintakan ampunan bagi orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu maha luas meliputi segala sesuatu, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka.”</em> (QS. Ghafir: 7)<br />
<strong>Kesebelas:</strong> Keutamaan taubat yang lain adalah ia termasuk ketaatan kepada kehendak Allah ‘azza wa jalla.<br />
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala,<br />
وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً<br />
<em>“Dan Allah menghendaki untuk menerima taubat kalian.”</em> (QS. An Nisaa’: 27). Maka orang yang bertaubat berarti dia adalah orang yang telah melakukan perkara yang disenangi Allah dan diridhai-Nya.<br />
<strong>Kedua belas:</strong> Keutamaan taubat yang lain adalah Allah bergembira dengan sebab hal itu.<br />
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> yang artinya, <em>“Sungguh Allah lebih bergembira dengan sebab taubat seorang hamba-Nya ketika ia mau bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan seseorang dari kalian yang menaiki hewan tunggangannya di padang luas lalu hewan itu terlepas dan membawa pergi bekal makanan dan minumannya sehingga ia pun berputus asa lalu mendatangi sebatang pohon dan bersandar di bawah naungannya dalam keadaan berputus asa akibat kehilangan hewan tersebut, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hewan itu sudah kembali berada di sisinya maka diambilnya tali kekangnya kemudian mengucapkan karena saking gembiranya, ‘Ya Allah, Engkaulah hambaku dan akulah tuhanmu’, dia salah berucap karena terlalu gembira.”</em> (HR. Muslim)<br />
<strong>Ketiga belas:</strong> Taubat juga menjadi sebab hati menjadi bersinar dan bercahaya.<br />
Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda yang artinya: <em>Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa maka di dalam hatinya ditorehkan sebuah titik hitam. Apabila dia meninggalkannya dan beristighfar serta bertaubat maka kembali bersih hatinya. Dan jika dia mengulanginya maka titik hitam itu akan ditambahkan padanya sampai menjadi pekat, itulah raan yang disebutkan Allah ta’ala, </em><br />
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ<br />
<em>“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah raan yang menyelimuti hati mereka akibat apa yang telah mereka kerjakan.”</em> (QS. Al Muthaffifin: 14) (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani)<br />
Oleh karena itu, saudaraku yang kucintai…<br />
Sudah sepantasnya setiap orang yang berakal untuk bersegera menggapai keutamaan dan memetik buah memikat yang dihasilkan oleh ketulusan taubat itu…, Saudaraku:<br />
<em>Tunaikanlah taubat yang diharapkan Ilahi</em><br />
<em>demi kepentinganmu sendiri</em><br />
<em>Sebelum datangnya kematian dan lisan terkunci</em><br />
<em>Segera lakukan taubat dan tundukkanlah jiwa</em><br />
<em>Inilah harta simpanan bagi hamba yang kembali taat dan baik amalnya</em><br />
<strong>Tingkatan Jihad Melawan Syaitan</strong><br />
Ibnul Qayyim <em>rahimahullah</em> mengatakan: Jihad melawan syaitan itu ada dua tingkatan.<br />
Pertama, berjihad melawannya dengan cara menolak segala syubhat dan keragu-raguan yang menodai keimanan yang dilontarkannya kepada hamba.<br />
Kedua, berjihad melawannya dengan cara menolak segala keinginan yang merusak dan rayuan syahwat yang dilontarkan syaitan kepadanya.<br />
Maka tingkatan jihad yang pertama akan membuahkan keyakinan sesudahnya. Sedangkan jihad yang kedua akan membuahkan kesabaran.<br />
Allah ta’ala berfirman,<br />
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ<br />
<em>“Maka Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.”</em> (QS. As Sajdah: 24)<br />
Allah mengabarkan bahwasanya kepemimpinan dalam agama hanya bisa diperoleh dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Kesabaran akan menolak rayuan syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak, sedangkan dengan keyakinan berbagai syubhat dan keragu-raguan akan tersingkirkan.<br />
<em>Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Wal hamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin.</em><br />
(disadur dari <em>Ya Ayyuhal Muqashshir mata tatuubu</em>, Qismul ‘Ilmi Darul Wathan dan tambahan dari sumber lain)<br />
Jogjakarta, 9 Rabi’uts Tsani 1427 Hijriyah<br />
***<br />
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi<br />
Artikel <a href="http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/keutamaan-taubat.html" title="Keutamaan Taubat">www.muslim.or.id</a>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-18108650468969522912010-06-05T12:28:00.000-07:002010-06-05T12:54:22.255-07:00Orang-orang Yang Didoakan Oleh Para Malaikatبسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
Inilah orang - orang yang didoakan oleh para malaikat : <br />
<br />
1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci". <br />
(Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallahu'anhu., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37) <br />
<br />
2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’" <br />
(Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu ., Shahih Muslim no. 469) <br />
<br />
3. Orang - orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan" <br />
(Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib Radhiallahu'anhu., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130) <br />
<br />
4. Orang - orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah <br />
(tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf). <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang - orang yang menyambung shaf - shaf" <br />
(Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah Radhiallahu'anha., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272) <br />
<br />
5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu" <br />
(Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu., Shahih Bukhari no. 782) <br />
<br />
6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia" <br />
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini) <br />
<br />
7. Orang - orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat" <br />
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir) <br />
<br />
8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’" <br />
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ Radhiallahu'anhu., Shahih Muslim no. 2733) <br />
<br />
9. Orang - orang yang berinfak. <br />
Rasulullah<span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’" <br />
(Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010) <br />
<br />
10. Orang yang sedang makan sahur. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang - orang yang sedang makan sahur" <br />
(Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallahu'anhu., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519) <br />
<br />
11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh" <br />
(Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu'anhu., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, "Sanadnya shahih") <br />
<br />
12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain. <br />
Rasulullah <span class="fullpost">shallallahu ‘alaihi wa sallam</span> bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain" <br />
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily Radhiallahu'anhu., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343) <br />
<br />
Sumber Tulisan Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi (Orang - orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-86138237138957756432010-06-02T01:05:00.000-07:002010-06-02T01:05:00.771-07:00Mengenal Para Imam Ahlussunnah Ashabul Hadits<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Bismillahirrahmanirrahim</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan mengikuti Kitab dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Tapi kita tidak mungkin mendengar sunnah dan pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad (rantai para rawi). Dan sanad termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil Dien kalian. Sedangkan yang paling mengerti tentang sanad adalah Ahlul Hadits. Maka dalam tulisan ini kita akan lihat betapa tingginya kedudukan mereka<br />
<br />
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَبَلَّغَهُ ﴿رواه أحمد وأبو داود والترمذي وغيرهم وصححه الألباني﴾<br />
<br />
"Allah membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) dari kami, kemudian menyampaikannya." (Hadits Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud)<br />
<br />
Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: "Hadits ini adalah SHAHIH, diriwayatkan oleh: Imam Ahmad dalam Musnad 5/183, Imam Abu Dawud dalam As-Sunan 3/322, Imam Tirmidzi dalam As-Sunan 5/33, Imam Ibnu Majah dalam As-Sunan 1/84, Imam Ad-Darimi dalam As-Sunan 1/86, Imam Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunan 1/45, Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 1/38-39, lihat As-Shahihah oleh Al-'Allamah Al-Albani (404) yang diriwayatkan dari banyak jalan sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin Muth'im, dan Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhum."<br />
<br />
Hadits ini dinukil oleh beliau (Syaikh Rabi') dalam kitab kecil yang berjudul Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan Ahlul Hadits), yaitu ketika menukil ucapan Imam besar Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dari kitabnya Syarafu Ashabil Hadits yang artinya "Kemuliaan Ashabul Hadits." Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat Ahlul Hadits. Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan usaha mereka dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai macam bid'ah. Di antara pujian beliau kepada mereka, beliau mengatakan: "Sungguh Allah telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits) sebagai tonggak syari'at. Melalui usaha mereka, Dia (Allah) menghancurkan setiap keburukan bid'ah. Merekalah kepercayaan Allah di antara makhluk-makhluk-Nya, sebagai perantara antara Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan umatnya. Dan merekalah yang bersungguh-sungguh dalam menjaga millah (Dien)-Nya. Cahaya mereka terang, keutamaan mereka merata, tanda-tanda mereka jelas, madzhab mereka unggul, hujjah mereka tegas...."<br />
<br />
Setelah mengutip hadits di atas, Al-Khatib rahimahullah menukil ucapan Sufyan bin Uyainah rahimahullah dengan sanadnya bahwa dia mengatakan: "Tidak seorangpun mencari hadits (mempelajari hadits) kecuali pada mukanya ada kecerahan karena ucapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam: (kemudian menyebutkan hadits di atas). Kemudian, setelah meriwayatkan hadits-hadits tentang wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk memuliakan Ashabul Hadits, beliau meriwayatkan hadits berikut:<br />
<br />
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ ﴿رواه مسلم وأحمد والترمذي وابن ماجه والدارمي﴾<br />
<br />
"Islam dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing, maka berbahagialah orang-orang yang (dianggap) asing." (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)<br />
<br />
Syaikh Rabi' berkata: "Hadits ini SHAHIH. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya 1/130, Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/398, Imam Tirmidzi dalam Sunannya 5/19, Imam Ibnu Majah dalam Sunnahnya 2/1319, dan Imam Ad-Darimi dalam Sunannya 2/402."<br />
<br />
Setelah meriwayatkan hadits ini, Al-Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu: "Mereka adalah Ashabul Hadits yang pertama." Kemudian meriwayatkan hadits:<br />
<br />
"Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian firqah, semuanya dalam neraka kecuali satu."<br />
<br />
Syaikh Rabi' berkata: "Hadits SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/197, dan Hakim dalam Mustadrak 1/128. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh kita, Al-'Allamah Al-Albani (203)."<br />
<br />
Beliau (Al-Khatib) kemudian mengucapkan dengan sanadnya sampai ke Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa dia berkata: "Tentang golongan yang selamat, kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu siapa mereka." (Hal 13, Syarafu Ashhabil Hadits oleh Al-Khatib). Kemudian Syaikh Al-Khatib menyebutkan hadits tentang thaifah yang selalu tegak dengan kebenaran:<br />
<br />
"Akan tetap ada sekelompok dari umatku di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan, tidak menolong) mereka sampai datangnya hari kiamat." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)<br />
<br />
Syaikh Rabi' berkata: "Hadits ini SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya 3/1523, Imam Ahmad dalam Musnad 5/278-279, Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/420, Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1/4-5, Hakim dalam Mustadrak 4/449-450, Thabrani dalam Mu'jamul Kabir 7643, dan At-Thayalisi dalam Musnad hal. 94 No. 689. Lihat As-Shahihah oleh Al-'Allamah Al-Albani 270-1955."<br />
<br />
Kemudian berkata (Al-Khatib Al-Baghdadi): Yazid bin Harun berkata: "Kalau mereka bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa mereka." Setelah itu, beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak, dia berkata: "Mereka, menurutku, adalah Ashabul Hadits." Kemudian meriwayatkan juga dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, ahli Ilmu, dan Atsar." (Hal. 14-15)<br />
<br />
Demikianlah, para ulama mengatakan bahwa Firqah Najiyah (golongan yang selamat) yaitu golongan yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah Manshurah), yaitu orang-orang yang asing (Ghuraba') di tengah-tengah kaum muslimin yang sudah tercemar dengan berbagai macam bid'ah dan penyelewengan dari manhaj As-Sunnah adalah Ashabul Hadits.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Siapakah Ashabul Hadits?<br />
<br />
Hadits yang pertama yang kita sebut menunjukkan ciri khas Ashabul Hadits, yaitu mendengarkan hadits dan menyampaikannya. Dengan demikian, mereka bisa kita katakan sebagai para ulama yang mempelajari hadits, memahami sanad, meneliti mana yang shahih mana yang dhaif, kemudian mengamalkannya dan menyampaikannya. Merekalah pembela-pembela As-Sunnah, pemelihara Dien dan pewaris Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah tidak mewariskan dirham atau dinar, tetapi mewariskan ilmu yang kemudian dibawa oleh Ahlul Hadits ini. Seorang Ahli Fiqih tanpa ilmu hadits adalah Aqlani (rasionalis) dan Ahli Tafsir tanpa ilmu hadits adalah Ahli Takwil.<br />
<br />
Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (wafat 276 H) berkata: "... Adapun Ashabul Hadits, sesungguhnya mereka mencari kebenaran dari sisi yang benar dan mengikutinya dari tempatnya. Mereka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya serta mencari jejak-jejak dan berita-beritanya (Hadits, red.), baik itu di darat dan di laut, di Timur maupun di Barat. Salah seorang dari mereka (bahkan) mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki hanya untuk mencari satu berita atau satu hadits, agar dia mengambilnya langsung dari penukilnya (secara dialog langsung). Mereka terus menyaring dan membahas berita-berita (riwayat-riwayat) tersebut sampai mereka memahami mana yang shahih dan mana yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh, dan mengetahui siapa-siapa dari kalangan fuqaha yang menyelisihi berita-berita tersebut dengan pendapatnya (ra'yunya), lalu memperingatkan mereka. Dengan demikian, Al-Haq yang tadinya redup menjadi bercahaya, yang tadinya bercerai-berai menjadi terkumpul. Demikian pula, orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah menjadi terikat dengannya, yang tadinya lalai menjadi ingat padanya, dan yang dulunya berhukum dengan ucapan fulan bin fulan menjadi berhukum dengan ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam." (Ta'wil Mukhtalafil Hadits dalam Muqaddimah)<br />
<br />
Imam Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban bin Muadz bin Ma'bad bin Said At-Tamimi (wafat 354 H) berkata: "...Kemudian Allah memilih sekelompok manusia dari kalangan pengikut jalan yang baik dalam mengikuti sunnah dan atsar untuk memberi petunjuk kepada mereka agar selalu taat kepada-Nya. Allah indahkan hati-hati mereka dengan keimanan, dan memberikan pada lisan-lisan mereka Al-Bayan (keterangan), yaitu mereka yang menyingkap rambu-rambu Dien-Nya, mengikuti sunnah-sunnah nabi-Nya dengan menelusuri jalan-jalan yang panjang, meninggalkan keluarga dan negerinya, untuk mengumpulkan sunnah-sunnah dan menolak hawa nafsu (bid'ah). Mereka memperdalam sunnah dengan menjauhi ra'yu ..." Pada akhirnya, beliau mengatakan: "Hingga Allah memelihara Dien ini lewat mereka untuk kaum muslimin dan melindunginya dari rongrongan para pencela. Allah menjadikan mereka sebagai imam-imam (panutan-panutan) yang mendapatkan petunjuk di saat terjadi perselisihan dan menjadikan mereka sebagai pelita malam di kala terjadi fitnah. Maka merekalah pewaris-pewaris para nabi dan orang-orang pilihan..." (Al-Ihsan 1/20-23)<br />
<br />
Imam Abu Muhammad Al-Hasan Ibnu Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramhurmuzi (wafat 360 H) berkata: "Allah telah memuliakan hadits dan memuliakan golongannya (Ahlul Hadits). Allah juga meninggikan kedudukannya dan hukumnya di atas seluruh aliran. Didahulukannya ia (hadits) di atas semua ilmu serta diangkatnya nama-nama para pembawanya yang memperhatikannya. Maka jadilah mereka (Ahlul Hadits) inti agama dan tempat bercahayanya hujjah. Bagaimana mereka tidak mendapatkan keutamaan dan tidak berhak mendapatkan kedudukan tinggi, sedangkan mereka adalah penjaga-penjaga Dien ini atas umatnya..." (Al-Muhadditsul Fashil 1-4)<br />
<br />
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi (wafat 405) berkata setelah meriwayatkan dengan sanadnya dua ucapan tentang Ahlul Hadits (yang artinya): Umar bin Hafs bin Gayyats berkata: Aku mendengar ayahku ketika dikatakan kepadanya: "Tidaklah engkau melihat Ashabul Hadits dan apa yang ada pada mereka?" Dia berkata: "Mereka sebaik-baik penduduk bumi." Dan riwayat dari Abu Bakar bin Ayyasy: "Sungguh aku berharap Ahli Hadits adalah sebaik-baik manusia." Kemudian beliau (Abu Abdullah Al-Hakim) berkata: "Keduanya telah benar bahwa Ashabul Hadits adalah sebaik-baik manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah mengorbankan dunia seluruhnya di belakang mereka. Kemudian menjadikan penulisan sebagai makanan mereka, penelitian sebagai hidangan mereka, mengulang-ulang sebagai istirahat mereka..." Dan akhirnya beliau mengatakan: "Maka akal-akal mereka dipenuhi dengan kelezatan kepada sunnah. Hati-hati mereka diramaikan dengan keridhaan dalam segala keadaan. Kebahagiaan mereka adalah mempelajari sunnah. Hobi mereka adalah majelis-majelis ilmu. Saudara mereka adalah seluruh Ahlus Sunnah dan musuh mereka adalah seluruh Ahlul Ilhad dan Ahlul Bid'ah." (Ma'rifatu Ulumul Hadits 1-4)<br />
<br />
Berkata Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali tentang Ashabul Hadits: "Mereka adalah orang-orang yang menjalani manhaj para shahabat dan tabi'in, yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam berpegang dengan Kitab dan Sunnah, dan menggigit keduanya dengan geraham mereka, mendahulukan keduanya di atas semua ucapan dan petunjuk, apakah itu dalam masalah akidah, ibadah, mu'amalah, akhlak, politik, ataukah sosial.<br />
<br />
Oleh sebab itu, mereka adalah orang-orang yang mantap dalam dasar-dasar dan cabang-cabang Dien ini, sesuai dengan apa yang Allah turunkan dan wahyukan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan para hamba-Nya. Mereka tegak dalam dakwah, mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh dan jujur dengan tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan membersihkannya dari penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, dari kedustaan-kedustaan orang-orang bathil dan dari takwil-takwilnya orang-orang bodoh. Oleh karena itu, mereka selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu'tazilah, Khawarij, Rafidhah, Murji'ah, Qadariyyah, dan setiap firqah yang menyempal dari manhaj Allah di setiap zaman dan di setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela..."<br />
<br />
Beliau pun akhirnya menyebut mereka sebagai golongan yang selamat (Firqah Najiyah) yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (Thaifah Manshurah) kemudian berkata: "Mereka, setelah shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan pimpinan mereka Al-Khulafa'ur Rasyidin, adalah para tabi'in. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah:<br />
<br />
- Sa'id bin Musayyab (wafat setelah 90 H)<br />
<br />
- Urwah bin Zubair (wafat 94 H)<br />
<br />
- Ali bin Husain Zainal Abidin (wafat 93 H)<br />
<br />
- Muhammad Ibnul Hanafiyah (wafat 80 H)<br />
<br />
- Ubaidillah bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H)<br />
<br />
- Al-Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (wafat 106 H)<br />
<br />
- Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H)<br />
<br />
- Muhammad bin Sirrin (wafat 110)<br />
<br />
- Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H)<br />
<br />
- Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 125 H) dan lain-lain.<br />
<br />
Kemudian di antara tabi'ut tabi'in (pengikut tabi'in) tokoh-tokoh mereka adalah:<br />
<br />
- Imam Malik (wafat 179 H)<br />
<br />
- Al-Auza'i (wafat 198 H)<br />
<br />
- Sufyan Ats-Tsauri (wafat 161 H)<br />
<br />
- Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H)<br />
<br />
- Ismail bin Ulayyah (wafat 198 H)<br />
<br />
- Al-Laits bin Sa'd (wafat 175 H)<br />
<br />
- Abu Hanifah An-Nu'man (wafat 150 H) dan lain-lain.<br />
<br />
Setelah para tabi'ut tabi'in adalah pengikut mereka, di antaranya:<br />
<br />
- Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H)<br />
<br />
- Waqi' bin Jarrah (wafat 197 H)<br />
<br />
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (wafat 204 H)<br />
<br />
- Abdurrahman bin Mahdi (198 H)<br />
<br />
- Yahya bin Said Al-Qattan (wafat 198 H)<br />
<br />
- Affan bin Muslim (wafat 219 H) dan lain-lain.<br />
<br />
Kemudian pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka di antaranya:<br />
<br />
- Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H)<br />
<br />
- Yahya bin Ma'in (wafat 233 H)<br />
<br />
- Ali Ibnul Madini (wafat 234 H), dan lain-lain.<br />
<br />
Kemudian, murid-murid mereka seperti:<br />
<br />
- Al-Bukhari (wafat 256 H)<br />
<br />
- Muslim (wafat 261 H)<br />
<br />
- Abu Hatim (wafat 277 H)<br />
<br />
- Abu Zur'ah (wafat 264 H)<br />
<br />
- Abu Dawud (wafat 275 H)<br />
<br />
- At-Tirmidzi (wafat 279)<br />
<br />
- An-Nasa'i (wafat 303 H), dan lain-lain.<br />
<br />
Setelah itu, orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:<br />
<br />
- Ibnu Jarir At-Thabari (wafat 310 H)<br />
<br />
- Ibnul Khuzaimah (wafat 311 H)<br />
<br />
- Ad-Daruquthni (wafat 385 H)<br />
<br />
- Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H)<br />
<br />
- Abdul Ghani Al-Maqdisi dan Ibnul Qudamah (wafat 620 H)<br />
<br />
- Ibnu Shalih (wafat 743 H)<br />
<br />
- Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H)<br />
<br />
- Al-Muzzi (wafat 743 H)<br />
<br />
- Adz-Dzahabi (wafat 748 H)<br />
<br />
- Ibnu Katsir (wafat 774)<br />
<br />
- Dan ulama yang seangkatan di zaman mereka.<br />
<br />
Kemudian yang setelahnya yang mengikuti jejak mereka dalam berpegang dengan kitab dan sunnah sampai hari ini. Mereka itulah yang kita maksud dengan Ashabul Hadits.<br />
<br />
<br />
<br />
Pembelaan Mereka terhadap Aqidah<br />
<br />
Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka membelanya dan membersihkannya dari penyelewengan, kedustaan, dan takwil-takwil Ahli Bid'ah.<br />
<br />
Maka, ketika muncul Ahli Bid'ah yang pertama yaitu Khawarij, Ali radhiallahu anhu dan para shahabat bangkit membantah mereka, kemudian memerangi mereka dan mengambil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam riwayat-riwayat yang menyuruh untuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh mereka adalah sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah. (Lihat Mawaqifus Shahabah fil Fitnah Bab 3 juz 2 hal 191 oleh Dr Muhammad Ahmazun)<br />
<br />
Ketika Syiah muncul, Ali radhiallahu anhu mencambuk orang-orang yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan puluh kali cambukan. Dan orang-orang ekstrim dari kalangan mereka yang mengangkat Ali sampai ke tingkat Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar dengan api. (lihat Fatawa Syaikhul Islam)<br />
<br />
Demikian pula ketika sampai kepada Abdullah bin Umar radhiallahu anhu berita tentang suatu kaum yang menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut mereka perkara ini terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan kepada pembawa berita tersebut: "Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara`) dari mereka dan mereka berlepas diri dariku! Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung Uhud, kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah tidak akan menerima daripadanya sampai dia beriman dengan taqdir baik dan buruknya." (HR. Muslim 1/36)<br />
<br />
Imam Malik pun ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa Al-Qur`an itu makhluk, maka beliau berkata: "Dia menurut pendapat adalah kafir, bunuhlah dia!" Juga Ibnul Mubarak, Al-Laits bin Sa'd, Ibnu Uyainah, Hasyim, Ali bin Ashim, Hafs bin Gayats maupun Waqi bin Jarrah sependapat dengannya. Pendapat yang seperti ini juga diriwayatkan dari Imam Tsauri, Wahab bin Jarir dan Yazid bin Harun. (Mereka semua mengatakan): orang-orang itu diminta untuk taubat. Kalau tidak mau, dipenggal kepala mereka. (Syarah Ushul I'tikad 494, Khalqu Af'alil Ibad hal 25, Asy'ariyah oleh Al-Ajuri hal 79, dan Syarhus Sunnah/Al-Baghawi 1/187)<br />
<br />
Rabi' bin Sulaiman Al-Muradi, shahabat Imam Syafi'i, berkata: "Ketika Haf Al-Fardi mengajak bicara Imam Syafi'i dan dia mengatakan Al-Qur`an itu makhluk, maka Imam berkata kepadanya: 'engkau telah kafir kepada Allah yang maha Agung." Imam Malik pernah ditanya tentang bagaimana istiwa` Allah di atas 'Arsy-Nya, maka dia mengatakan: "Istiwa` sudah diketahui (maknanya), sedangkan bagaimananya tidak diketahui. Dan pertanyaan tentang itu adalah bid'ah dan aku tidak melihatmu kecuali Ahli Bid'ah!" Kemudian (orang yang bertanya itu) diperintahkan untuk keluar dan beliau menegaskan bahwa sesungguhnya Allah itu di langit. Dan beliau juga pernah mengeluarkan seseorang dari majelisnya karena dia seorang Murji'ah. (Syarah Ushul I'tiqad 664)<br />
<br />
Said bin Amir berkata: "Al-Jahmiyyah lebih jelek ucapannya daripada Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani dan seluruh penganut agama (samawi) telah sepakat bahwa Allah Tabaraka wa Ta'ala di atas Arsy-Nya, tapi mereka (Al-Jahmiyyah) mengatakan tidak ada sesuatu pun di atas Arsy." (Khalqu Af'alil Ibad hal 15)<br />
<br />
Ibnul Mubarak berkata: "Kami tidak mengatakan seperti ucapan Jahmiyyah bahwa Dia (Allah) itu di bumi. Tetapi (kami katakan) Allah di atas Arsy-Nya beristiwa." Ketika ditanyakan kepadanya: "Bagaimana kita mengenali Rabb kita?" Beliau berkata: "Di atas Arsy... Sesungguhnya kami bisa mengkisahkan ucapan Yahudi dan Nasrani, tapi kami tidak mampu untuk mengkisahkan ucapan Jahmiyyah." (Khalqu Af'alil Ibad/Bukhari hal 15, As-Sunnah/Abdullah bin Ahmad bin Hambal 1/111 dan Radd Alal Jahmiyyah/Ad-Darimi hal. 21 dan 184)<br />
<br />
Imam Bukhari berkata: "Aku telah melihat ucapan Yahudi, Nasrani dan Majusi. Tetapi aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran selain mereka (Jahmiyah) dan sesungguhnya aku menganggap bodoh siapa yang tidak mengkafirkan mereka kecuali yang tidak mengetahui kekufuran mereka." (Khalqu Af'alil Ibad hal 19)<br />
<br />
Dikeluarkan oleh Baihaqi dengan sanad yang baik dari Al-Auza'i bahwa dia berkata: "Kami dan seluruh tabi'in mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arsy-Nya dan kami beriman dengan sifat-sifat yang diriwayatkan dalam sunnah." Abul Qasim menyebutkan sanadnya sampai ke Muhammad bin Hasan As-Syaibani bahwa dia berkata: "Seluruh fuqaha (ulama) di timur dan di barat telah sepakat atas keimanan kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits yang dibawa oleh rawi-rawi yang tsiqah (terpercaya) dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang sifat-sifat Rabb Subhanahu wa Ta'ala tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa tafsir (takwil). Barangsiapa menafsirkan sesuatu daripadanya dan mengucapkan seperti ucapan Jahm (bin Sufyan), maka dia telah keluar dari apa yang ada di atasnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya, dan dia telah memisahkan diri dari Al-Jama'ah karena telah mensifati Allah dengan sifat yang tidak ada." (Syarah Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah 740)<br />
<br />
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaqib Syafi'i dari Yunus bin Abdul A'la: Aku mendengar Imam Syafi'i berkata: "Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak seorangpun bisa menolaknya. Barangsiapa yang menyelisihinya setelah tetap (jelas) baginya hujjah, maka dia telah kafir. Adapun jika (menyelisihinya) sebelum tegaknya hujjah, maka dia dimaklumi karena bodoh. Karena ilmu tentangnya tidak bisa dicapai dengan akal dan mimpi. Tidak pula dengan pemikiran. Oleh sebab itu, kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan tasybih sebagaimana Allah menafikan dari dirinya sendiri." (Lihat Fathul Bari 13/406-407)<br />
<br />
Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits tentang Allah menerima sedekah dengan tangan kanannya (muttafaqun alaih), katanya: "Tidak hanya satu dari Ahli Ilmu (ulama) yang telah berkata tentang hadits ini dan yang mirip dengan ini dari riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah seperti turunnya Allah tabaraka wa Ta'ala setiap malam ke langit dunia. Mereka semuanya mengatakan: Telah tetap riwayat-riwayat tentangnya, diimani dengannya, tidak menduga-duga dan tidak mengatakan "bagaimana". Demikian pula ucapan seluruh ahli ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah."<br />
<br />
Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan membela aqidah ini yang bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin Dawud Al-Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan-kepercayaan Allah atas Dien-Nya dan penjaga-penjaga sunnah nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal. Ditegaskan oleh Imam Ats-Tsauri rahimahullah: "Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia." Ibnu Zurai' rahimahullah juga menambahkan: "Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ahlul Hadits)." Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid'ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab tentang aqidah Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid'ah dan sesat, baik itu fuqaha (ahli fiqih) mereka, mufasir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa.<br />
<br />
Akhirnya, marilah kita simak perkataan Imam Syafi'i rahimahullah ini: "Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka aku seakan-akan melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam hidup kembali." (HR. Al-Khatib dengan sanad SHAHIH, Syaraf Ashabul Hadits hal 26)<br />
<br />
Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman daripada kami. Dan janganlah Kau jadikan di hati kami kebencian atau kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.<br />
<br />
Amien ya rabbal 'alamin.</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"></span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;"></span><br />
<span style="color: #333333; font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif;">Penulis : Ustadz Umar Muhammad As-sawed<br />
Sumber: Salafy edisi IV/Dzulqa'dah/1416/1996 rubrik Mabhats</span><br />
<i>http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=84 dipublikasi ulang oleh salafushshalih.blogspot.com</i>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-45671980352339870642010-05-26T07:16:00.000-07:002010-05-26T07:16:49.827-07:00Ghibah, Haram Tapi Diminatiبسم الله الرحمن الرحيم<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> </div><div class="post-body entry-content" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><style>
.fullpost{display:inline;}
</style> <br />
Ghibah atau dalam bahasa sehari-hari biasa disebut ‘gosip’ atau ‘ngrumpi’, adalah aktivitas yang ‘luar biasa mengasyikkan’. Bagaimana tidak, kita sudah melihat banyak orang yang terjatuh dalam perbuatan ini baik secara sadar ataupun tidak. Syaithan telah begitu indah menghiasi perbuatan ini, jadi terkadang sekelompok orang yang sedang berghibah tentang saudaranya sambil tertawa-tawa, tidak sedikitpun menyadari bahwa mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.<br />
<span class="fullpost"><br />
Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam lembah maksiat adalah lisan. Sungguh betapa ringan rasanya jika lisan digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Dan rasakan pula betapa beratnya mengajak lisan untuk taat kepada Allah. Demikianlah hakikat lisan, sebagaimana dikatakan Abu Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui rasa asinnya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan menjadi sangat tanggap pula apabila melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah lidah itu tak bertulang.”<br />
<br />
Jika kita ingin mengetahui isi hati seseorang, maka cukuplah kita memperhatikan lisannya. Karena ucapan lisan akan menunjukkan isi hati seseorang, baik hal ini diakuinya atau tidak. Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Hati adalah laksana periuk yang mendidihkan isi yang ada didalamnya. Lisan laksana gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang sedang berbicara. Karena lisannya akan menuangkan isi hatinya, manis, masam, segar, sangat asin ataukah rasa yang lain. Akan jelas bagi kita rasa hatinya dengan gayung lisannya.”[1]<br />
<br />
<b>Kekejian Berupa Memakan Bangkai Saudara Sendiri</b><br />
Ghibah adalah salah satu dari sekian banyak penyakit lisan yang berbahaya dan kini telah merebak luas di kalangan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan ghibah dengan sabda beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,<br />
أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله أعلم, قال: ذكرك أخاك بما يكره, قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول, قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتيته وإن لم يكن فيه فقد بهته<br />
“’Apakah kalian tahu apakah ghibah itu?’ Mereka mengatakan: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Nabi bersabda: ‘Membicarakan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.’ Ada orang yang bertanya: ‘Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar ada pada dirinya?’ Beliau menjawab: ‘Jika apa yang kau katakan itu benar ada pada dirinya, maka berarti kamu telah mengghibahinya. Namun jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada dirinya maka kamu telah berdusta atasnya (memfitnahnya).” [Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2000), lihat juga <i>Syarah Nawawi fi Shahih Muslim</i> (XVI/142)]<br />
<br />
Dan Allah juga telah mengisyaratkan para pelaku ghibah sebagai orang-orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri, dalam firman-Nya:<br />
يـأيهـا الذين ءامنوا الجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا, أيحب أحدكم أن يأكل لحم إخيه ميتـافكر هتموه, والتـقـو الله, إن الله تواب رحيم<br />
<i>“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”</i> (QS. Al-Hujurat: 12)<br />
<br />
Imam an-Nawawi mendefinisikan ghibah dengan berkata, ”Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan, akhlak, harta, anak, istri, pembantu, gaya, ekspresi rasa senang, rasa duka dan sebagainya yang berkaitan dengan dirinya, baik dengan kata-kata yang gamblang, isyarat, maupun dengan kode.”[2]<br />
<br />
Ghibah tidaklah hanya dengan kata-kata saja, akan tetapi seluruh perbuatan yang menyebabkan orang lain bisa faham terhadap hal yang tidak disukai oleh orang yang dighibahi/dipergunjingkan, meskipun berupa sindiran, perbuatan, isyarat, kedipan mata, celaan, tulisan dan segala sesuatu yang mampu menjelaskan maksud yang diinginkan. Semisal meniru gaya berjalan seseorang. Itu semua termasuk ghibah bahkan lebih berbahaya daripada ghibah dengan kata-kata karena perbuatan tersebut mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang lebih gamblang.[3]<br />
‘Aisyah berkata: “Aku menirukan gerakan seseorang di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata,<br />
ما أحب أني حكيت إنسا نا و أن لي كذا وكذا <br />
“Aku tidak suka menirukan gerakan seseorang meski aku mendapatkan upah sekian dan sekian banyaknya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dalam <i>Sunan</i>-nya (IV/269) dan <i>Aunul Ma’bud</i> (XIII/223), lihat juga <i>Shahihul Jami’</i> (V/31)]<br />
<br />
<b>Ghibah adalah Dosa Besar</b><br />
Dari penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ghibah adalah menceritakan keadaan atau perkara seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Namun, tidak jarang dalam pembicaraan itu ada bagian-bagian yang ditambah atau dikurangi, dan apabila yang dibicarakan ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka orang berbicara ini dikenai dosa sebagai seorang pendusta.<br />
<br />
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan dalam hal yang maslahatnya lebih kuat, seperti dalam masalah jarh wat ta’dil (menerangkan kualitas perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang tidak baik akhlaknya meminta izin untuk bertemu dengan beliau, maka beliau berkata,<br />
ائـذنوا له بئس أخو العشيرة<br />
“Berikan izin untuknya, dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.”[4]<br />
Juga seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais ketika dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm[5], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (yakni suka memukul).”[6]<br />
<br />
Ghibah jelas merupakan perbuatan yang haram dan terlarang, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,<br />
يـأيهـا الذين ءامنوا الجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا, أيحب أحدكم أن يأكل لحم إخيه ميتـافكر هتموه, والتـقـو الله, إن الله تواب رحيم<br />
<i>“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”</i> (QS. Al-Hujurat: 12)<br />
<br />
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan kepada kita tentang larangan ghibah sekaligus ancaman bagi orang yang melakukan ghibah,<br />
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
لماعرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم, فقلت: من هؤلاء يا جبريل؟ قال: هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم<br />
“’Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan sekelompok orang yang kukunya terbuat dari tembaga lalu mereka mencakar muka dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (melakukan ghibah) dan melanggar kehormatan orang lain.” [Riwayat Abu Dawud dalam <i>Sunan</i>-nya (IV/269) dan <i>Aunul Ma’bud</i> (XIII/223) dan Ahmad dalam <i>Musnad</i>-nya (III/224), hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth dalam kitab <i>Al-Adzkar</i> Imam Nawawi hal. 29. Lihat juga <i>Shahihul Jami’</i> (V/51)]<br />
<br />
Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
يا معشر من امن بلسانه ولم يد خل الإيمان قلبه لا تغتا بوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم, فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته, ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته<br />
“Wahai sekalian orang yang baru beriman di mulut saja, yang keimanan itu belum masuk ke dalam relung hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin atau mencari-cari kejelekannya. Sesungguhnya orang-orang yang mencari-cari kejelekan orang beriman maka Allah akan mencari-cari kejelekannya. Barang siapa yang kejelekannya dicari-cari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dirinya di rumahnya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud (IV/270) dan Ahmad (IV/421, 424). Lihat juga <i>Shahihul Jami’</i> (VI/308 no. 3549)]<br />
<br />
Hadits di atas mengingatkan bahwa menggunjing seorang muslim termasuk ciri khas orang munafik, bukan ciri orang mukmin. Di dalam hadits tersebut Allah mengancam akan membuka aib orang-orang yang mencari-cari kejelekan kaum muslimin. Allah membalas mereka disebabkan oleh perbuatan buruk yang mereka lakukan. Allah akan menyingkap kejelekan-kejelekan mereka walaupun mereka berada di dalam rumah. <i>Laa hawla wa laa quwwata illa billah...</i>[7]<br />
<br />
<b>Sikap Ketika Mendengar Ghibah</b><br />
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, hal yang seharusnya dilakukan seseorang yang mendengar seorang muslim dipergunjingkan, maka hendaklah dia mencegah dan menghentikan pembicaraan itu. Andaikan orang yang menggunjing itu tidak mau berhenti setelah diingatkan dengan kata-kata, maka hendaklah diingatkan dengan tangan. Seandainya orang yang mendengar ghibah tadi tidak mampu mengingatkan dengan tangan maupun dengan lisan, maka hendaklah dia meninggalkan tempat itu. Apabila dia mendengar gurunya, orang yang berjasa kepada dirinya atau orang yang memiliki kelebihan dan keshalihan dipergunjingkan maka hendaknya ada perhatian lebih terhadap apa yang telah dijelaskan di atas.[8]<br />
<br />
Telah datang riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah dan Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
وما من امرئ ينصر مسلما في موضع ينتـقص فيه من عرضه وينتهـك فيه من حرمته إلا نصره الله في موطن يحب نصرته<br />
“Barang siapa yang tidak membela saudaranya sesama muslim pada saat kehormatan dan harga dirinya dilecehkan, maka Allah pasti tidak akan membelanya pada saat pertolongan Allah sangat diharapkan.” [Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dalam <i>Sunan</i>-nya (IV/271) dan Ahmad dalam <i>Musnad</i>-nya (IV/30). Lihat juga <i>Shahih Jami’ush Shaghir</i> (V/160)]<br />
<br />
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,<br />
من رد عن عرض أخيه رد الله عن وجهه النار يوم القيامة<br />
“Barang siapa membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka pada Hari Kiamat.” [Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/450) dan Tirmidzi (IV/327). Lihat juga <i>Shahih Jami’ush Shaghir</i> (V/295)]<br />
<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,<br />
من ذب عن لحم أخيه بالغيبة كان حقا على الله أن يعتقه من النار<br />
“Barang siapa membela daging (kehormatan) saudaranya dari gunjingan orang lain, maka Allah pasti akan membebaskannya dari Neraka.”[Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/461). Lihat juga <i>Shahihul Jami’</i> (V/290 no. 6116)]<br />
<br />
<b>Ghibah yang Diperbolehkan</b><br />
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan[9], “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i, yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya, yakni dengan enam perkara:<br />
1. Ketika terzhalimi. Orang yang dizhalimi (dianiaya) boleh mengadukan orang yang menzhaliminya kepada qadhi, hakim, penguasa, atau pihak berwajib.<br />
2. Meminta bantuan untuk merubah dan menghilangkan kemungkaran dan menyadarkan pelaku maksiat agar kembali ke jalan yang benar.<br />
3. Meminta fatwa kepada mufti dengan menjelaskan kondisi atau keadaan orang lain dengan maksud agar mufti memahami keadaan dan duduk perkara yang sebenarnya terjadi.<br />
4. Memperingatkan kaum muslimin dari bahaya. Contoh ghibah yang diperbolehkan dalam hal ini adalah kritik terhadap perawi hadits (<i>jarh wat ta’dil</i>); menceritakan kekurangan seseorang ketika dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting (seperti pernikahan); jika melihat barang yang cacat atau budak yang suka mencuri atau suka mabuk, kita mengingatkan pembeli dengan maksud memberi nasihat dan bukan untuk mengacaukan transaksi jual beli dan merugikan pihak penjual; menasihati orang yang menimba ilmu kepada orang fasiq atau ahli bid’ah dan dikhawatirkan orang tersebut akan terpengaruh, maka kita menasihatinya dengan menjelaskan keadaan gurunya yang sebenarnya; apabila kita melihat seseorang yang tidak amanah dalam memegang jabatannya atau tugasnya dan selalu melanggar aturan agama, maka kita dapat melaporkannya kepada atasannya dengan menjelaskan keadaaan yang sebenarnya.<br />
5. Orang-orang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Dalam hal ini, boleh menceritakan kejelekan yang dilakukannya dalam hal kefasikan atau kebid’ahan yang dilakukannya secara terang-terangan. Namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang selain itu kecuali berdasarkan alasan yang dapat dibenarkan.<br />
6. Memanggil seseorang yang masyhur (populer) dengan sebutan semacam itu, seperti misalnya memanggil seseorang yang terkenal dengan julukan ‘si buta’, ‘si pincang’, ‘si pendek’, dsb. Dan sebutan ini hanya diperbolehkan untuk memberikan penjelasan keadaan orang tersebut, adapun jika maksudnya adalah untuk mencela orang tersebut, maka hal tersebut tidak boleh. Akan tetapi, akan sangat lebih baik apabila memberikan penjelasan tanpa menggunakan julukan seperti itu.<br />
<br />
<b>Solusi Untuk Terlepas Dari Ghibah</b><br />
Agar terhindar dari ghibah, maka dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:<br />
1. Hendaklah kita menyadari bahwa apabila kita menggunjing seseorang, berarti kita akan mendapat kemurkaan dan kemarahan dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai riwayat sebelumnya. Hendaknya kita juga menyadari bahwa pahala dan segala bentuk kebaikan yang telah susah payah kita kumpulkan pada hari ini dan hari-hari sebelumnya, akan dilimpahkan kepada orang yang kita ghibahi pada Hari Kiamat nanti sebagai bentuk ‘ganti rugi’ terhadap perampasan kehormatan orang lain. Dan ketika kita tidak memiliki sedikit kebaikan pun untuk diberikan kepadanya, maka kejelekannyalah yang akan ditambahkan kepada kita, sehingga memberatkan timbangan keburukan kita[10]. Maka bagaimana kesudahan kita apabila timbangan keburukan lebih berat daripada timbangan kebaikan..?<br />
2. Telitilah dan perbaikilah faktor-faktor yang mendorong kita untuk berbuat ghibah. Apakah faktor-faktor yang membuat kita ‘menyukai’ ghibah akan memberi manfaat untuk kita atau orang yang kita gunjing atau terlebih untuk orang lain yang ikut mendengarkan..? Jika tidak, maka ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br />
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت<br />
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (VII/ 184 no.6475) dan Muslim (I/68 no. 74), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]<br />
<br />
<b>Infotaiment = <i>Ghibahtainment</i></b><br />
Tidak dapat disangsikan lagi bahwa televisi menjadi salah satu faktor terjebaknya umat manusia dalam kecenderungan hidup yang hedonis dan permisif. Bagaimana tidak..? Televisi telah ‘sukses’ menjadikan para pemuda menggantungkan mimpinya hanya sebatas kebahagiaan dunia. Idola mereka kini adalah artis-artis muda, dengan perawakan rupawan dan uang jutaan. Tidak jarang para pemuda dan orang tua duduk di depan televisi menunggu siaran program infotainment, hanya untuk mendengarkan kabar terbaru dari artis idola mereka. Mereka pikir bahwa mereka akan dicap gaul dan modis jika mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh artis idola mereka. Sungguh suatu kebobrokan akhlak yang nyata..!!<br />
Ingatlah wahai kaum muslimin, tidak akan menjadi baik suatu keburukan, meski dia dihiasi dengan keindahan dan kemewahan. Ghibah, atau apa pun namanya, tetap haram hukumnya, dari dulu hingga sekarang, meskipun engkau menggantinya dengan judul yang bermacam-macam.<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه<br />
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.” (Hadits shahih, riwayat Tirmidzi no. 2317)<br />
<br />
___________<br />
Catatan kaki:<br />
[1] <i>Hilyatul Auliya</i>,’ X/63.<br />
[2] <i>Al-Adzkar</i>, hal. 288.<br />
[3] <i>Afaatul Lisaan fi Dhau’il Kitab was Sunnah</i>, hal. 18.<br />
[4] Hadits shahih, riwayat Bukhari no. 6131 dan Muslim no.2591.<br />
[5] Lafazhnya sebagai berikut,<br />
أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عا تقــه وأما معاوية فصعلو ك لا مال له<br />
“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu’awiyah, dia adalah orang miskin yang tidak memiliki harta.” [Hadits shahih, riwayat Muslim no. 1480].<br />
[6] <i>Tafsir Al-Qur’anil Azhim</i>, IV/215.<br />
[7] <i>Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud</i>, XIII/224.<br />
[8] <i>Al-Adzkar</i>, hal 294.<br />
[9] <i>Syarah Nawawi fi Shahih Muslim, XVI/142 dan Al-Adzkar</i>, hal. 292.<br />
[10] Berdasarkan hadits yang cukup panjang dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 2581.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
</span><br />
<span style="font-size: x-small;"><i>sumber : http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com publikasi ulang oleh salafushshalih.blogger.com</i></span></div>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-17836296431644429432010-05-25T07:36:00.000-07:002010-05-25T07:36:48.927-07:00Kekeliruan Dalam Mengucapkan Kata "Waiyyakum"<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;"></span><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: left;"><span style="font-size: small;">Oleh :</span><span style="font-size: small;"><a href="http://www.facebook.com/profile.php?id=1243014407">-Abu Ahmed-</a><br />
</span><span style="font-size: small;">Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?<br />
<br />
<b>Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan ucapan tersebut:</b><br />
<br />
<b>Asy Syaikh Muhammad 'Umar Baazmool, pengajar di Universitas Ummul Quraa Mekah, ditanya: </b>Beberapa orang sering mengatakan "Amiin, waiyyaak" (yang artinya "Amiin, dan kepadamu juga") setelah seseorang mengucapkan "Jazakallahu khairan" (yang berarti "semoga ALLAH membalas kebaikanmu"). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?<br />
<br />
<b>Beliau menjawab:</b><br />
Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan "Jazakalahu khairan," tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan "wa iyyaakum."<br />
<br />
Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan "wa iyyaakum," setelah doa apapun, dan tidak berkata "Jazakallahu khairan," mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama). <br />
<br />
<b>Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta’ala ditanya:</b> apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga)?<br />
<br />
<b>Beliau menjawab:</b><br />
“tidak ada dalilnya, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khair” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu dido'akan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazakalallahu khair” dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”<br />
<br />
<b>Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi ditanya: </b>Apa hukumnya mengucapkan, “Syukran (terimakasih)” bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita?<br />
<br />
<b>Beliau menjawab:</b><br />
Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, “Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.” Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan.<br />
<br />
<b>Menjawab dengan "Wafiika barakallah".</b><br />
Apabila ada seseorang yang telah mengucapkan do'a "Barakallahu fiikum atau Barakallahu fiika" kepada kita, maka kita menjawabnya: "Wafiika barakallah" (Semoga Allah juga melimpahkan berkah kepadamu) (lihat Ibnu Sunni hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun)<br />
<br />
<b>Menjawab dengan "jazakallahu khair".</b><br />
Ada satu hadits yang menjelaskan sunnahnya mengucapkan "jazakallahu khairan", dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khair (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” (HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)<br />
<br />
<b>Ada beberapa ketentuan dalam mengucapkan jazakallah:</b><br />
- jaza<b>ka</b>llahu khairan (engkau, lelaki)<br />
- jaza<b>ki</b>llahu khairan (engkau, perempuan)<br />
- jaza<b>ku</b>mullahu khairan (kamu sekalian)<br />
- jaza<b>hu</b>mullahu khairan (mereka)<br />
<br />
<b>Fatwa ulama seputar ucapan "jazakallah":</b><br />
<br />
<b>Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya:</b><br />
sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan "jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan), dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, dimana beliau mengatakan "sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?<br />
<br />
<b>Beliau menjawab:</b><br />
Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini, sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do'a yang disebut ini. Boleh jadi orang yang dido'akan dengan do'a ini tidak menghendakinya. Seseorang mendoakan kebaikan, dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini. Namun jika seseorang menyebutkan do'a ini, bukan berarti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk menambah dari do'a tersebut. Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya. Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa. Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a. Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya, boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.<br />
<br />
<b>Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya:</b><br />
Ada sebagian orang berkata: ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?<br />
<br />
<b>Beliau -hafidzahullah- menjawab:</b><br />
“Demi Allah, kebaikan itu tidak ada batasnya, sedangkan kata seribu itu terbatas, sementara kebaikan tidak ada batasnya. Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”, seperti ungkapan mereka ini. Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.” (transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222)<br />
<br />
<b>Kesimpulan:</b><br />
Ucapan "Waiyyak" secara harfiah artinya "dan kepadamu juga". Ini adalah bentuk do'a `yang walaupun ulama kita tidak menemukan itu sebagai sunnah. Dalam kasus manapun, namun tidak ada ulama yang melarang berdo'a dengan selain ucapan "Jazakumullah khairan" dengan syarat tidak boleh menganggapnya merupakan bagian dari sunnah. Namun untuk lebih afdholnya kita ucapkan "jazakalla khair", inilah sunnahnya.<br />
<br />
Ada satu <b>kaidah ushul fiqih </b>yang dengan ini mudah-mudahan kita bisa terhindar dari bid'ah dan kesalahan-kesalahan dalam beramal atau beribadah.<br />
<br />
<b>Al-Imam Al-Bukhari (dalam kitab Al-Ilmu)</b> beliau berkata, "Ilmu itu sebelum berkata dan beramal". Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).<br />
<br />
Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya? Tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Kita tidak boleh asal ikut-ikutan orang lain tanpa dasar ilmu, seseorang sebelum berbuat sesuatu harus mengetahui dengan benar dalil-dalilnya.<br />
<br />
<b>Muraja':</b><br />
<span> - sunniforum.com/forum/showt</span></span> </div><div author="achfan" author_possessive="achfan's" class="bodytext" id="item_body" is_pmrepliable="1" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: left;"><wbr></wbr><span style="font-size: small;"><span class="word_break"></span>hread.php?t=3105<br />
<span> - darussalaf.or.id/stories.p</span></span><wbr></wbr><span style="font-size: small;"><span class="word_break"></span>hp?id=1520<br />
- Hisnul Muslim, Syaikh Said bin Ali Al Qathani<br />
<br />
Semoga bermanfaat, Wallahu ta'ala a'lam bissowab</span></div><div author="achfan" author_possessive="achfan's" class="bodytext" id="item_body" is_pmrepliable="1" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: left;"><span style="font-size: small;"> </span></div><i>sumber : achfan.multiply.com/reviews/item/160 publikasi ulang shalafushshalih.blogger.com</i>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-83290451712161336372010-05-20T07:46:00.000-07:002010-05-20T07:46:01.416-07:00Hukum Memotong Jenggot<div align="right"> <a class="pn-normal" href="http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=32" target="_blank" title="printer-friendly page"><img src="http://www.darussalaf.or.id/images/print.gif" title="" /></a> <a class="pn-normal" href="http://www.darussalaf.or.id/friend_send.php?id=32" title="kirim artikel ini kepada seseorang"><img src="http://www.darussalaf.or.id/images/friend.gif" title="" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S_VLF4w9RzI/AAAAAAAAAE0/BlZd4JVtp_Y/s1600/janggut.thumbnail.gif" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S_VLF4w9RzI/AAAAAAAAAE0/BlZd4JVtp_Y/s320/janggut.thumbnail.gif" /></a></div><div style="font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif; line-height: 150%;"> Pertanyaan:<br />
Apa hukum mencukur jenggot sampai habis atau memotong sebagiannya?<br />
<br />
<br />
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah menjawab: <br />
Orang yang mencukur jenggotnya sampai habis tergolong orang yang fasiq, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: <br />
احْفُوا الشَّوَارِبَ وَأعْفُوا اللِّحَى<br />
“Potonglah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian.”<br />
<br />
<br />
dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pula:<br />
وَفِّرُوا اللِّحَى<br />
“Biarkanlah jenggot kalian menjadi banyak.”<br />
Juga:<br />
أَكْرِمُوا اللِّحَى<br />
“Muliakanlah jenggot kalian.”<br />
Juga: <br />
ارْخُوا اللِّحَى<br />
“Panjangkan jenggot kalian.”<br />
Juga: <br />
قَصُّوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى<br />
“Potonglah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian.”<br />
Banyak sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot, dan tidak pernah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mencukur habis jenggotnya, bahkan jenggot beliau menutupi dada beliau. Dan tidak didapatkan pula adanya riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang muslim yang mencukur jenggotnya lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyetujuinya. Bahkan mencukur jenggot tergolong perbuatan tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Islam dan perbuatan tasyabbuh (menyerupai) wanita.<br />
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk menjaga penampilan Islami di mana pun dia berada, sehingga dia tidak kehilangan jati diri muslim sebagaimana orang lain kehilangan jati diri muslimnya. Wallahul musta’an.<br />
Jenggot merupakan perhiasan bagi seorang lelaki. Meskipun engkau melihat adanya sebagian orang alim yang fasiq memotongnya, ini bukanlah suatu hujjah. Juga meskipun engkau melihat di antara para raja dan pimpinan yang memotong jenggotnya, ini bukanlah hujjah. Yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila engkau melihat orang-orang alim yang memotong jenggot mereka atau para raja dan pimpinan, niscaya engkau dapati mereka terpengaruh oleh musuh-musuh Islam. Sama saja mereka terpengaruh dengan belajar kepada musuh-musuh Islam ataupun belajar kepada orang yang belajar kepada musuh-musuh Islam, ataupun terpengaruh oleh orang yang terpengaruh musuh-musuh Islam. Tidak boleh bagi seorang pun untuk mengambil teladan dari salah seorang dari mereka, bahkan As Sunnah yang wajib untuk diikuti. <br />
Demikian pula memotong sebagian jenggot dan membiarkan sebagiannya, ini juga tidak diperbolehkan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أعفوا, maknanya adalah biarkanlah sebagaimana diciptakan Allah. Juga sabda beliau وَفِّرُوا, dan ارخوا<br />
<br />
. <br />
Adapun riwayat dari Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma bahwa bila melaksanakan haji atau umrah beliau radhiallahu 'anhuma mengambil (memotong) jenggot yang melebihi ukuran genggaman tangan, ini bukanlah hujjah, karena yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. <br />
Bila engkau katakan: Terkadang saya diperintah untuk memotong jenggot karena saya seorang tentara? Jawabannya: Tidak boleh bagimu untuk menaati perintah itu, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: <br />
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ<br />
“Hanyalah ketaatan tersebut dalam hal yang baik.”<br />
kecuali bila engkau khawatir akan disiksa dengan siksaan yang tidak bisa engkau pikul, wallahul musta’an.<br />
Bila engkau katakan: Terkadang saya masuk ke suatu negeri atau saya kembali ke negeri saya, sedangkan penduduk negeri tersebut memaksa dan memasukkan setiap orang yang memelihara jenggotnya ke dalam penjara, dan juga dikhawatirkan akan dibunuh. <br />
Maka bila engkau takut bahwa dirimu akan disiksa, atau diambil hartamu, atau kehormatanmu dengan sesuatu yang tidak bisa engkau pikul, maka diperbolehkan bagimu untuk memotong jenggot. Adapun tanpa ada sesuatu lalu engkau memotong jenggot dan menyerupai musuh-musuh Islam, atau hanya karena mengikuti perintah orang-orang yang menyimpang maka tidak boleh bagimu (untuk memotong jenggot), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ<br />
“Hanyalah ketaatan itu dalam hal yang baik.”<br />
Betapa banyak orang shalih yang pergi ke negeri musuh-musuh Islam dimana mereka (musuh-musuh Islam) melihat orang-orang shalih yang berpegang teguh dengan agama secara benar, justru musuh-musuh Islam itu mencintai orang-orang shalih tersebut, memuliakan mereka, mempercayai keamanahan mereka. Adapun jenggot, maka tidaklah jenggot itu yang bersalah (yang menyebabkan kebencian orang-orang kafir membenci Islam). Bila engkau lihat seorang yang memelihara jenggotnya pendusta, atau berkhianat, atau mencuri, maka yang salah bukanlah jenggotnya namun orangnya. Adapun jenggot termasuk sifat yang fithrah dan termasuk Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang beliau perintahkan dan beliau wajibkan. Saya maksudkan keterangan ini agar tidak menjadi alasan bagimu untuk mencukur jenggot bila engkau melihat di antara orang yang memelihara jenggot ada yang tidak istiqamah atau tidak amanah. Wallahul musta’an.<br />
(diterjemahkan dari Ijabatus Sail, hal. 221-222)<br />
<br />
(http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=216 )</div>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-74158577565692374812010-05-20T07:36:00.000-07:002010-05-20T07:36:32.315-07:00Mengapa sibuk membantah sesama muslim dan diam terhadap orang kafir?Pertanyaan atau ucapan seperti ini sering muncul dari berbagai kalangan, baik dari orang-orang awam maupun dari kalangan yang diistilahkan dengan ”para aktivis” atau “pegiat da’wah”. Kalau munculnya dari orang-orang awam maka hal itu bisa dimaklumi, karena keawamannya itu mereka cenderung menilai dan bersikap berdasarkan tingkat pengetahuannya terhadap agama.<span id="more-76"></span> Karena bersumber dari orang awam, maka pengaruh dari ucapan tersebut tidak terlalu berarti. Namun apabila ucapan atau pertanyaan seperti itu diucapkan oleh orang-orang yang disebut “para aktivis” atau “pegiat da’wah” maka akan memiliki pengaruh negatif yang cukup berarti, antara lain: 1. Mendidik umat untuk diam terhadap berbagai penyimpangan dan kesesatan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Tentunya bertentangan dengan perintah Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wasallam</em> dalam beberapa haditsnya, antara lain:<br />
<div dir="RTL">انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ: تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ.</div><em>Tolong saudaramu, baik yang berbuat kezhaliman maupun yang terzhalimi. Seorang shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jelas aku akan menolongnya jika ia pihak yang terzhalimi, tapi bagaimana menurut engkau jika ia adalah pihak yang berbuat kezhaliman, bagaimana mungkin aku akan menolongnya?’ Rasulullah menjawab: “Yaitu (dengan cara) kamu mencegah atau melarang dia dari perbuatan zhalim. Maka sesungguhnya itu adalah bentuk pertolongan untuknya.” </em><strong>[HR. Al-Bukh<u>a</u>ri]</strong><br />
Begitu juga dengan hadits:<br />
<div dir="RTL">مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِى أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا خَرْقًا، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا.</div><em>Permisalan antara seseorang yang menjalanlan syari’at Allah dengan orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang mengundi penentuan tempat pada sebuah kapal (bahtera). Sebagian mereka berhasil mendapatkan tempat di bagian atas, sementara yang lain di bagian bawah. Orang-orang berada di bagian bawah kapal, jika membutuhkan air minum terpaksa harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Akhirnya mereka berkata: “Kalau seandainya kita lobangi (dinding kapal) sedikit (untuk mendapatkan air) sehingga kita tidak mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Jika mereka membiarkan orang-orang yang ada di bawah dengan kemauannya itu niscaya mereka semua akan binasa. Namun apabila mereka berupaya mencegahnya niscaya mereka akan selamat dan selamat pulalah seluruh (yang ada di kapal tersebut).” </em><strong>[Al-Bukh<u>a</u>ri</strong> 2493, 2686<strong>]</strong><br />
2. Akan semakin berkembangnya penyimpangan dan paham sesat.<br />
Ketika upaya pengingkaran terhadap berbagai penyimpangan telah diabaikan, tentu umat yang jauh dari bimbingan ilmu ini akan mengira suatu kesesatan sebagai suatu kebenaran, para pengusung paham dan aliran yang menyesatkan dianggapnya sebagai penyeru kebaikan, dan umatpun akan semakin terpecah belah dalam berbagai kelompok. Para penganut paham Sy<u>i</u>‘ah yang menyesatkan akan dengan mudah menjerumuskan umat kepada aqidahnya yang menyesatkan itu. Para penganut paham <em>Khaw<u>a</u>rij</em> akan terus dengan mudah menggiring para pemuda khususnya untuk memusuhi dan mengkafirkan pemerintahnya dan orang-orang yang tidak berada dalam satu kelompok dengan mereka, melakukan pengeboman, pembunuhan, dan berbagai tindakan sadis lainnya dengan mengatasnamakan agamanya. Begitu pula para pengusung paham sesat lainnya.<br />
3. Akan semakin menjauhkan umat dari pertolongan Allah <em>‘azza wajalla</em> dalam menghadapi musuh-musuhnya.<br />
Kita semua tahu dan yakin, bahwa Allah tidak akan menolong umat ini tehadap musuh-musuhnya selama mereka masih banyak melanggar Allah dan Rasul-Nya. Terkhusus jika pelanggaran tersebut dalam permasalahan aqidah dan manhaj, yang tersebar di tengah-tengah umat dalam berbagai paham dan aliran yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam koridor bimbingan generasi <em>as-salafush sh<u>a</u>lih</em>.<br />
Sehingga dengan itu umat akan semakin lemah di hadapan musuh-musuhnya dengan tidak adanya pertolongan dari Allah <em>subhanahu wata’ala</em>.<br />
Dalam kesempatan ini, kami akan nukilkan untuk para pembaca sekalian nasehat Asy- Syaikh <em>Al-’All<u>a</u>mah</em> DR. Shalih bin Fauz<u>a</u>n Al-Fauz<u>a</u>n, salah satu anggota Majelis <em>Hai’ah Kib<u>a</u>ril ‘Ulam<u>a</u>‘</em> Kerajaan Saudi ‘Arabia, dalam jawabannya terhadap pertanyan sebagai berikut:<br />
<strong>Pertanyaan: </strong><em>Kenapa harus diterapkan tahdz<u>i</u>r (peringatan keras) terhadap berbagai ahlul bid’ah sementara umat ini sedang menghadapi permusuhan dengan kaum Yahudi, Nashara, dan para sekuleris.</em><br />
<strong>Jawaban: </strong>Tidak mungkin bagi kaum muslimin untuk melawan Yahudi dan Nashara kecuali jika mereka memberantas berbagai bid’ah yang ada di tengah-tengah mereka, mengobati berbagai penyakit (kesesatan) yang ada di antara mereka, sehingga mereka menang atas Yahudi dan Nashara. Namun apabila kaum muslimin masih saja mengabaikan urusan agama mereka dan masih saja melakukan berbagai bid’ah dan perbuatan-perbuatan haram lainnya serta terus meremehkan untuk mengaplikasikan syari’at Allah maka tidak akan mungkin mereka menang atas Yahudi dan tidak pula atas Nashara. Bahkan mereka akan dikalahkan oleh Yahudi dan Nashara dengan sebab sikap meremehkan urusan agama mereka. Karena itu wajib adanya upaya pembersihan masyarakat (muslimin) dari berbagai macam bid’ah dan kemungkaran, serta wajib berupaya menerapkan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya sebelum kita memerangi Yahudi dan Nashara. Kalau kita terus memerangi Yahudi dan Nashara dalam keadaan kondisi kita masih seperti ini, maka kita tidak akan menang atas mereka selama-lamanya! Bahkan merekalah yang akan menang atas kita disebabkan dosa-dosa kita. [dari kitab <strong>Al-Ij<u>a</u>b<u>a</u>tul Muhimmah fil Masy<u>a</u>kil Al-Mulimmah</strong>, hal 28; lihat <u><a href="http://www.misrsalaf.com/vb/showthread.php?t=35">http://www.misrsalaf.com/vb/showthread.php?t=35</a></u>]<br />
Sumber: <strong>Menebar Dusta Membela Teroris Khaw<u>a</u>rij</strong>, hal. 51-54.<br />
<span style="font-size: x-small;"><i>http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=76 dipublikasi ulang oleh salafushshalih.blogger.com</i></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-80313961952514561112010-05-19T08:58:00.000-07:002010-05-19T09:00:22.215-07:00Demonstrasi Bukan Metode Salafus Sholih<div align="center">Penulis: Ustadz Zuhair Syarif<br />
Manhaj, 27 Juni 2003, 00:05:42 </div><div style="padding: 10px;">Gejolak unjuk rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang komentar banyak pengamat. Sebagian mereka mengatakan : “Aksi unjuk rasa ini dipelopori oleh oknum-oknum tertentu.” <br />
<br />
Adapula yang berkomentar : “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk aksi kecuali ada yang memicu atau ngompori.” Sedangkan yang lain berkata : “Demonstrasi ini adalah ungkapan hati nurani rakyat.” <br />
<br />
Demikian komentar para pengamat tentang demonstrasi yang terjadi di hampir semua universitas di Indonesia. Sebagian mereka menentangnya dan menganggap para mahasiswa itu ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Sebagian lain justru mendukung mati-matian dan menganggapnya sebagai jihad.<br />
<br />
Namun dalam tulisan ini kita tidak menilai mana pendapat pengamat yang benar dan mana yang salah. Tetapi kita berbicara dari sisi apakah demonstrasi ini bisa digunakan sebagai sarana/alat dakwah kepada pemerintah atau tidak? Atau apakah tindakan ini bisa dikatakan sebagai jihad[1]?<br />
<br />
DEMONSTRASI PERTAMA DALAM SEJARAH ISLAM<br />
<br />
Kasus terbunuhnya Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu dan timbulnya pemikiran Khawarij sangat erat hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah terbunuhnya Utsman radliyallahu 'anhu adalah berawal dari isu-isu tentang kejelekan Khalifah Utsman yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ di kalangan kaum Muslimin.<br />
<br />
Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam[2]. Sedangkan kita telah maklum bagaimana karakter Yahudi itu karena Allah telah berfirman :<br />
<br />
“Niscaya engkau akan dapati orang yang paling memusuhi (murka) kepada orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin.” (Al Maidah : 82)<br />
<br />
Permusuhan kaum Yahudi terlihat sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati janji mereka terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, merendahkan kaum Muslimin, mencerca ajaran Islam, dan banyak lagi (makar-makar busuk mereka). Setelah Islam kuat, tersingkirlah mereka dari Madinah. (Lihat Sirah Ibnu Hisyam juz 3 halaman 191 dan 199)<br />
<br />
Pada zaman Abu Bakar dan Umar radliyallahu 'anhuma, suara orang-orang Yahudi nyaris hilang. Bahkan Umar mengusir mereka dari Jazirah Arab sebagai realisasi perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang pernah bersabda :<br />
<br />
“Sungguh akan aku keluarkan orang-orang Yahudi dan Nashara dari Jazirah Arab sampai aku tidak sisakan padanya kecuali orang Muslim.” Juga Ucapan beliau : “Keluarkanlah orang-orang musyrikin dari Jazirah Arab.” (HR. Bukhari)<br />
<br />
Di tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman radliyallahu 'anhu di saat kondisi masyarakat mulai heterogen, banyak muallaf dan orang awam yang tidak mendalam keimanannya, mulailah orang-orang Yahudi mengambil kesempatan untuk mengobarkan fitnah. <br />
<br />
Mereka berpenampilan sebagai Muslim dan di antara mereka adalah Abdullah bin Saba’ yang dijuluki Ibnu Sauda. Orang yang berasal dari Shan’a ini menebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslimin agar mereka iri dan benci kepada Utsman radliyallahu 'anhu. <br />
<br />
Sedangkan inti dari apa yang dia bawa adalah pemikiran-pemikiran pribadinya yang bernafaskan Yahudi. Contohnya adalah qiyas-nya yang bathil tentang kewalian Ali radliyallahu 'anhu. Dia berkata : “Sesungguhnya telah ada seribu Nabi dan setiap Nabi mempunyai wali. Sedangkan Ali walinya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kemudian dia berkata lagi : “Muhammad adalah penutup para Nabi sedangkan Ali adalah penutup para wali.”<br />
<br />
Tatkala tertanam pemikiran ini dalam jiwa para pengikutnya, mulailah dia menerapkan tujuan pokoknya yaitu melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu. Maka dia melontarkan pernyataan pada masyarakat yang bunyinya : “Siapa yang lebih dhalim daripada orang yang tidak pantas mendapatkan wasiat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (kewalian Rasul), kemudian dia melampaui wali Rasulullah (yaitu Ali) dan merampas urusan umat (pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali Rasulullah ini (Ali) ada (di kalangan kalian). Maka bangkitlah kalian dan bergeraklah. Mulailah untuk mencerca pejabat kalian tampakkan amar ma’ruf nahi munkar. Niscaya manusia serentak mendukung dan ajaklah mereka kepada perkara ini.” (Tarikh Ar Rasul juz 4 halaman 340 karya Ath Thabary melalui Mawaqif)<br />
<br />
Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah ini sama modelnya dengan amar ma’ruf menurut Khawarij yakni keluar dari pemerintahan dan memberontak, memperingatkan kesalahan aparat pemerintahan di atas mimbar-mimbar, forum-forum, dan demonstasi-demonstasi yang semua ini mengakibatkan timbulnya fitnah. <br />
<br />
Masalah pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah dan Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu, peperangan sesama kaum Muslimin, dan terbukanya pintu fitnah dari zaman Khalifah Utsman sampai zaman kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu. (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati fil Fitnati min Riwayat Al Imam Ath Thabari wal Muhadditsin juz 2 halaman 342)<br />
<br />
Sebenarnya amar ma’ruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai label dan tameng belaka. Buktinya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada Utsman :<br />
<br />
“Hai Utsman, nanti sepeninggalku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika orang-orang ingin mencelakakanmu pada waktu malam --dalam riwayat lain :-- Orang-orang munafik ingin melepaskannya, maka jangan engkau lepaskan. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 6 halaman 75 dan At Tirmidzi dalam Sunan-nya dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi 3/210 nomor 2923)<br />
<br />
Syaikh Muhammad Amhazurn berkomentar : “Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang Khawarij tidaklah menuntut keadilan dan kebenaran akan tetapi mereka adalah kaum yang dihinggapi penyakit nifaq sehingga mereka bersembunyi dibalik tabir syiar perdamaian dan amar ma’ruf nahi mungkar. <br />
<br />
Tidak diketahui di satu jamanpun adanya suatu jamaah atau kelompok yang lebih berbahaya bagi agama Islam dan kaum Muslimin daripada orang-orang munafik.” (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati juz 1 halaman 476)<br />
<br />
Inilah hakikat amar ma’ruf nahi mungkar kaum Saba’iyah dan Khawarij. Alangkah serupanya kejadian dulu dan sekarang?!<br />
<br />
Di jaman ini ternyata ada Khawarij Gaya Baru yaitu orang-orang yang mempunyai pemikiran Khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, unjuk rasa, dan sebagainya sebagai alat dan metode dakwah serta jihad. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurrahman Abdul Khaliq yang mengatakan (Al Fushul minas Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 31-32) : “Termasuk metode atau cara Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.”<br />
<br />
Sebelum kita membongkar kebathilan ucapan ini dan kesesatan manhaj Khawarij dalam beramar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintahan, marilah kita pelajari manhaj Salafus Shalih dalam perkara ini.<br />
<br />
MANHAJ SALAFUS SHALIH BERAMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR KEPADA PEMERINTAH<br />
<br />
Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang dhalim. <br />
<br />
Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim, sesungguhnya kedhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat) yang tidak mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat. <br />
<br />
Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi menyebarkan dan membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.<br />
<br />
Adapun dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :<br />
<br />
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”<br />
<br />
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab Was Sunnah halaman 54).<br />
<br />
Dan Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji Sunnah 2/521-522. Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungjawaban. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas.<br />
<br />
Bertolak dari hadits yang agung ini, para ulama Salaf berkata dan berbuat sesuai dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam As Syaukani yang berkata : “Bagi orang-orang yang hendak menasihati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah --lantaran pemimpin itu telah berbuat salah-- seharusnya ia tidak menampakkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai. <br />
<br />
Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya kemudian menasihatinya tanpa merendahkan penguasa yang ditunjuk Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As Sair : Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir. <br />
<br />
Akan tetapi wajib bagi makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (As Sailul Jarar 4/556)<br />
<br />
Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al Adawi. Beliau berkata : “Aku di samping Abu Bakrah berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal[3] berkata : “Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.” <br />
<br />
Lantas Abu Bakrah berkata : “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.’ ” (Sunan At Tirmidzi nomor 2224)<br />
<br />
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasihati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syaukani sampai pada perkataannya : “ … sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian, dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh karena itu jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara Salafus Shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam halaman 395)<br />
<br />
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwasanya beliau ditanya : “Mengapa engkau tidak menghadap Utsman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau : “Apakah kalian berpendapat semua nasihatku kepadanya harus diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330 dan 13/48 Fathul Bari dan Muslim dalam Shahih-nya 4/2290)<br />
<br />
Syaikh Al Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya : “Yang beliau (Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya, pent.) terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah. Karena pengingkaran terang-terangan bisa berakibat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada Utsman mengakibatkan kematian beliau[4].”<br />
<br />
Demikian metode atau manhaj Salaf dalam amar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintah atau orang yang mempunyai kekuasaan. Dengan demikian batallah manhaj Khawarij yang mengatakan bahwa demonstrasi termasuk cara untuk berdakwah sebagaimana yang dianggap oleh Abdurrahman Abdul Khaliq.<br />
<br />
Manhaj Khawarij ini menjadi salah satu sebab jeleknya sifat orang-orang Khawarij. Sebagaimana dalam riwayat Said bin Jahm beliau berkata : “Aku datang ke Abdullah bin Abu Aufa, beliau matanya buta, maka aku ucapkan salam.”<br />
<br />
Beliau bertanya kepadaku : “Siapa engkau?” “Said bin Jahman,” jawabku. Beliau bertanya : “Kenapa ayahmu?” Aku katakan : “Al Azariqah[5] telah membunuhnya.” Beliau berkata : “Semoga Allah melaknat Al Azariqah, semoga Allah melaknat Al Azariqah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan bahwa mereka anjing-anjing neraka.” Aku bertanya : “(Yang dilaknat sebagai anjing-anjing neraka) Al Azariqah saja atau Khawarij semuanya?” Beliau menjawab : “Ya, Khawarij semuanya.” Aku katakan : “Tetapi sesungguhnya pemerintah (telah) berbuat kedhaliman kepada rakyatnya.” Maka beliau mengambil tanganku dan memegangnya dengan sangat kuat, kemudian berkata : “Celaka engkau wahai Ibnu Jahman, wajib atasmu berpegang dengan sawadul a’dham, wajib atasmu untuk berpegang dengan sawadul a’dham. Jika engkau ingin pemerintah mau mendengar nasehatmu maka datangilah dan khabarkan apa yang engkau ketahui. Itu kalau dia menerima, kalau tidak, tinggalkan! Sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 4/383)<br />
<br />
Dan masih banyak lagi hadits-hadits mengenai celaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terhadap orang-orang Khawarij sebagai anjing-anjing neraka karena perbuatan mereka sebagaimana telah dijelaskan.<br />
<br />
Oleh karena itu, bagi seorang Muslim yang masih mempunyai akal sehat, tidak mungkin dia akan rela dirinya terjatuh pada jurang kenistaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (sebagai anjing-anjing neraka). Maka wajib bagi kita apabila hendak menasehati pemerintah, hendaklah dengan metode Salaf yang jelas menghasilkan akibat yang lebih baik dan tidak menimbulkan bentrokan fisik antara rakyat (demonstran) dengan aparat pemerintah yang akhirnya membawa kerugian di kedua belah pihak atau munculnya tindak anarki.<br />
<br />
DEMONSTRASI ATAU UNJUK RASA MERUPAKAN BENTUK TASYABUH (MENYERUPAI) ORANG-ORANG KAFIR<br />
<br />
Sangat disayangkan, para demonstran ini mayoritas mereka adalah aktivis-aktivis Islam. Tetapi mengapa mereka melakukan hal ini? Mana ciri Islam mereka? Atas dasar apa melakukan hal hal itu? Apakah berdasarkan dalil ataukah berlandaskan syubhat (kekaburan pemahaman)? Mereka --mahasiswa/rakyat yang beragama Islam--- tidak sadar bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, junjungan mereka, yaitu larangan menyerupai orang-orang kafir. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan : “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk kaum tersebut.” Malah demonstrasi ini termasuk bentuk tasyabuh terhadap orang kafir. Telah diterangkan oleh Syaikh Al Albani hafidhahullah tatkala seorang penanya menyampaikan pertanyaan kepada beliau yang lengkapnya demikian :<br />
<br />
Penanya : “Apa hukumnya demonstrasi/unjuk rasa, misalnya para remaja, laki-laki maupun perempuan keluar ke jalan-jalan?”<br />
<br />
Syaikh : “Para perempuan juga?”<br />
<br />
Penanya : “Benar. Sungguh ini telah terjadi!”<br />
<br />
Syaikh : “Masya Allah.”<br />
<br />
Penanya : “Mereka keluar ke jalan-jalan dalam rangka menentang sebagian permasalahan yang dituntut atau diperintahkan oleh orang yang mereka anggap taghut-taghut, atau apa yang mereka tuntut dari organisasi/partai-partai politik yang bertentangan dengan mereka. Apa hukumnya perbuatan ini?”<br />
<br />
Syaikh : [ Aku katakan --wabillahi taufiq--, jawaban dari soal ini termasuk pada kaidah dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radliyallahu 'anhu atau hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu --saya ragu apakah beliau Abdullah bin ‘Amr atau Ibnu Umar-- ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Aku diutus dengan pedang dekat sebelum hari kiamat sampai hingga hanya Allah-lah yang disembah, tidak ada sekutu baginya. Dan Allah menjadikan rizqiku di bawah naungan tombak, dijadikan kerendahan dan kekerdilan atas orang yang menyelisihi pemerintah. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.” Yang dijadikan dalil dari ucapan beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini adalah perkataan : “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.”<br />
<br />
Maka tasyabuh (penyerupaan) seorang Muslim kepada seorang kafir tidak dibolehkan dalam Islam. Tasyabuh kepada seorang kafir ada beberapa tingkatan dari segi hukum. Yang tertinggi adalah haram dan yang terendah adalah makruh. Permasalahan ini sudah diterangkan secara rinci oleh Syaikhul Islam di dalam kitabnya yang agung, Iqtidla’ Shirathal Mustaqim Mukhalafata Ashabil Jahim secara rinci dan tidak akan didapat selain dari beliau rahimahullah. Aku ingin memperingatkan perkara yang lain, yang sepantasnya bagi Thalabul Ilmi memperhatikannya agar tidak menyangka bahwa hanya tasyabuh saja yang dilarang syariat.<br />
<br />
Ada perkara lain --yang lebih tersamar-- yaitu perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir. Tasyabuh kepada orang-orang kafir adalah menjalankan kesukaan mereka. Adapun menyelisihi orang-orang kafir adalah engkau bermaksud menyelisihi mereka pada apa yang kita dan mereka mengerjakannya tetapi mereka tidak merubahnya. Seperti sesuatu yang ditetapkan dengan ketetapan alami yang tidak berbeda antara Muslim dengan kafir, karena sesungguhnya pada ketetapan ini, tidak ada usaha dan kehendak dari makhluk. Karena yang demikian adalah sunnatullah tabarak wa ta’ala kepada manusia dan engkau tidak akan mendapati sunnatullah itu berubah. Sebagaimana telah shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambut-rambut mereka maka selisihilah mereka (2X).” Sungguh dalam hal ini seorang Mukmin mungkin menyerupai orang kafir dalam hal uban. Dan ini tidak ada perbedaannya. Engkau tidak akan menemukan seorang Muslim yang tidak beruban kecuali sangat sedikit sekali. Ada kesamaan di sini pada penampilan antara Muslim dan kafir yang sama-sama keduanya tidak bisa memiliki/mengatur sebagaimana yang kami katakan tadi. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kita untuk menyelisihi kaum musyrikin, yakni dengan menyemir uban rambut-rambut kita. Sama saja rambut jenggot atau kepala. Untuk apa? Agar dengan ini tampak perbedaan antara Muslim dan kafir. Maka apa tujuannya kalau apabila seorang kafir mengerjakan suatu amalan lalu seorang Muslim ikut melakukannya dan terpengaruh dengan perbuatan-perbuatan mereka? Ini kesalahan yang lebih parah daripada menyelisihi. Dalam masalah ini, aku memperingatkannya sebelum memasuki bahasan dalam menerangkan pertanyaan yang ditujukan padaku. <br />
<br />
Jika telah diketahui perbedaan antara tasyabuh dengan penyelisihan maka seorang Muslim yang benar keislamannya hendaknya terus menerus berusaha menjauhi bertasyabuh dengan orang kafir. <br />
<br />
Sebaliknya harus berusaha menyelisihi mereka. Dengan alasan inilah kami menyunnahkan (membiasakan) meletakkan jam tangan di tangan kanan karena mereka yang pertama kali membuat jam tangan memakainya di tangan kiri.<br />
<br />
Kami mengambil istinbath demikian berdasar ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Maka selisihilah mereka.” Kalian mengetahui hadits ini : “Bahwa Yahudi dan Nashara tidak menyemir rambut mereka maka selisihilah mereka.” Sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam dalam kitab tersebut (Iqtidla). Ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Maka selisihilah mereka,” merupakan hujjah yang mengisyaratkan penyelisihan terhadap orang-orang kafir sebagaimana yang dikehendaki oleh As Sami’ul ‘Alim (Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. <br />
<br />
Oleh karena itu, kami mendapati praktek penyelisihan dalam amalan dan hukum-hukum bukan termasuk wajib. Seperti makan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau : “Shalatlah kalian di atas sandal-sandal kalian.” “Selisihilah Yahudi (2X).” Di sini diketahui bahwasanya shalat memakai sandal bukan fardlu. Beda dengan memanjangkan jenggot, karena orang yang mencukurnya akan mendapat dosa. <br />
<br />
Adapun shalat dengan bersandal itu adalah perkara yang sunnah (mustahab). Namun apabila seorang Muslim terus menerus tidak memakai sandal ketika shalat justru telah menyelisihi sunnah dan bukan menyelisihi Yahudi.<br />
<br />
Ada suatu hal yang perlu diperhatikan di sini sebagaimana dalam riwayat sikap tawadlu Ibnu Mas’ud ketika beliau mempersilakan Abu Musa Al Asy’ari mengimami shalat waktu itu. Padahal kedudukan Ibnu Mas’ud lebih utama dari Abu Musa radliyallahu 'anhu. Pada waktu itu Abu Musa Al Asy’ari melepas sandalnya dan segera ditegur dengan keras oleh Ibnu Mas’ud : “Bukankah ini perbuatan orang-orang Yahudi? Apakah kau menganggap dirimu ada di lembah Thursina yang disucikan?” Ucapan Ibnu Mas’ud ini menegaskan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Shalatlah di atas sandal kalian dan selisihilah Yahudi!”<br />
<br />
Apabila dua hakikat ini telah dipahami yaitu (larangan) tasyabuh dan (perintah) menyelisihi kaum musyrikin maka wajib bagi kita untuk menjauhi setiap perilaku kesyirikan dan segala bentuk kekufuran.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalaupun mereka menyusuri atau masuk ke lubang biawak niscaya kalian pun akan memasukinya.”<br />
<br />
Berita dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini mengandung peringatan bagi umat ini. Namun di samping itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga mengatakan dalam hadits mutawatir : “Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang menampakkan Al Haq. Tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat.”<br />
<br />
Jadi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam itu telah memberikan khabar gembira dalam hadits shahih ini bahwasanya umat ini terus dalam keadaan baik. Tatkala datang berita ini, yaitu : “Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan sebelum kalian.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memaksudkan dalam hadits ini setiap individu dalam umatnya akan mengikuti jalan orang-orang kafir. <br />
<br />
Maka ucapan itu bermakna peringatan artinya : “Hati-hati kalian, jangan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian. Dan sesungguhnya akan ada dari kalian orang-orang yang melakukannya.”<br />
<br />
Dalam riwayat lain selain riwayat As Shahihain, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan perbuatan orang Yahudi pada tingkat yang sangat parah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda (dalam riwayat itu) : “Bahkan ada dari mereka (Yahudi) orang yang mendatangi (menzinahi) ibunya di tengah-tengah jalan dan niscaya akan ada pula dari kalian yang akan melakukanya.”<br />
<br />
Kecenderungan pada jaman ini telah membuktikan kebenaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut walaupun masih perlu adanya penelitian yang lebih mendalam. <br />
<br />
Dan pada sebagian hadits-hadits yang telah tsabit, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ada di antara manusia bersetubuh seperti bersetubuhnya keledai di jalan-jalan.” Ini adalah puncak kejelekan tasyabuh terhadap orang-orang kafir.<br />
<br />
Apabila kalian telah mengetahui larangan bertasyabuh dan perintah untuk menyelisihi (orang-orang kafir) maka kembali kepada permasalahan demonstrasi (unjuk rasa), kita saksikan dengan mata kepala sendiri saat Perancis menguasai Suriah dan apa yang terjadi di Aljazair. Di sana terdapat kesesatan dan tasyabuh dengan turut sertanya para wanita dalam demonstrasi.<br />
<br />
Demikian itu merupakan kesempurnaan tasyabuh terhadap orang kafir baik laki-laki atau perempuan. Karena kita melihat melalui foto-foto, berita lewat radio, dan televisi atau selainnya tentang keluarnya beribu-ribu manusia dari kalangan orang-orang kafir Afrika maupun Syiria dan yang lainnya. <br />
<br />
Menurut ungkapan orang-orang Syam, keluarga laki-laki dan wanita dalam keadaan “meleit temkit”. Meleit temkit maksudnya mereka berdesakan antara punggung dengan punggung, atau pinggul dengan pinggul, dan lain-lain. Saya katakan dari segi yang lain (yang berhubungan dengan demonstrasi) : Bahwasanya demonstrasi ini menunjukkan sikap taklid terhadap orang-orang kafir dalam rangka menolak undang-undang yang ditetapkan oleh hakim-hakim mereka. <br />
<br />
Demonstrasi ala Eropa dengan sikap taklidiyah (ikut-ikutan) dari kalangan kaum Muslimin bukan termasuk cara yang syar’i untuk memperbaiki hukum dan keadaan masyarakat. Dari sini setiap jamaah hizbiyah kelompok Islam jelas telah melakukan kekeliruan besar karena tidak menelusuri jalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di dalam merubah keadaan masyarakat. Tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara bergerombol-gerombol, berteriak-teriak, dan demonstrasi (unjuk rasa). <br />
<br />
Islam mengajarkan ketenangan dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum Muslimin serta mendidik mereka di atas syariat Islam sampai berhasil walaupun harus dengan waktu yang sangat panjang.<br />
<br />
Dengan ini saya katakan dengan ringkas, demonstrasi dan unjuk rasa yang terjadi di sebagian negara Islam pada asalnya adalah penyimpangan dari jalan kaum Mukminin[6] dan tasyabuh (menyerupai) golongan kafir. Sungguh Allah telah berfirman (yang artinya) : “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115)<br />
<br />
Penanya : “Mereka --para demonstran-- berdalih dengan dalil Sirah (sejarah Nabi) bahwasanya setelah Umar radliyallahu 'anhu masuk Islam, kaum Muslimin (serentak) keluar. <br />
<br />
Umar pada suatu barisan sedang Hamzah di barisan lain. Maka mereka (yang pro demonstrasi) mengatakan unjuk rasa ini untuk mengingkari taghut-taghut dan orang kafir Quraisy. Bagaimanakah jawaban Anda dengan dalil semacam ini?”<br />
<br />
Jawab : Jawaban terhadap pendalilan semcam itu adalah : Berapa kali aksi demonstrasi ini terjadi pada masyarakat Islam (dulu)? Hanya satu kali. Padahal sirah termasuk sunnah yang diikuti, menurut ulama fiqih. Mereka mengatakan kalau tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam suatu ibadah yang disyariatkan akan diberi pahala orang yang melakukannya. <br />
<br />
Dan dalam pelaksanaannya pun tidak boleh terus-menerus tanpa putus karena dikhawatirkan menyerupai perkara wajib dengan sebab lamanya waktu.<br />
<br />
Kebanyakan manusia --menurut adat mereka-- kalau ada salah satu Muslim meninggalkan sunnah seperti ini niscaya akan diingkari dengan keras. Demikian menurut para ahli fiqih. Maka bagaimana kalau ada suatu peristiwa yang sekilas terjadi pada waktu tertentu seperti disebutkan di dalam sirah di atas kemudian dijadikan sunnah yang diikuti bahkan dijadikan hujjah untuk mendukung apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir secara terus-menerus sedangkan kaum Muslimin tidak secara mutlak melakukannya kecuali pada saat itu saja[7].<br />
<br />
Kita mengetahui kebanyakan pemerintahan mempunyai hukum-hukum yang keluar dari Islam dan kadang-kadang manusia dipenjarakan dengan dhalim dan melampaui batas, maka bagaimana sikap kaum Muslimin dalam hal ini? Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memerintahkan dalam hadits yang shahih wajibnya taat kepada pemerintah walaupun dia mengambil hartamu dan memukul punggungmu. Namun kenyataannya demonstrasi bukan ketaatan kepada pemerintah seperti yang digariskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.<br />
<br />
Inilah yang aku khawatirkan tentang apa yang dinamakan “kebangkitan (shahwah) suara kebenaran”, bagaimana kita akan meridlainya? Bagaimana mungkin suatu “kebangkitan (shahwah)” dengan perasaan, bukan dengan ilmu? Padahal ilmu itulah yang menjadikan perkara itu dianggap baik atau buruk.<br />
<br />
Tidak diragukan lagi di Aljazair dan di setiap negara Islam, shahwah ini lahir dari pemuda Muslim setelah mereka “bangun dari tidur”. Akan tetapi engkau akan melihat mereka berjalan di atas jalan yang menunjukkan ketidakgigihan mereka dalam menuntut ilmu Allah ‘Azza wa Jalla.<br />
<br />
Kita tidak memperpanjang pembahasan. Cukuplah kita katakan pengambilan mereka terhadap dalil ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap fiqih Islam sebagaimana yang kami telah isyaratkan di depan. Kejadian yang sesaat ini terbetik pada diri saya dan saya teringat bahwa kejadian ini tercatat dalam sirah. Akan tetapi saya belum bisa mendapati shahih atau tidaknya saat ini. Jika riwayat ini shahih sanadnya maka dan ada salah seorang di antara kalian mendapati riwayat ini pada kitab-kitab hadits standar, tolong ingatkan saya. Sehingga saya bisa memeriksa barangkali riwayat tentang demonstrasi dalam sirah tersebut shahih. Maka kalaupun shahih, hanya dilakukan sekali saja. Jika terjadi hanya sekali saja, tentu tidak bisa dijadikan sunnah. Apalagi bila demonstrasi saat ini lebih sering dilakukan oleh orang-orang kafir yang seharusnya kaum Muslimin menyelisihinya.<br />
<br />
Kejadian ini dilakukan oleh orang-orang kafir kemudian kita mengikutinya. Ulama Hanafiyah telah membuat pijakan di dalam masalah fiqhiyah bahwasanya ada suatu masalah yang merupakan sunnah Muhammadiyah yang tidak sepantasnya ditinggalkan, yaitu sunnah membaca surat Sajadah pada pagi hari Jum’at (saat shalat Shubuh). Ini terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim). Walaupun demikian ulama Hanafiyah menganjurkan pada imam-imam masjid agar sesekali meninggalkannya, dikhawatirkan apabila terus menerus diamalkan di kalangan orang awam, akan menganggkat hukumnya keluar dari hukum asalnya.<br />
<br />
Kami mempunyai bukti yang mendukung ketelitian dalam fiqih dan pemahaman terhadap sunnah ini. Saya sangat ingat bahwasanya imam di masjid besar Damaskus, yaitu masjid Bani Umayah, mengimami shalat shubuh di masjid tersebut dan dia tidak membaca surat Sajadah. <br />
<br />
Baru saja imam salam, tiba-tiba mereka membentak dan mendatangi imam tersebut seraya berkata : “Kenapa engkau tidak membaca surat Sajadah?” Kemudian dia menerangkan bahwa hal itu adalah sunnah dan kadang-kadang dianjurkan untuk meninggalkannya.<br />
<br />
Kejadian ini terjadi karena imam masjid mengamalkan amalan tersebut secara terus-menerus dan berlangsung lama. Dan saat itu ia tidak mengerjakan amalan tersebut.<br />
<br />
Lebih aneh lagi yang terjadi pada diri saya. Pada suatu hari saya berada dalam perjalanan dari Damaskus kira-kira 60 km ke Madhaya. Maka aku hampir di pagi hari Jum’at untuk shalat berjamaah bersama kaum Muslimin di sana. Tatkala itu imam tidak datang. <br />
<br />
Maka mereka mencari pengganti imam yang cocok. Mereka tidak mendapati pengganti kecuali saya. Pada waktu itu saya masih muda dan jenggot saya baru tumbuh. Dalam keadaan bingung, mereka menyuruh saya maju. Saya sebenarnya belum hafal surat Sajadah dengan baik maka aku membaca surat Maryam. Aku membaca dua halaman awal. Tatkala aku takbir untuk ruku maka aku merasakan semua makmum malah sujud. Ini menunjukkan karena apa? Karena adat kebiasaan (yakni mereka sujud tilawah karena kebiasaan dan bukan dengan ilmu, ed.).<br />
<br />
Seyogyanya para imam menjaga keadaan masyarakatnya agar tidak ghuluw (berlebihan) pada sebagian hukum-hukum. Lalu memberi penjelasan bahwa masalah syariat, wajib untuk diambil dengan tanpa sikap keterlaluan hingga mengangkat derajat hukum sunnah menjadi wajib dan sebaliknya yang wajib menjadi sunnah. <br />
<br />
Semua ini adalah ifrath dan tafrith yang tidak diperbolehkan. Inilah jawaban saya terhadap pendalilan (riwayat Umar di atas) yang menunjukkan atas kebodohan orang yang mengambil dalil dengannya. ] (Kaset Fatawa Jeddah nomor 89880, pagi Shubuh, hari Ahad, 27 Jumadil Akhir 1410 H)<br />
<br />
BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ<br />
<br />
Di awal sudah saya singgung masalah manhaj Abdurrahman Abdul Khaliq terhadap pemerintah Muslimin. Yaitu bolehnya memakai demonstrasi sebagai alat dakwah dengan berdalil riwayat Umar radliyallahu 'anhu yang dibawakan oleh seorang penanya di atas. Dan Syaikh Al Albani mengatakan bahwa beliau belum tahu shahih dan dlaifnya riwayat tersebut. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz telah membantah syubhat Abdurrahman Abdul Khaliq dalam surat menyurat antara beliau dengan Abdurrahman Abdul Khaliq. Kata Syaikh bin Bazz : “Engkau menyebutkan pada kitab Fushul Minas Siyasah As Syar’iyyah halaman 31-32 bahwasanya termasuk dari uslub (metode) dakwah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah demonstrasi. Aku belum pernah mengetahui nash yang sharih dalam masalah ini. Maka aku mengharap faidah dari siapa kamu mengambil dan dari kitab mana kamu dapatkan. Jika hal itu tidak ada sanadnya maka kamu wajib untuk rujuk (kembali/bertaubat) dari hal itu. Karena aku tidak tahu sama sekali nash-nash yang menunjukkan hal itu. <br />
<br />
Dengan menggunakan demonstrasi atau unjuk rasa justru mengakibatkan banyak kerusakan. Jika nash (dalil) itu shahih maka kamu harus menerangkan dengan jelas dan sempurna sehingga orang-orang yang membuat kerusakan tidak berdalih dengannya dalam demonstrasi-demonstrasi mereka yang bathil.” (Tanbihat wa Ta’biqat halaman 41)<br />
<br />
Jawaban Abdurrahman Abdul Khaliq : “Adapun ucapanku pada kitab Al Fushul Minas Siyasah As Syar’iyyah fi Da’wah Ilallah halaman 31-33 maka aku katakan : Aku telah menyebutkan demonstrasi-demonstrasi yang digelar itu sebagai wasilah (metode) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam menampakkan dakwah Islam, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa setelah masuk Islamnya Umar radliyallahu 'anhu, kaum Muslimin keluar karena perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada dua shaf (barisan) dalam rangka menampakkan kekuatan. <br />
<br />
Dalam satu barisan terdapat Hamzah radliyallahu 'anhu, sedang barisan yang lain ada Umar bin Al Khattab radliyallahu 'anhu beserta kaum Muslimin.” (Kemudian Abdurrahman Abdul Khaliq membawakan riwayat dengan sanad-sanad yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah 1/40 dengan sanad sampai ke Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu, Ibnu Abi Syaibah dalam As Shahabah 2/512, dan di dalam Tarikh-nya serta Al Bazar). <br />
<br />
Kemudian dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) berkata : “Tetapi setelah kedatangan surat Anda (Syaikh bin Bazz) aku dapatkan bahwa pusat (poros) sanad hadits ini atas Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul hadits.” Demikian pernyataan Abdurrahman Abdul Khaliq.<br />
<br />
Tapi anehnya setelah itu dia mengatakan : “Aku berpandangan metode ini (demonstrasi) bisa untuk dijadikan metode yang benar dalam mendorong/menganjurkan manusia dalam shalat Jum’at dan jamaah … dalam rangka menampakkan banyaknya orang Islam. <br />
<br />
Demikian juga memamerkan tentara-tentara Islam bersamaan dengan peralatan perang karena hal ini dapat menaklukan hati-hati musuh dan menakuti musuh-musuh Allah serta meninggikan syariat Islam.”<br />
<br />
Demikian cara Ahlul Bid’ah. Setelah ditanya atau dibantah dari sisi pendalilan dan setelah ucapan atau perbuatannya diketahui tidak benar bahkan palsu maka mereka tidak mau merujuk kepada dalil yang shahih dan manhaj yang benar. <br />
<br />
Bahkan dia berkelit : “Maksud saya demikian, maksud saya demikian”, “boleh saja hadits lemah --dalam hal ini palsu-- dijadikan i’tibar”, dan berbagai silat lidah lainnya pun meluncur tajam.<br />
<br />
Maka saya katakan, setelah atsarnya diketahui mungkar karena adanya rawi yang mungkarul hadits pada sanadnya, tentu saja demonstrasi tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dijadikan manhaj amar ma’ruf nahi mungkar. Karena metode dakwah adalah tauqifiyah, yakni harus sesuai dengan metode Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya.<br />
<br />
Jikalau kisah Umar itu shahih, maka penjelasannya adalah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Syaikh Al Albani. Dengan telah diketahui atsarnya dlaif bahkan mungkar, maka tidak bisa lagi dijadikan sebagai dalil bolehnya demonstrasi, sekalipun niatnya baik, sebagaimana telah diterangkan oleh Syaikh bin Bazz di atas. Wallahu A’lam.<br />
<br />
KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN PADA ACARA UNJUK RASA<br />
<br />
Di atas sudah diterangkan sebagian kemungkaran pada acara demo yaitu :<br />
<br />
- Bentuk tasyabuh dengan orang-orang kafir.<br />
<br />
- Termasuk khuruj (menentang pemerintah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam riwayat Muslim dan lain-lain. (Lihat Nasehati)<br />
<br />
- Menceritakan aib pemerintah di depan umum dalam bentuk orasi-orasi yang ini pun dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (Lihat Nasehati)<br />
<br />
- Ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan) bahkan berdesak-desakan. (Lihat SALAFY rubrik Ahkam edisi 4 tahun pertama)<br />
<br />
- Tindak anarkis yang seringkali timbul ke sana atau setelah demonstrasi dan orasi-orasi.<br />
<br />
- Dan lain-lain.<br />
<br />
SOLUSI DARI KRISIS<br />
<br />
Pada situasi sekarang, masalah yang timbul bukan saja terjadi akibat satu aspek, misalnya ekonomi. Tetapi juga terkait pada aspek lainnya, seperti sosial dan politik. Dan krisis ini tidak bisa sembuh total manakala dibasmi dengan kebathilan.<br />
<br />
Suatu negara yang dipimpin oleh pemimpin yang dhalim yang di dalamnya ditaburi praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme merupakan buah dari tindakan rakyatnya juga. Maka kalau rakyatnya baik, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menganugerahkan kepada mereka pemimpin yang arif dan bijaksana. Hal ini sudah dibuktikan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Khulafaur Rasyidin. Situasi yang kacau balau ini solusinya bukan dengan demonstrasi tetapi dengan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang tepat dan benar. Kemudian menyebarkan ilmu yang haq di kalangan umat agar muncul generasi-generasi yang berbekal ilmu. Akhirnya diharapkan nanti setiap langkah yang mereka lakukan diukur dengan ilmu syar’i yang haq. Dengan demikian akan musnahlah virus kolusi, korupsi, dan virus-virus lainnya. Wallahu A’lam Bis Shawab.<br />
<br />
[1] Seperti pendapatnya Abdurrahman Abdul Khaliq dan konco-konconya.<br />
<br />
[2] Orang yang bergabung dengannya disebut golongan (firqah) Saba’iyah.<br />
<br />
[3] Mirdas bin Udayah adalah seorang Khawarij. Lihat Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzi 7/399.<br />
<br />
[4] Mukhtashar Shahih Muslim, ta’liq Syaikh Al Albani nomor 335.<br />
<br />
[5] Salah satu aliran dari aliran-aliran Khawarij.<br />
<br />
[6] Shahabat, ed.<br />
<br />
[7] Ini bukti bahwa para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya tidak mengambil kejadian itu sebagai sunnah dalam rangka mengingkari pemerintah.<br />
<br />
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Zuhair Syarif, sumber Majalah SALAFY XXVII/1419/1998/MABHATS)</div><span style="font-size: x-small;"><b>Sumber artikel : <i>http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=43 publikasi ulang oleh shalafushshalih.blogger.com</i></b></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-28319214988498464052010-05-19T08:47:00.000-07:002010-05-19T08:47:24.859-07:00Fatwa Para Ulama Besar Tentang Demonstrasi<div class="entry"> <div style="text-align: center;">بسم الله الرحمن الرحيم</div>Berkata Al-’Allamah Ibnu Khuldun -rahimahullah- : “Dan dari bab ini keadaan para pelaku resolusi/pemberontak yang melakukan perubahan terhadap kemungkaran dari kalangan orang umum dan para fuqaha, karena kebanyakan dari orang-orang yang di atas nihlah (agama panutan) untuk beribadah dan menempuh jalan agama mereka bermazhab akan bolehnya menentang orang-orang yang melampaui batas dari kalangan para umaro` (pemimpin), dengan menyeru kepada merubah kemungkaran dan melarang darinya dan memerintah terhadap pemerintah dengan ma’ruf dengan mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hal tersebut. Maka menjadi banyaklah para pengikut mereka dan orang-orang yang berpegang bersama mereka dari kalangan rakyat jelata dan orang-orang banyak dan mereka memampangkan diri-diri mereka dengan hal tersebut kepada tempat-tempat kehancuran dan kebanyakan dari mereka hancur pada jalan itu dalam keadaan berdosa tidak mendapatkan pahala, karena Allah Subhanahu tidak mewajibkan atas mereka Dan sesungguhnya yang (Allah) perintahkan dengannya hanyalah ketika ada kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Berkata (Rasulullah) Shollallahu ‘alaihi wasallam :<br />
<br />
<strong>مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ </strong><br />
<em>“Barangsiapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran maka hendaknya dia rubah dengan tangannya kemudian siapa yang tidak mampu maka dengan lisannya, siapa yang tidak mampu maka dengan hatinya”.</em> (HR. Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudry).<br />
{Muqaddimah Ibnu Khuldun jilid 1 hal 199}<span id="more-574"></span><br />
_______________________________<br />
Fatwa Asy-Syaikh Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullahu Ta’ala- beliau berkata sebagaimana dalam majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah edisi ke 38 halaman 210 :<br />
<br />
“Maka uslub yang baik merupakan dari wasilah yang sangat agung di dalam menerima kebenaran dan uslub yang jelek lagi kasar merupakan dari wasilah yang sangat berbahaya dalam menolak kebenaran dan tidak menerimanya atau menimbulkan kekacauan, kezholiman, permusuhan dan perkelahian. Dan masuk di dalam bab ini apa yang dilakukan oleh sebagian orang dari muzoharot (demonstrasi) yang menyebabkan kejelekan yang sangat besar terhadap para da’i. Maka pawai-pawai di jalan dan berteriak-teriak itu bukanlah jalan untuk memperbaiki dan (bukan pula jalan) dakwah, maka jalan yang benar adalah dengan berkunjung dan menyurat dengan sesuatu yang paling baik kemudian engkau menasihati pemerintah, gubernur dan pimpinan qobilah dengan jalan ini bukan dengan kekerasan dan demonstrasi. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam menetap 13 tahun di Mekkah beliau tidak menggunakan demonstrasi dan tidak pula pawai-pawaian dan tidak mengancam manusia akan dihancurkan harta mereka dan dilakukan ightiyal terhadap mereka. Dan tidak diragukan bahwa uslub seperti ini berbahaya bagi dakwah dan para da’i dan menghambat tersebarnya dakwah dan menyebabkan para penguasa dan orang-orang besar memusuhinya dan menentangnya dengan segala kemampuan. Mereka menginginkan kebaikan dengan uslub ini (uslub yang jelek yang disebutkan di atas) akan tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, maka seorang da’i kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hendaknya menempuh jalan para Rasul dan para pengikutnya walaupun waktu menjadi panjang itu lebih baik daripada suatu amalan yang membahayakan dakwah dan membuatnya sempit atau menyebabkan dakwah itu habis sama sekali dan La Haula Wala Quwwata Illa Billah.<br />
<br />
Kemudian Syeikh Bin Baz –rahimahullahu Ta’ala- juga ditanya sebagaimana dalam kaset yang berjudul Muqtathofat min Aqwalil ‘Ulama :<br />
<br />
Pertanyaan : “Apakah demonstrasi laki-laki dan perempuan menentang pemerintah dan penguasa dianggap wasilah dari wasilah dakwah, dan apakah orang yang mati dalam demonstrasi itu dianggap mati syahid di jalan Allah ?”.<br />
Maka beliau menjawab : “Saya tidak melihat demonstrasi perempuan dan laki-laki merupakan obat (baca : penyelesaian), akan tetapi demonstrasi itu merupakan sebab fitnah, sebab kejelekan dan sebab kezholiman dan pelampauan batas sebagian manusia kepada sebagian manusia (yang lainnya) tanpa kebenaran. Akan tetapi sebab-sebab yang disyari’atkan adalah dengan menyurat, menasehati dan berdakwah berdakwah kepada kebaikan dengan jalan keselamatan demikianlah ditempuh oleh para ulama dan demikian (pula yang ditempuh) oleh para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikut mereka dengan baik dengan menyurat dan berbicara langsung kepada orang-orang yang bersalah, kepada pemerintah dan kepada penguasa dengan menghubunginya, menasehatinya, mengirim surat untuknya tanpa menyebarluaskannya di atas mimbar dan lain-lainnya bahwa dia telah mengerjakan begini dan sekarang telah menjadi begini, Wallahul Musta’an.<br />
_____________________________<br />
Fatwa Fadhilatusy Syeikh Al-’Allamah Faqihuz Zaman Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin –rahimahullah-.<br />
Pertanyaan : “Apakah muzhoharoh dianggap wasilah dari wasilah dakwah yang disyari’atkan ?”.<br />
Beliau menjawab : “Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin Washollallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala Alihi Washahbihi Wasallama Waman Taba’ahum bi Ihsanin ila Yaumiddin, amma ba’du :<br />
Sesungguhnya demonstrasi adalah perkara baru dan tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shollallahi ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tidak pula di zaman Al-Khulafa Ar-Rosyidin dan tidak pula di zaman shahabat –radhiallahu Ta’ala ‘anhum-. Kemudian didalamnya terdapat kekacauan dan keributan yang menyebabkannya menjadi perkara yang terlarang tatkala terdapat didalamnya penghancuran kaca, pintu dan lain-lainnya dan terdapat didalamnya percampurbauran antara laki-laki dan perempuan, pemuda dan orang tua dan yang semisal dengannya dari kerusakan dan kemungkaran. Adapun masalah menekan terhadap pemerintah, maka kalau pemerintah ini adalah pemerintah muslimah maka cukuplah yang menjadi nasehat untuknya Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shollallahi ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan ini adalah sebaik-baik apa yang diperuntukkan untuk seorang muslim. Adapun kalau pemerintahannya pemerintahan kafir, maka dia tidaklah memperhatikan mereka orang-orang yang berdemonstrasi itu dan dia akan berbuat baik secara zhohir dan dia menyembunyikan kejelekan di dalam batinnya, karena itulah kami melihat bahwa demonstrasi itu adalah perkara mungkar. Adapun perkataan mereka bahwa demonstrasi ini adalah keselamatan, maka kadang ia merupakan keselamatan di awal perkara atau di awal kali kemudian menjadi pengrusakan dan saya menasihatkan para pemuda untuk mengikuti jalan orang-orang yang telah lalu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji atas kaum Muhajirin dan Anshor dan memuji orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.<br />
{Lihat : Al-Jawaban Azhhar karya Fu’ad Siroj halaman 79}.<br />
___________________________________<br />
Fatwa Syeikh Al-’Allamah Sholeh bin Ghoshul -rahimahullah-. Syeikh Sholeh bin Ghoshul merupakan salah seorang anggota Hai`ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia. Beliau ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut :<br />
“Pada dua tahun yang lalu kami mendengar sebagian para da’i mendengung-dengungkan seputar permasalahan wasilah dakwah dan mengingkari kemungkaran dan mereka memasukkan ke dalam wasilah dakwah tersebut demonstrasi, ightiyal dan pawai dan sebagian di antara mereka kadang-kadang memasukkannya ke dalam bab jihad Islami.<br />
1. Kami mengharap penjelasan apabila perkara-perkara ini termasuk wasilah yang disyari’atkan atau masuk di dalam lingkaran bid’ah yang tercela dan wasilah yang terlarang.<br />
2. Kami memohon penjelasan tentang mu’amalah syar’i bagi orang-orang yang berdakwah kepada amalan-amalan ini dan berkata dengannya serta menyeru kepadanya”.<br />
Maka beliau menjawab : “Alhamdulillah sudah dimaklumi bahwa bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar, dakwah dan memberikan wejangan merupakan pokok dari agama Allah ‘azza wa Jalla, akan tetapi Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam muhkam kitabNya Al-’Aziz :<br />
<br />
<strong>ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ</strong><br />
<em>“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.</em> (QS. An-Nahl : 125).<br />
Dan tatkala (Allah) ‘Azza wa Jalla mengutus Musa dan Harun kepada Fir’aun, Allah berfirman :<br />
<strong>فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى</strong><br />
<em>“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.</em> (QS. Thoha : 44).<br />
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam datang dengan hikmah dan beliau memerintahkan untuk menempuh dakwah yang hikmah dan berhias dengan kesabaran, ini dalam Qur`an Al-’Aziz dalam surah Al-’Ashr :<br />
<strong>بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ</strong><br />
“Dengan seluruh nama-nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-‘Ashr : 1-3).<br />
Maka seorang da’i kepada Allah ‘Azza wa Jalla, orang yang memerintah kepada yang ma’ruf dan orang yang mencegah dari kemungkaran hendaknya berhias dengan kesabaran dan wajib atasnya untuk mengharapkan pahala dan balasan dan wajib pula atasnya untuk bersabar terhadap apa yang dia dengar atau apa yang dia dapatkan (dari kesulitan) dalam jalan dakwahnya. Adapun seorang manusia menempuh jalan kekerasan dan menempuh jalan –wal’iyadzubillah- mengganggu manusia, jalan, kekacauan atau jalan perbedaan, perselisihan dan memecah kalimat maka ini adalah perkara-perkara syaitoniyah dan ia merupakan pokok dakwah Al-Khawarij. Ini pokok dakwah Al-Khawarij, mereka itulah yang mengingkari kemungkaran dengan pedang atau dengan benda tajam dan mengingkari perkara-perkara yang mereka tidak berpendapat dengannya atau menyelisihi keyakinan mereka, mengingkarinya dengan pedangnya, menumpahkan darah, mengkafirkan manusia dan seterusnya dari berbagai macam perkara. Maka beda antara dakwah para shahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan Salaf Ash-Sholeh dan antara dakwah orang-orang Khawarij dan orang yang menempuh manhaj mereka serta berjalan di atas jalan mereka. Dakwah para shahabat dengan hikmah dan dengan maw’idzoh, menjelaskan kebenaran, bersabar, berhias dengan baik dan mengharapkan pahala dan balasan. Dan dakwah Khawarij memerangi manusia, menumpahkan darah mereka, mengkafirkan mereka, memecah belah kalimat dan merobek barisan kaum muslimin dan ini adalah pekerjaan yang keji dan perbuatan yang baru (bid’ah). Maka yang paling pantas bagi orang-orang yang menyeru kepada perkara ini hendaknya mereka menjauhi dan mereka dijauhi dan berjeleksangka kepada mereka mereka itu memecah belah kalimat kaum muslimin. Al-Jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah siksaan dan adzab, wal’iyadzubillah. Dan andaikata penduduk suatu negara bersatu di atas kebaikan dan bersatu di atas satu kalimat, maka niscaya mereka akan mempunyai kedudukan dan mereka akan mempunyai wibawa. Akan tetapi penduduk negara sekarang berpartai-partai dan berkelompok-kelompok, mereka berpecah, berselisih dan masuk kepada mereka musuh-musuh dari diri mereka sendiri sebagian dari mereka atas sebagian yang lainnya dan ini adalah jalan yang bid’ah, jalan yang keji dan jalan yang seperti yang telah lalu bahwa ini adalah jalan orang-orang yang memecah belah tongkat dan memerangi amir/pimpinan ‘Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan orang-orang yang bersama beliau dari para shahabat dan Ahli Bai’atir Ridwan (orang-orang yang melakukan bai’at Ridwan). Mereka memeranginya menginginkan dengannya kebaikan dan mereka adalah gembong kerusakan dan bid’ah dan gembong perpecahan. Mereka itulah yang memecahkan kalimat kaum muslimin dan melemahkan sisi kaum muslimin dan demikian pula sampai yang berkeyakinan dengannya dan membangun bangunannya di atasnya dan menganggap hal tersebut baik, maka orang yang seperti ini jelek keyakinannya dan wajib untuk dijauhi. Dan ketahuilah –wal’iyadzubillah- bahwa seseorang itu berbahaya bagi ummat dan bagi teman-teman duduknya ………” .<br />
{Dari majalah Safinah An-Najah edisi ke-2 bulan Juli 1997}<br />
__________________________<br />
Fatwa Syeikh Al-‘Allamah Ahmad An-Najmy –hafizhohullahu Ta’ala-<br />
Beliau berkata di dalam kitab beliau Maurid Al-‘Adzbi Az-Zilal halaman 228 dalam menjelaskan kritikan terhadap Ikhwanul Muslimin, beliau berkata :<br />
“Kritikan yang ke-23 : Tandzhim, pawai dan demonstrasi dan Islam tidak mengenal perbuatan ini dan tidak menetapkannya bahkan itu adalah perbuatan yang muhdats/baru (bid’ah) dari amalan orang-orang kafir dan telah diimpor dari mereka kepada kita. Apakah setiap kali orang kafir beramal dengan suatu amalan kita menyeimbanginya dan mengikuti mereka ???, sesungguhnya Islam tidaklah mendapatkan pertolongan dengan pawai dan demonstrasi akan tetapi Islam akan mendapatkan pertolongan dengan jihad yang dibangun di atas ‘aqidah yang shohihah dan jalan yang disunnahkan oleh Muhammad bin ‘Abdillah Shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan para Rasul dan pengikutnya telah diuji dengan berbagai macam cobaan dan tidaklah mereka diperintah kecuali dengan kesabaran. Ini Nabi Musa ‘alaihissalam beliau berkata kepada Bani Israil bersamaan dengan apa yang mereka dapatkan dari Fir’aun dan kaumnya berupa pembunuhan laki-lakidari anak-anak yang baru dilahirkan dan menghidupkan yang perempuan, Nabi Musa berkata kepada mereka sebagaimana yang dikhabarkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla wa Jalla Musa berkata kepada kaumnya :<br />
<br />
<strong>اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ</strong><br />
<em>“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.</em> (QS. Al-A’raf : 128).<br />
Dan ini Rasulullah Shollalahu ‘alaihi wasallam beliau berkata kepada sebagian para shahabatnya tatkala mereka mengadukan kepada beliau apa yang mereka dapatkan dari gangguan kaum musyrikin (beliau berkata) :<br />
<br />
<strong>قد كان من قبلكم يؤخذ الرجل فيحفر له في الأرض فيجعل فيها فيجاء بالمنشار فيوضع على رأسه فيجعل نصفين ويمشط بأمشاط الحديد ما دون لحمه وعظمه فما يصده ذلك عن دينه والله ليتمن هذا الأمر حتى يسير الراكب من صنعاء إلى حضرموت لا يخاف إلا الله والذئب على غنمه ولكنكم تستعجلون.</strong><br />
<em>“Sesungguhnya ada di antara orang-orang sebelum kalian didatangkan sesorang dari mereka kemudian diletakkan gergaji di atas dahinya sampai dibelahlah antara kedua kakinya dan tidaklah hal tersebut menahan mereka dari agama mereka. Dan demi Allah sungguh Allah akan menyempurnakan perkara ini sampai seseorang berjalan sari Shon’a menuju Hadramaut dan dia tidak takut kecuali Allah dan srigala berada di atas kambing-kambingnya akan tetapi kalian sangat tergesa-gesa”.</em> (HR. Al-Bukhari dari shahabat Khobbab Ibnul Aroth)<br />
Maka beliau tidak memerintahkan shahabatnya melakukan demonstrasi dan tidak pula ightiyal”.<br />
_______________________________<br />
Fatwa Syeikh Sholeh Al-Atram -’afahullah- dan beliau adalah salah seorang anggota Hai’ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia, beliau ditanya tentang hukum demonstrasi dan apakah itu merupakan wasilah dakwah. Beliau menjawab :<br />
“Tidak, ini merupakan wasilah syeiton”, kemudian beliau berkata bahwa : “Orang-orang Khawarij yang kudeta terhadap ‘Utsman pada mereka itulah ada muzhaharoh/demonstrasi”.<br />
_______________________________<br />
Syaikh Sholeh Al-Fauzan, salah seorang ulama besar di Timur Tengah dan merupakan anggota Al-Lajnah Ad-Daimah dan Hai’ah Kibarul ‘Ulama, pada malam senin tanggal 2 Safar 1423 H bertepatan tanggal 17 April 2002 dalam acara pertemuan terbuka yang disebarkan melalui Paltalk beliau dengan nash sebagai berikut<br />
Pertanyaan :<br />
Apa hukum demonstrasi-demonstrasi, apakah dia termasuk bagian dari jihad fii sabilillah ?<br />
Beliau menjawab :<br />
“Demonstrasi tidak ada faidah didalamnya, itu adalah kekacauan, itu adalah kekacauan dan apa mudharatnya bagi musuh kalau manusia melakukan demonstrasi di jalan-jalan dan (berteriak-teriak) mengangkat suara ? bahkan perbuatan ini menyebabkan musuh senang seraya berkata sesungguhnya mereka telah merasa mendapatkan kejelakan dan meresa mendapatkan mudharat dan musuh gembira dengan ini. Islam adalah agama sakinah (ketenangan), agama hudu` (ketentraman), dan agama ilmu bukan agama kekacauan dan hiruk pikuk, sesungguhnya dia adalah agama yang menghendaki sakinah dan hudu` dengan beramal dengan amalan-amalan yang mulia lagi majdy (tinggi,bermanfaat) dengan bentuk menolong kaum muslimin dan mendo’akan mereka, membantu mereka dengan harta dan senjata, inilah yang majdy dan membela mereka di negara-negara supaya diangkat dari mereka kezholiman dan meminta kepada negara-negara yang menggembar-gemborkan demokrasi untuk memberikan kepada kaum muslimin hak meraka, dan hak-hak asasi manusia yang mereka membanggakan diri dengannya, tetapi mereka itu menganggap bahwa manusia itu hanyalah orang kafir adapun muslim disisi mereka bukan manusia bahkan teroris. Mereka menamakan kaum muslimin sebagai gerombolan teroris. Dan manusia yang punya hak-hak asasi hanyalah orang kafir menurut mereka !.<br />
Maka wajib bagi kaum muslimin untuk bermanhaj dengan manhaj islam pada kejadian-kejadian yang sepeti ini dan yang selainnya. Islam tidak datang dengan demonstrasi, hirup pikuk dan berteriak-teriak atau menghancurkan harta benda atau melampaui batas. ini semuanya bukan dari islam dan tidak memberikan faidah bahkan memberikan mudharat bagi kaum muslimin dan tidak memberikan mudharat bagi musuh-musuhnya. Ini memudharatkan kaum muslimin dan tidak memudharatkan musuh-musuhnya bahkan musuhnya gembira dengan hal ini dan berkata : saya telah membekaskan pengaruh (jelek) pada mereka, saya telah membuat mereka marah dan saya telah membuat mereka merasa mendapat pengaruh jelek”.<br />
[Dikutip dari majalan An-Nasihah dengan beberapa perubahan]<br />
<br />
<i>sumber : al-atsariyyah.com/?p=574 dipublikasi ulang shalafushshalih.blogger.com</i></div>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-43175698772870524542010-05-17T08:42:00.000-07:002010-05-17T08:45:04.894-07:00Hukum Lagu, Musik, dan Nasyid<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S_FkXjpLfKI/AAAAAAAAAEk/A0iOgAnCzkc/s1600/15341_1181610378809_1184678862_30594784_546454_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="187" src="http://1.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S_FkXjpLfKI/AAAAAAAAAEk/A0iOgAnCzkc/s200/15341_1181610378809_1184678862_30594784_546454_n.jpg" width="200" /></a></div>Judul : Hukum Lagu, Musik, dan Nasyid<br />
Penulis : Yazid bin Abdul Qadir Jawas<br />
Penerbit : Pustaka At Taqwa<br />
Cetakan : Pertama, November 2008<br />
Halaman : 128<br />
<br />
Buku ini memuat dalil dalil yang terang dan begitu gamblang tentang hukum lagu, musik, dan <span style="color: red;">nasyid</span>. Banyak hal yang dibahas dalam buku ini diantaranya adalah status hukum nyanyian dan musik; nyanyian dan alat musik yang dibolehkan syari'at; hukum nyanyian tanpa alat musik; hukum nyanyian shufi dan nasyid Islami; dll.<br />
<br />
Pada ringkasan ini hanya penulis kutipkan sebagiannya saja. Dalil dalil dari al Qur'an yang penulis kutipkan hanya satu saja dari tiga yang ada. Dalil dalil dari As Sunnah pun hanya satu saja dari enam hadits yang dibawakan di buku tersebut. Kemudian untuk perkataan para ulama tentang hal ini, penulis kutipkan sebagiannya saja dari jumlah semuanya yaitu 23. Dan footnote yang ada hanya saya sertakan sebagiannya saja. Semuanya ini demi ringkasnya tulisan ini.<br />
<br />
<br />
[DALIL DALIL DARI AL QUR'AN TENTANG<br />
HARAMNYA NYANYIAN DAN MUSIK ]<br />
----------------------------------------------<br />
Firman Allah Tabaaraka wa Ta'ala:<br />
"Dan diantara manusia ada orang orang yang membeli <span style="color: #003300; font-weight: bold;">perkataan yang tidak berguna</span> (<span style="color: red;">lahwal hadiits</span>) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok olokan. Mereka itu memperoleh adzab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat ayat Kami, dia berpaling dan menyombongkan diri seolah olah dia tidak mendengarnya, seakan akan ada sumbat di kedua telinganya; maka <span style="color: #6600cc;">beri kabar gembiralah</span> dia dengan adzab yang pedih." (QS. Luqman: 6-7).<br />
<br />
Kalimat lahwal hadiits (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat di atas ditafsirkan oleh para ulama tafsir dengan nyanyian.<br />
<br />
a. Dari Abu Shahba' al Bakri rahimahullah bahwasanya ia mendengar 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu ditanya tentang tafsir dari ayat ini, beliau radhiyallahu'anhu mengatakan,<br />
<br />
"Lahwal hadiits (perkataan yang tidak berguna) adalah <span style="color: #cc0000;">nyanyian</span>. Demi Dzat yang tidak ada ilah selain Dia." Beliau mengulang perkataannya tiga kali. (Lihat Tafsiir ath Thabari (X/202-203, no. 28040)).<br />
<br />
b. Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhu (wafat th. 68 H) juga menafsirkan lahwal hadiits dengan <span style="color: #cc0000;">nyanyian </span>dan sejenisnya.<br />
<br />
c. Mujahid bin Jabr rahimahullah (wafat th. 103 H) seorang imam ahli tafsir ternama di kalangan Tabi'in, dalam menafsirkan ayat ini beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lahwal hadiits adalah <span style="color: #cc0000;">nyanyian</span>.<br />
<br />
d. 'Ikrimah rahimahullaah (wafat th. 105 H) seorang murid Ibnu 'Abbas juga menafsirkan lahwal hadiits dengan <span style="color: #cc0000;">nyanyian</span>.<br />
<br />
e. Ibnu Jarir ath Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullaah telah menyebutkan beberapa perkataan para ulama Salaf yang mengatakan bahwa maksud dari lahwal hadiits adalah semua perkataan (pembicaraan) yang melalaikan seseorang dari jalan Allah Ta'ala serta yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk juga <span style="color: #cc0000;">nyanyian</span>.<br />
<br />
f. Imam al Wahidi rahimahullaah (wafat th. 468 H) berkata, "Ayat ini, menurut tafsir ini (yakni tafsir para Shahabat), menunjukkan tentang haramnya <span style="color: #cc0000;">nyanyian</span>."<br />
<br />
g. Imam asy Syaukani rahimahullaah (wafat th. 1255 H) mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa makna dari lahwal hadiits adalah semua yang melalaikan seseorang dari kebaikan, contohnya seperti <span style="color: #cc0000;">nyanyian</span>, permainan, dongeng dongeng, dan setiap perbuatan munkar. Beliau rahimahullaah mengatakan, "Imam al Qurthubi rahimahullaah (wafat th. 671 H) mengatakan, 'Sesungguhnya tafsir yang tepat untuk lahwal hadiits adalah <span style="color: #990000;">nyanyian</span>, dan ini merupakan tafsir para shahabat dan tabi'in.'"<br />
<br />
<span class="fullpost"><br />
[DALIL DALIL DARI AS SUNNAH TENTANG<br />
HARAMNYA NYANYIAN DAN MUSIK]<br />
------------------------------------<br />
Diriwayatkan dari 'Abdurrahman bin Ghanm al Asy'ari, dia berkata, "Abu 'Amir atau Abu Malik al Asy'ari radhiyallahu'anhu telah menceritakan kepadaku, demi Allah, dia tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,<br />
<br />
'Sungguh, benar benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr, dan <span style="color: #000099;">alat alat musik</span>. Dan beberapa kelompok orang benar benar akan singgah di lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka, seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, 'Kembalilah kepada kami pada esok hari.'<br />
Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian dari mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat."<br />
<br />
Diriwayatkan oleh al Bukhari secara <span style="color: #000099;">mu'allaq dengan lafazh jazm</span> (pasti) (no. 5590/Fathul Baari X/51), Ibnu Hibban (no. 6719), al Baihaqi (X/221), Abu Dawud (no. 4039).<br />
<br />
Hadits ini <span style="font-weight: bold;">SHAHIH</span>. Karena itulah para imam ahlul hadits menghukumi hadits ini dengan keshahihannya.<br />
1. Dishahihkan oleh al Bukhari, Ibnu Hibban, al Barqani, dan Abu 'Abdillah al Hakim.<br />
2. Ibnush Shalah mengatakan, "Hadits ini shahih."<br />
3. Ibnu Taimiyyah berkata mengenai hadits ini, "Apa yang diriwayatkan oleh al Bukhari adalah shahih."<br />
4. Dishahihkan juga oleh al Isma'ili dan Abu Dzarr al Harawi.<br />
5. Ibnul Qayyim mengatakan, "Hadits ini shahih."<br />
6. An Nawawi berkata, "Hadits ini shahih."<br />
7. Ibnu Rajab mengatakan, "Maka hadits ini adalah shahih."<br />
8. Ibnu Hajar mengatakan, "Dalam hadits ini shahih, tidak ada cacat dan celaan padanya."<br />
9. Asy Syaukani mengatakan, "Hadits ini shahih, diketahui sanadnya yang bersambung berdasarkan syarat ash Shahiih."<br />
10. Dan ad Dahlawi mengatakan, "(Sanadnya) bersambung dan shahih."<br />
<br />
<br />
[PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG<br />
HARAMNYA NYANYIAN DAN MUSIK]<br />
------------------------------<br />
3. Imam Abu Hanifah rahimahullaah (wafat th. 150 H).<br />
Beliau adalah orang yang sangat membenci nyanyian, dan beliau mengatakan bahwa mendengarkan nyanyian adalah perbuatan dosa. (Talbiis Ibliis (hal. 236)).<br />
<br />
4. Imam Adh Dhahhak bin Mujahim rahimahullaah (wafat th. 102 H).<br />
Beliau mengatakan, "Nyanyian itu merusak hati dan mendatangkan kemurkaan Allah."<br />
<br />
6. Imam Malik bin Anas rahimahullaah (wafat th. 179 H).<br />
Beliau mengatakan, "Nyanyian itu hanyalah dilakukan oleh orang orang fasiq di daerah kami." (al Amru bil Ma'ruuf wan Nahyi 'anil Munkar (no. 165) karya al Khallal).<br />
<br />
7. Imam asy Syafi'i rahimahullaah (wafat th. 204 H).<br />
Beliau mengatakan, "Nyanyian adalah satu permainan yang tidak aku sukai, yang menyerupai kebathilan dan tipu daya. Barang siapa sering melakukannya, maka dia adalah orang yang bodoh dan <span style="color: #663366;">persaksiannya ditolak</span>." (Talbiis Ibliis (hal. 236), Ighaatsatul Lahfaan (I/413)).<br />
<br />
8. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah (wafat th. 241 H).<br />
Beliau mengatakan, "Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati. Aku tidak menyukainya." (al Amru bil Ma'ruuf wan Nahyi 'anil Munkar (no. 164) karya al Khallal).<br />
<br />
14. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah (wafat th. 728 H).<br />
Beliau mengatakan, "Empat Imam Madzhab berpendapat bahwa semua alat musik adalah haram.... Al Ma'aazif adalah alat alat musik sebagaimana yang disebutkan oleh para pakar bahasa Arab, bentuk jamak dari ma'zifah, yaitu alat yang dibunyikan. Dan tidak ada perselisihan sedikit pun dari pengikut para imam (tentang haramnya alat musik)." (Majmuu' Fataawaa (XI/576)).<br />
<br />
<br />
[PERSONAL VIEW]<br />
---------------<br />
<span style="color: black;">Ayat al Qur'an yang menjelaskan haramnya nyanyian dan musik sangat terang dan gamblang. </span><span style="color: #006600;"><span style="color: black;">Hadits</span> </span>yang menjelaskan tentang haramnya nyanyian dan musik juga sangat terang dan gamblang. Kemudian, <span style="color: #000099;"><span style="color: black;">penjelasan para ulama</span> </span>(termasuk empat Imam Madzhab) tentang haramnya nyanyian dan musik juga sangat jelas. Maka dari itu apakah patut berpendapat dengan selain dari pendapat tentang haramnya nyanyian dan musik?<br />
<br />
Semoga bermanfaat.<br />
<br />
<span style="font-size: 85%;">Ringkasan buku ini selesai dibuat<br />
<span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: verdana;">Selepas Maghrib sehabis hujan</span></span><br />
di Depok, 11 Mei 2009<br />
Oleh Abu Isa Hasan Cilandak<br />
Semoga Allah mengampuni dirinya</span></span><br />
<br />
<span class="fullpost"><span style="font-size: 85%;"><i>artikel dari salafisolo.co.cc dipublikasi ulang oleh shalafushshalih.blogger.com </i></span></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-85283806886413227212010-05-17T08:30:00.000-07:002010-05-17T08:30:05.083-07:00MACAM-MACAM TAUHIDبسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
Tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dengan beribadah kepadaNya semata. Ibadah merupakan tujuan penciptaan alam semesta ini. Allah Subhanahu wata'ala berfirman, <br />
<br />
"Dan Aku (Allah) tidah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzaariyaat: 56) <br />
<br />
Maksudnya, agar manusia dan jin mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dalam beribadah dan mengkhususkan kepadaNya dalam berdo'a. <br />
<br />
Tauhid berdasarkan Al-Qur'anul Karim ada tiga macam: <br />
<br />
TAUHID RUBUBIYAH<br />
<br />
Yaitu pengakuan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala adalah Tuhan dan Maha Pencipta. Orang-orang kafir pun mengakui macam tauhid ini. Tetapi pengakuan tersebut tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang Islam. Allah Subhanahu wata'ala berfirman, <br />
"Dan sungguh, jika Kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan mereka', niscaya mereka menjawab,'Allah'." (Az-Zukhruf: 87)<br />
<br />
Berbeda dengan orang-orang komunis, mereka mengingkari keberadaan Tuhan. Dengan demikian, mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah.<br />
<br />
<br />
TAUHID ULUHIYAH<br />
<br />
Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dengan melakukan berbagai macam ibadah yang disyari'atkan. Seperti berdo'a, memohon pertolongan kepada Allah, thawaf, menyembelih binatang kurban, bernadzar dan berbagai ibadah lainnya.<br />
<br />
Macam tauhid inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir. Dan ia pula yang menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat terdahulu dengan para rasul mereka, sejak Nabi Nuh alaihissalam hingga diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam.<br />
<br />
Dalam banyak suratnya, Al-Qur'anul Karim sering memberikan anjuran soal tauhid uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo'a dan meminta hajat khusus kepada Allah semata.<br />
Dalam surat Al-Fatihah misalnya, Allah berfirman,<br />
"Hanya Kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah Kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5)<br />
<br />
Maksudnya, khusus kepadaMu (ya Allah) kami beribadah, hanya kepadaMu semata kami berdo'a dan kami sama sekali tidak memohon pertolongan kepada selainMu. <br />
Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah berdo'a semata-mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-Qur'an, dan tunduk berhukum kepada syari'at Allah. Semua itu terangkum dalam firman Allah,<br />
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku." (Thaha: 14)<br />
<br />
TAUHID ASMA' WA SHIFAT<br />
<br />
Yaitu beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam Al-Qur'anul Karim dan hadits shahih tentang sifat-sifat Allah yang berasal dari penyifatan Allah atas DzatNya atau penyifatan Rasulullah Subhanahu wata'ala.<br />
<br />
Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara benar, tanpa ta'wil (penafsiran), tahrif (penyimpangan), takyif (visualisasi, penggambaran), ta'thil (pembatalan, penafian), tamtsil (penyerupaan), tafwidh (penyerahan, seperti yang.banyak dipahami oleh manusia) .<br />
<br />
Misalnya tentang sifat al-istiwa ' (bersemayam di atas), an-nuzul (turun), al-yad (tangan), al-maji' (kedatangan) dan sifat-sifat lainnya, kita menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-istiwa' misalnya, menurut keterangan para tabi'in sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari berarti al-'uluw wal irtifa' (tinggi dan berada di atas) sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah Shallallahu'alaihi wasallam. Allah berfirman,<br />
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura: 11)<br />
Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah secara benar adalah dengan tanpa hal-hal berikut ini: <br />
Tahrif (penyimpangan): Memalingkan dan menyimpangkan zhahirnya (makna yang jelas tertangkap) ayat dan hadits-hadits shahih pada makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (bersemayam di tempat yang tinggi) diartikan istaula (menguasai).<br />
<br />
Ta'thil (pembatalan, penafian): Mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit, sebagian kelompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat. <br />
<br />
Takyif (visualisasi, penggambaran): Menvisualisasikan sifat-sifat Allah. Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy itu begini dan begini. Bersemayamnya Allah di atas 'Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan tak seorang pun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah semata.<br />
<br />
Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhlukNya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan, "Allah turun ke langit, sebagaimana turun kami ini". Hadits tentang nuzul-nya Allah (turunnya Allah) ada dalam riwayat Imam Muslim.<br />
Sebagian orang menisbatkan tasybih (penyerupaan) nuzul ini kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong besar. Kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam kitab-kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami temukan adalah pendapat beliau yang menafikan tamtsil dan tasybih.<br />
<br />
Tafwidh (penyerahan): Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif (hal, keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa' misalnya berarti al-'uluw (ketinggian), yang tak seorang pun mengetahui bagaimana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali hanya Allah. Tafwidh (penyerahan): Menurut Mufawwidhah (orang-orang yang menganut paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang diterangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah, Rabi'ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua sependapat bahwa, "Istiwa' (bersemayam di atas) itu jelas pengertiannya, bagaimana cara/keadaannya itu tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah." <br />
<br />
Sumber : KITAB AL FIRQOTUN NAAJIYAH/JALAN GOLONGAN YANG SELAMAT/Syaikh Muhammad Jamil Zainu/(BAGIAN 4)Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-54983188979408331782010-05-17T08:14:00.000-07:002010-05-20T06:00:11.924-07:00Mengapa Kita Harus Berdakwah?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S_UyL_BG_6I/AAAAAAAAAEs/gYtEFs5-XWE/s1600/cropped-wahabi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="164" src="http://1.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S_UyL_BG_6I/AAAAAAAAAEs/gYtEFs5-XWE/s320/cropped-wahabi.jpg" width="320" /></a></div>بسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
[1 Dakwah merupakan jalan hidup Rasul dan pengikutnya<br />
<br />
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah, Inilah jalanku; aku menyeru kepada Allah di atas landasan ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Qs. Yusuf: 108)<br />
<br />
<br />
Berdasarkan ayat yang mulia ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengambil sebuah pelajaran yang amat berharga, yaitu: Dakwah ila Allah (mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah) merupakan jalan orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang beliau tuliskan di dalam Kitab Tauhid bab Ad-Du’a ila syahadati an la ilaha illallah (Ibthal At-Tandid, hal. 44).<br />
<br />
[2] Dakwah merupakan karakter orang-orang yang muflih (beruntung)<br />
<br />
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-’Imran: 104)<br />
<br />
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir setelah membaca ayat “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang dimaksud kebaikan itu adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah-ku.” (HR. Ibnu Mardawaih) (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 66)<br />
<br />
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan untuk kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun berdoa kepada-Nya namun permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (HR. Ahmad, dinilai hasan Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’ hadits no. 7070. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 66)<br />
<br />
[3] Dakwah merupakan ciri umat yang terbaik<br />
<br />
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan bagi umat manusia, kalian perintahkan yang ma’ruf dan kalian larang yang mungkar, dan kalian pun beriman kepada Allah…” (Qs. Ali-’Imran: 110)<br />
<br />
Ibnu Katsir mengatakan, “Pendapat yang benar, ayat ini umum mencakup segenap umat (Islam) di setiap jaman sesuai dengan kedudukan dan kondisi mereka masing-masing. Sedangkan kurun terbaik di antara mereka semua adalah masa diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian generasi sesudahnya, lantas generasi yang berikutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 68)<br />
<br />
[4] Dakwah merupakan sikap hidup orang yang beriman<br />
<br />
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar,…” (Qs. At-Taubah: 71)<br />
<br />
Inilah sikap hidup orang yang beriman, berseberangan dengan sikap hidup orang-orang munafiq yang justru memerintahkan yang mungkar dan melarang dari yang ma’ruf. Allah ta’ala menceritakan hal ini dalam firman-Nya (yang artinya), “Orang-orang munafiq lelaki dan perempuan, sebahagian mereka merupakan penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka memerintahkan yang mungkar dan melarang yang ma’ruf…” (Qs. At-Taubah: 67)<br />
<br />
[5] Meninggalkan dakwah akan membawa petaka<br />
<br />
Allah ta’ala berfirman tentang kedurhakaan orang-orang kafir Bani Isra’il (yang artinya), “Telah dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Isra’il melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu dikarenakan kemaksiatan mereka dan perbuatan mereka yang selalu melampaui batas. Mereka tidak melarang kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian di antara mereka, amat buruk perbuatan yang mereka lakukan itu.” (Qs. Al-Ma’idah: 78-79)<br />
<br />
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tindakan mereka itu (mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa mereka meremehkan perintah Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara yang sepele. Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb mereka niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan Allah dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti kemurkaan-Nya…” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241)<br />
<br />
Di antara dampak mendiamkan kemungkaran adalah kemungkaran tersebut semakin menjadi-jadi dan bertambah merajalela. Syaikh As-Sa’di telah memaparkan akibat buruk ini, “Sesungguhnya hal itu (mendiamkan kemungkaran) menyebabkan para pelaku kemaksiatan dan kefasikan menjadi semakin lancang dalam memperbanyak perbuatan kemaksiatan tatkala perbuatan mereka tidak dicegah oleh orang lain, sehingga keburukannya semakin menjadi-jadi. Musibah diniyah dan duniawiyah yang timbul pun semakin besar karenanya. Hal itu membuat mereka (pelaku maksiat) memiliki kekuatan dan ketenaran. Kemudian yang terjadi setelah itu adalah semakin lemahnya daya yang dimiliki oleh ahlul khair (orang baik-baik) dalam melawan ahlusy syarr (orang-orang jelek), sampai-sampai suatu keadaan di mana mereka tidak sanggup lagi mengingkari apa yang dahulu pernah mereka ingkari.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241)<br />
<br />
[6] Orang yang berdakwah adalah yang akan mendapatkan pertolongan Allah<br />
<br />
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Allah benar-benar akan menolong orang yang membela (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Mereka itu adalah orang-orang yang apabila kami berikan keteguhan di atas muka bumi ini, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Dan milik Allah lah akhir dari segala urusan.” (Qs. Al-Hajj: 40-41)<br />
<br />
Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengaku membela agama Allah namun tidak memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan (mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar) maka dia adalah pendusta (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 540).<br />
<br />
[7] Dakwah, bakti anak kepada sang bapak<br />
<br />
Allah ta’ala mengisahkan nasihat indah dari seorang bapak teladan yaitu Luqman kepada anaknya. Luqman mengatakan (yang artinya), “Hai anakku, dirikanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf dan cegahlah dari yang mungkar, dan bersabarlah atas musibah yang menimpamu. Sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang diwajibkan (oleh Allah).” (Qs. Luqman: 17)<br />
<br />
Allah juga menceritakan dakwah Nabi Ibrahim kepada bapaknya. Allah berfirman (yang artinya), “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim yang terdapat di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an). Sesungguhnya dia adalah seorang yang jujur lagi seorang nabi. Ingatlah ketika dia berkata kepada bapaknya; Wahai ayahku. Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak bisa mencukupi dirimu sama sekali? Wahai ayahku. Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku. Janganlah menyembah syaitan, sesungguhnya syaitan itu selalu durhaka kepada Dzat Yang Maha Penyayang.” (Qs. Maryam: 41-44)<br />
<br />
[8] Dakwah, alasan bagi hamba di hadapan Rabbnya<br />
<br />
Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika suatu kaum di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap menasihati suatu kaum yang akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka dengan siksaan yang amat keras?’ Maka mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan bagi kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali bertakwa’.” (Qs. Al-A’raaf: 164)<br />
<br />
Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Inilah maksud paling utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran; yaitu agar menjadi alasan untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta demi menegakkan hujjah kepada orang yang diperintah dan dilarang dengan harapan semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 307)<br />
<br />
Allah berfirman (yang artinya), “Para rasul yang kami utus sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan itu, agar tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk mengelak setelah diutusnya para rasul. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nisaa’: 165).<br />
<br />
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat pada hari raya kurban. Beliau berkata, “Wahai umat manusia, hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang disucikan.” Lalu beliau bertanya, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri yang disucikan.” Lalu beliau bertanya, “Bulan apakah ini?” Mereka menjawab, “Bulan yang disucikan.” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah disucikan tak boleh dirampas dari kalian, sebagaimana sucinya hari ini, di negeri (yang suci) ini, di bulan (yang suci) ini.” Beliau mengucapkannya berulang-ulang kemudian mengangkat kepalanya seraya mengucapkan, “Ya Allah, bukankah aku sudah menyampaikannya? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya?”… (HR. Bukhari dalam Kitab Al-Hajj, bab Al-Khutbah ayyama Mina. Hadits no. 1739)<br />
<br />
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, “Sesungguhnya beliau mengucapkan perkataan semacam itu (Ya Allah bukankah aku sudah menyampaikannya) disebabkan kewajiban yang dibebankan kepada beliau adalah sekedar menyampaikan. Maka beliau pun mempersaksikan kepada Allah bahwa dirinya telah menunaikan kewajiban yang Allah bebankan untuk beliau kerjakan.” (Fath Al-Bari, jilid 3 hal. 652).<br />
<br />
[9] Dakwah tali pemersatu umat<br />
<br />
Setelah menyebutkan kewajiban untuk berdakwah atas umat ini, Allah melarang mereka dari perpecahan, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah keterangan-keterangan datang kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang berhak menerima siksaan yang sangat besar.” (Qs. Ali-’Imran: 105)<br />
<br />
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kalaulah bukan karena amar ma’ruf dan nahi mungkar niscaya umat manusia (kaum muslimin) akan berpecah belah menjadi bergolong-golongan, tercerai-berai tak karuan dan setiap golongan merasa bangga dengan apa yang mereka miliki…” (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 102)<br />
***<br />
Author : Abu Mushlih Ari Wahyudi<br />
Artikel : abu0mushlih.wordpress.com publikasi ulang oleh shalafushshalih.blogger.comAbu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-49569326617029500462010-05-17T07:55:00.001-07:002010-05-17T07:55:36.685-07:00Perintah Mentaati Dan Memuliakan Penguasa Serta Tidak Memberontak Kepadanyaبسم الله الرحمن الرحيم <br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Meskipun kamu diperintah oleh budak Habsyi yang (jelek) terpotong hidungnya tetaplah kamu mendengar dan mentaatinya selama ia memimpinmu dengan Kitab Allah.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1062)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Barangsiapa yang mentaatiku berarti ia mentaati Allah dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka ia bermaksiat kepada Allah dan siapa yang taat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) berarti ia mentaatiku dan siapa yang bermaksiat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) maka ia berarti bermaksiat kepadaku dan amirnya adalah tameng.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1065- 1068)<br />
(Menurut Imam Al Qurthuby yang dinukil oleh Imam As Suyuthi dalam Kitab Az Zahrur Riba, arti tameng di sini adalah ia (amir itu) diikuti pendapat dan pandangannya dalam beberapa peraturan dalam menghadapi keadaan yang mengkhawatirkan, pent.)<br />
<br />
Dari Ady bin Hatim ia berkata, kami berkata :<br />
“Ya Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertaqwa tapi (bagaimana) terhadap orang yang berbuat begini dan begitu -- ia menyebut berbagai kejelekan--.” Beliau berkata : “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan tetaplah kamu mendengar dan mentaatinya.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1069)<br />
<br />
Dari Abi Sa’id Al Khudri ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Akan ada nanti para pemimpin yang kulit menjadi lunak terhadap mereka sedangkan hati tidak tenteram kemudian akan ada pula para pemimpin yang hati manusia gemetar karena mereka dan bulu kuduk berdiri karena (takut) kepada mereka.” Lalu ada yang bertanya : “Ya Rasulullah apakah tidak diperangi saja mereka?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Tidak, selama mereka menegakkan shalat.” (Ibid nomor 1077)<br />
<br />
Dari Abu Dzar radliyallahu 'anhu ia berkata :<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendatangiku ketika saya di mesjid lalu beliau menyentuhku dengan kakinya dan bersabda : “Apakah kamu sedang tidur di tempat ini?” Saya menjawab : “Wahai Rasulullah, mataku mengalahkanku.” Beliau bersabda : “Bagaimana jika kamu diusir dari sini?” Maka saya menjawab : “Sungguh saya akan memilih tanah Syam yang suci dan diberkahi.” Beliau bertanya lagi : “Bagaimana jika kamu diusir dari Syam?” Saya berkata : “Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya perangi dia, ya Rasulullah?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Maukah aku tunjukkan jalan yang lebih baik dari tindakan itu dan lebih dekat kepada petunjuk --beliau ulangi dua kali--? Yaitu kamu dengar dan taati, kamu akan digiring kemanapun mereka menggiringmu.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1074)<br />
<br />
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan ia berkata, ketika Abu Dzar keluar menuju Rabdzah, serombongan pengendara dari Iraq menemuinya lalu berkata :<br />
“Hai Abu Dzar, apa yang menimpamu telah sampai kepada kami, pancangkanlah bendera jihad (berontak) niscaya akan datang kepadamu orang- orang berapapun kamu kehendaki.” Ia berkata : [Tenanglah hai kaum Muslimin, sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Akan ada sesudahku nanti penguasa maka hormatilah dia, barangsiapa yang mencari-cari kesalahannya maka ia berarti benar-benar merobohkan sendi-sendi Islam dan tidak akan diterima taubatnya sampai mengembalikannya seperti semula.”] (Ibid nomor 1079)<br />
<br />
Dari Qathn Abul Haitsami ia berkata bahwa Abu Ghalib bercerita kepada kami, saya berada di sisi Abu Umamah ketika seseorang berkata kepadanya :<br />
“Apa pendapat Anda mengenai ayat :<br />
Dia-lah yang telah menurunkan kepadamu Al Kitab di antaranya (berisi) ayat-ayat yang muhkam itulah Ummul Kitab dan ayat lainnya adalah ayat mutasyabihat. Maka adapun orng-orang yang dalam hati mereka ada zaigh (condong kepada kesesatan) maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat. (QS. Ali Imran : 7)<br />
Siapakah mereka (orang yang di hatinya terdapat zaigh) ini?” Ia berkata : “Mereka adalah Khawarij, --beliau melanjutkan-- dan tetaplah kamu beriltizam (komitmen) dengan As Sawadul A’zham.” Saya berkata : “Engkau telah mengetahui apa yang ada pada mereka (penguasa).” Ia menjawab : “Kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu, taatilah mereka niscaya kamu akan mendapat petunjuk.” (As Sunnah Ibnu Nashr 22 nomor 55)<br />
<br />
Dari Daud bin Abil Furat ia berkata, Abu Ghalib bercerita kepadaku bahwa Abu Umamah bercerita bahwa Bani Israil terpecah menjadi 71 golongan dan ummat ini lebih banyak satu golongan dari mereka, semua di neraka kecuali As Sawadul A'zham, yakni Al Jamaah. Saya berkata :<br />
“Terkadang dapat diketahui apa yang ada pada As Sawadul A'zham --di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan--.” Ia berkata : “Ketahuilah, sungguh demi Allah saya benar-benar tidak suka perbuatan mereka namun bagi kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajibanmu adalah apa yang dibebankan kepadamu, di samping itu mendengar dan taat kepada mereka lebih baik daripada durhaka dan bermaksiat kepada mereka.” (Ibid nomor 56)<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Barangsiapa yang memuliakan penguasa (yang dijadikan) Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi di dunia maka Allah memuliakannya pada hari kiamat dan siapa yang menghinakan penguasa Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi di dunia maka Allah hinakan dia pada hari kiamat.” (Ash Shahihah Al Albani 2297)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Lima perkara, barangsiapa yang mengamalkan salah satunya ia mendapat jaminan dari Allah Azza wa Jalla, yaitu (antara lain) barangsiapa yang masuk kepada imam (pemimpinnya) untuk memuliakan dan menghormatinya.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1021)<br />
<br />
Dari Ubadah bin Ash Shamit radliyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (beliau) bersabda :<br />
“Dengar dan taatilah mereka baik --dalam-- kesulitan atau kemudahan, gembira dan tidak suka, dan (meskipun) mereka bersikap egois (sewenang-wenang) terhadapmu, walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu.” (Ibid, dishahihkan Al Albani 1026)<br />
<br />
Dari Rabi’i bin Harrasy ia berkata, saya mendatangi Hudzaifah radliyallahu 'anhu di Madain pada malam hari ketika banyak orang yang mendatangi Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu maka ia berkata :<br />
“Hai Rabi’i! Apa yang dilakukan kaummu?” Saya menjawab : “Tentang kejadian mana yang Anda tanyakan?” Ia berkata : “Tentang siapa di antara mereka yang keluar (unjuk rasa/memberontak) kepada orang itu (Utsman)?” Maka saya sebutkan nama-nama beberapa orang di antara mereka. Lalu kata Hudzaifah : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
Barangsiapa yang memisahkan diri dari Al Jamaah dan merendahkan pemerintah maka ia akan menemui Allah Azza wa Jalla dalam keadaan tidak mempunyai muka lagi --dalam lafaz Adz Dzahabi, tidak mempunyai hujjah--.” (HR. Ahmad 5/387, Al Hakim menshahihkannya, dan disetujui Adz Dzahabi 1/119)<br />
<br />
Imam Al Barbahary berkata, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :<br />
“Dengar dan taatilah para pemimpin dalam perkara yang dicintai dan diridlai Allah! Dan siapa yang diserahi jabatan kekhalifahan dengan kesepakatan dan keridlaan manusia kepadanya maka ia adalah Amirul Mukminin. Tidak halal bagi siapapun untuk berdiam satu malam dalam keadaan tidak menganggap adanya imam baik orang yang shalih ataupun durhaka.” (Thabaqat Hanabilah 2/21 dan Syarhus Sunnah 77-78)<br />
Kata Syaikh Jamal bin Farihan, ijma’ (kesepakatan manusia dan keridlaan mereka) di sini maksudnya adalah manusia dari kalangan Ahlul Hali wal ‘Aqdi (ulama mujtahid) bukan seluruh rakyat yang di dalamnya banyak terdapat orang-orang yang bodoh. Maka perhatikanlah hal ini!<br />
<br />
Kata beliau (dalam Syarhus Sunnah hal 77-78) :<br />
“Barangsiapa yang keluar (demonstrasi/memberontak) kepada imam kaum Muslimin maka ia Khawarij dan sungguh mereka telah mematahkan tongkatnya kaum Muslimin, menyelisihi atsar maka mereka mati dalam keadaan jahiliyyah.”<br />
<br />
Dan kata beliau lagi :<br />
“Tidak halal memerangi (memberontak) kepada penguasa dan keluar (demonstrasi) terhadap mereka meskipun mereka jahat karena tidak ada dalam As Sunnah (tuntunan) memerangi penguasa sebab yang demikian mengakibatkan kerusakan dunia dan agama.”<br />
<br />
dinukil : ebook Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah/BAB3/Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi --hafidhahullahu--Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-69213252131000009282010-05-17T07:50:00.000-07:002010-05-17T07:51:34.491-07:00TAFSIR SURAT AL-’ASHRبسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)<br />
<br />
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.”<br />
(Al ‘Ashr: 1-3)<br />
<br />
Kedudukan Surat Al ‘Ashr<br />
Al Qur’an adalah kalamullah ? (firman Allah) sebagai pedoman dan petunjuk ke jalan yang lurus bagi umat manusia. Allah ? berfirman (artinya):<br />
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al Israa’: 9)<br />
Sehingga semua ayat-ayat Al Qur’an memiliki kedudukan dan fungsi yang agung. Demikian pula pada surat Al ‘Ashr, terkandung di dalamnya makna-makna yang amat berharga bagi siapa saja yang mentadabburinya (memahaminya dengan seksama).<br />
Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i menegaskan tentang kedudukan surat Al ‘Ashr, beliau berkata:<br />
<br />
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسِعَتْهُمْ<br />
<br />
“Sekiranya manusia mau memperhatikan (kandungan) surat ini, niscaya surat ini akan mencukupkan baginya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada Surat Al ‘Ashr)<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa perkataan Al Imam Asy Syafi’i itu adalah tepat karena Allah ? telah mengkhabarkan bahwa seluruh manusia dalam keadaan merugi (celaka) kecuali barang siapa yang mu’min (beriman) lagi shalih (beramal shalih) dan ketika bersama dengan yang lainnya saling berwasiat kepada jalan yang haq dan saling berwasiat di atas kesabaran. (Lihat Majmu’ Fatawa, 28/152)<br />
<br />
Keutamaan Surat Al ‘Ashr<br />
Al Imam Ath Thabrani menyebutkan dari Ubaidillah bin Hafsh ?, ia berkata: “Jika dua shahabat Rasulullah ? bertemu maka keduanya tidak akan berpisah kecuali setelah salah satu darinya membacakan kepada yang lainnya surat Al ‘Ashr hingga selesai, kemudian memberikan salam.” (Al Mu’jamu Al Ausath no: 5097, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihah no. 2648)<br />
<br />
Kandungan Surat Al ‘Ashr<br />
Pada ayat pertama: ((وَالْعَصْرِ<br />
Allah ? bersumpah dengan al ‘ashr yang bermakna waktu, zaman atau masa. Pada zaman/masa itulah terjadinya amal perbuatan manusia yang baik atau pun yang buruk. Jika waktu atau zaman itu digunakan untuk amal kebajikan maka itulah jalan terbaik yang akan menghasilkan kebaikan pula. Sebaliknya jika digunakan untuk kejelekan maka tidak ada yang dihasilkan kecuali kerugian dan kecelakaan.<br />
Rasulullah ? bersabda:<br />
<br />
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌمِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ<br />
<br />
“Dua kenikmatan yang kebanyakan orang lalai di dalamnya; kesehatan, dan waktu senggang” (HR. At Tirmidzi no. 2304, dari shahabat Abdullah bin Abbas ?)<br />
Kemudian di hari kiamat kelak Allah ? akan menanyakan tentang umur seseorang, untuk apa dia pergunakan? Sebagaimana hadits Rasulullah ? yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud ?, beliau ? bersabda:<br />
<br />
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ<br />
<br />
“Tidaklah bergeser telapak kaki bani Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang lima perkara; umurnya untuk apa ia gunakan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan apa yang ia perbuat dengan ilmu-ilmu yang telah ia ketahui. (HR. At Tirmidzi no. 2416 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihah no. 947)<br />
Kemudian Allah ? menyebutkan ayat berikutnya:<br />
<br />
إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ<br />
<br />
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi.”<br />
Lafazh al insan pada ayat di atas secara kaidah tata bahasa Arab mencakup keumuman manusia tanpa terkecuali. Allah ? tidak memandang agama, jenis kelamin, status, martabat, dan jabatan, melainkan Allah ? mengkhabarkan bahwa semua manusia itu dalam keadaan celaka kecuali yang memilki empat sifat yang terdapat pada kelanjutan ayat tersebut.<br />
Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bermacam-macam, bisa kerugian yang bersifat mutlak, seperti keadaan orang yang merugi di dunia dan di akhirat, yang dia kehilangan kenikmatan dan diancam dengan balasan di dalam neraka jahim. Dan bisa juga kerugian tersebut menimpa seseorang akan tetapi tidak mutlak hanya sebagian saja. (Taisir Karimirrahman, karya Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di)<br />
<br />
Pertama: Keimanan<br />
Sifat yang pertama adalah beriman, diambil dari penggalan ayat:<br />
<br />
إِلاَّ الَّذيْنَ ءَامَنُوْا<br />
<br />
“Kecuali orang-orang yang beriman”<br />
Iman adalah keimanan terhadap seluruh apa yang Allah ? perintahkan untuk mengimaninya, dari beriman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir, serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan kepada Allah ? dari keyakinan-keyakinan yang benar dan ilmu yang bermanfaat.<br />
Penggalan ayat di atas memiliki kandungan makna yang amat berharga yaitu tentang kewajiban menuntut ilmu agama yang telah diwariskan oleh Nabi ?.<br />
Mengapa demikian? Tentu, karena tidaklah mungkin seseorang mencapai keimanan yang benar dan sempurna tanpa adanya ilmu pengetahuan terlebih dahulu dari apa yang ia imani dari Al Qur’an dan As Sunnah.<br />
Allah ? berfirman (artinya):<br />
<br />
“Allah bersaksi (bersyahadat untuk diri-Nya sendiri) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia (Allah), para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersyahadat yang demikian itu), …” (Ali Imran: 19)<br />
<br />
Dalam ayat yang mulia ini Allah ? menggandengkan syahadat orang-orang yang berilmu dengan syahadat untuk diri-Nya sendiri dan para Malaikat-Nya. Padahal syahadat laa ilaaha illallaah merupakan keimanan yang tertinggi. Hal ini menunjukkan tingginya keutamaan ilmu dan ahli ilmu. Bahkan para ulama menerangkan bahwa salah satu syarat sahnya syahadat adalah berilmu, yaitu mengetahui apa ia persaksikan. Sebagaimana firman Allah ?:<br />
<br />
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَ هُمْ يَعْلَمُوْنَ<br />
<br />
“Kecuali barangsiapa yang bersyahadat dengan haq (tauhid), dalam keadaan mereka mengetahuinya (berilmu).” (Az Zukhruf: 86)<br />
Sehingga tersirat dari penggalan ayat:<br />
<br />
إِلاَّ الَّذيْنَ ءَامَنُوْا<br />
<br />
kewajiban menimba ilmu agama. Terlebih lagi Rasulullah ? menegaskan dalam haditsnya:<br />
<br />
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ<br />
<br />
“Menuntut ilmu (agama) adalah fardhu (kewajiban) atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224)<br />
<br />
Kedua: Beramal shalih<br />
Sifat yang kedua adalah beramal shalih, diambil dari penggalan ayat (artinya):<br />
<br />
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ<br />
<br />
“Dan beramal shalih.”<br />
Amalan shalih itu mencakup amalan zhahir yang dikerjakan oleh anggota badan maupun amalan batin, baik amalan tersebut bersifat fardhu (wajib) atau pun bersifat mustahab (anjuran).<br />
Keterkaitan antara iman dan amal shalih itu sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan. Karena amal shalih itu merupakan buah dan konsekuensi dari kebenaran iman seseorang. Atas dasar ini para ulama’ menyebutkan salah satu prinsip dasar dari Ahlus Sunnah wal jama’ah bahwa amal shalih itu bagian dari iman. Iman itu bisa bertambah dengan amalan shalih dan akan berkurang dengan amalan yang jelek (kemaksiatan)<br />
Oleh karena itu, dalam Al Qur’an Allah ? banyak menggabungkan antara iman dan amal shalih dalam satu konteks, seperti dalam ayat ini atau ayat-ayat yang lainnya. Diantaranya firman Allah ? (artinya): “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)<br />
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di: “Jika dua sifat (iman dan amal shalih) di atas terkumpul pada diri seseorang maka dia telah menyempurnakan dirinya sendiri.” (Taisir Karimirrahman)<br />
<br />
Ketiga: Saling menasehati dalam kebenaran<br />
Merupakan salah satu dari sifat-sifat yang menghindarkan seseorang dari kerugian adalah saling menasehati diantara mereka dalam kebenaran, dan di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah ? serta meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan-Nya.<br />
Nasehat merupakan perkara yang agung, dan merupakan jalan rasul di dalam memperingatkan umatnya, sebagaimana Nabi Nuh ? ketika memperingatkan kaumnya dari kesesatan: “Dan aku memberi nasehat kepada kalian.” (Al A’raaf: 62).<br />
Kemudian Nabi Hud ? yang berkata kepada kaumnya: “Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” (Al A’raaf: 68)<br />
Dengan nasehat itu maka akan tegak agama ini, sebagaimana sabda Rasulullah ? di dalam haditsnya:<br />
<br />
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ<br />
<br />
“Agama ini adalah nasehat” (H.R Muslim no. 90 dari shahabat Tamim Ad Daari ?)<br />
Bila nasehat itu mulai kendor dan runtuh maka akan runtuhlah agama ini, karena kemungkaran akan semakin menyebar dan meluas. Sehingga Allah ? melaknat kaum kafir dari kalangan Bani Israil dikarenakan tidak adanya sifat ini sebagaimana firman-Nya (artinya): “Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat.” (Al Maidah: 79)<br />
Demikian pula orang-orang munafik yang diantara mereka saling menyuruh kepada perbuatan mungkar dan melarang dari perbuatan yang ma’ruf, Allah ? telah memberitakan keadaan mereka di dalam Al Quran, sebagaimana firman-Nya (artinya): “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh kepada perbuatan yang mungkar dan melarang dari perbuatan yang ma’ruf.” (At Taubah: 67)<br />
<br />
Keempat: Saling menasehati dalam kesabaran<br />
Saling menasehati dalam berbagai macam kesabaran, sabar di atas ketaatan terhadap Allah ? dan menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, sabar terhadap musibah yang menimpa serta sabar terhadap takdir dan ketetapan-Nya.<br />
Orang-orang yang bersabar di atas kebenaran dan saling menasehati satu dengan yang lainnya, maka sesungguhnya Allah ? telah menjanjikan bagi mereka pahala yang tidak terhitung, Allah ? berfirman (artinya): “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar:10)<br />
Jika telah terkumpul pada diri seseorang keempat sifat ini, maka dia telah mencapai puncak kesempurnaan. Karena dengan dua sifat pertama (iman dan amal shalih) ia telah menyempurnakan dirinya sendiri, dan dengan dua sifat terakhir (saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran) ia telah menyempurnakan orang lain. Oleh karena itu, selamatlah ia dari kerugian, bahkan ia telah beruntung dengan keberuntungan yang agung. Wallahu A’lam.<br />
<br />
Penutup<br />
Demikianlah para pembaca sedikit dari apa yang kami sampaikan mengenai tafsir Surat Al ‘Ashr semoga dapat memberikan bimbingan kepada kita semua di dalam menempuh agama yang telah diridhai oleh Allah ? ini. Dan tentunya kita berharap agar dapat memiliki 4 sifat yang akan menyelamatkan kita dari kerugian baik di dunia maupun di akhirat. Amin, Ya Rabbal ‘alamin.<br />
<br />
<span style="color: black;">sumber : </span><a href="http://www.assalafy.org/mahad/?p=28" onmousedown="UntrustedLink.bootstrap($(this), "17790", event);" rel="nofollow" style="color: black;" target="_blank">http://www.assalafy.org</a><span style="color: black;"> dipublikasi ulang shalafushshalih.blogger.com</span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-66341945376235063412010-05-17T07:47:00.000-07:002010-05-17T07:47:39.584-07:00Pelipur Lara di Tengah Keterasinganبسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
Banyak diantara agama, dan sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang dilalaikan orang pada hari ini sehingga terkadang menjadi sesuatu yang mahjur (ditinggalkan) dan ghorib (asing) di mata pemeluknya sendiri.<br />
<br />
Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits,<br />
<br />
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ<br />
<br />
"Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman (232)]<br />
<br />
Islam asing dan aneh di mata manusia karena menyalahi hawa nafsu dan kejahilan mereka. Ketika seorang mengamalkan sunnah (ajaran) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di awal Islam, maka semua orang tersentak kaget dan heran sebagaimana kondisi di akhir zaman sekarang. Jika sekarang ada pengikut sunnah (yakni, petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengamalkan sunnah, seperti memanjangkan jenggot, dan menggunakan jilbab besar beserta cadar, maka banyak kaum muslimin yang berteriak kaget, dan menganggapnya asing alias aneh, menakutkan, ketinggalan zaman, dan lainnya!! Keasingan ini terjadi karena kebanyakan manusia menjauhi sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kenapa mereka jauh? Mereka jauh karena kejahilan dan hawa nafsu menyelimuti mereka. Tapi keasingan ini sebenarnya adalah sunnatullah (ketentuan dari Allah -Azza wa Jalla-).<br />
<br />
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibiy -rahimahullah- berkata, “Keterasingan ini adalah sunnatullah pada makhluk-Nya, yakni pengikut kebenaran dibandingkan pengusung kebatilan adalah jumlahnya sedikit berdasarkan firman-Nya -Ta’ala-,<br />
<br />
"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya-. (QS. Yusuf: 103)<br />
<br />
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba’ : 13)<br />
<br />
(Demikianlah) agar Allah membenarkan apa yang Dia janjikan kepada Nabi-Nya berupa kembalinya sifat keterasingan itu kepada Islam. Jadi, keterasingan itu tak akan terjadi, kecuali karena hilangnya pengikut (kebenaran) atau sedikitnya mereka. Hal itu terjadi saat perkara yang ma’ruf berubah menjadi kemungkaran; kemungkaran berubah (dianggap) sebagai sesuatu yang ma’ruf; Sunnah dianggap bid’ah, dan bid’ah dianggap sunnah. Akhirnya, pengikut Sunnah diperhadapkan dengan cacian dan sikap keras sebagaimana nasibnya dahulu para pengusung bid’ah, karena adanya keinginan para pengusung bid’ah itu agar symbol kesesatan bias bersatu (kuat)”. [Lihat Al-I’tishom (1/12), tahqiq Masyhur Hasan Salman, cet. Maktabah At-Tauhid, 1421 H]<br />
<br />
Jumlah kaum muslimin pada hari ini amat banyak. Hanya saja yang kita sesalkan, mayoritas dari mereka tidak mengetahui Islam yang pernah dibawa oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan disebarkan oleh para sahabat.<br />
<br />
Lihatlah, ketika mereka diajak untuk meninggalkan kesyirikan, maka mereka menuduh kita sebagai “Wahabi”. Perkara ini amat jelas jika ada seorang yang bertauhid melarang kaum muslimin datang ke kuburan orang-orang “sholeh”, karena mereka kesana untuk melakukan kesyirikan, seperti bernadzar di kubur, mengharap pertolongan dan kesembuhan dari penghuni kubur, meminta dan berdoa kepada mayit. Inilah yang dilarang dalam Islam dalam firman-Nya,<br />
<br />
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyeru (berdoa) kepada seseorangpun di dalamnya di samping (menyeru) Allah”. (QS. Al-Jin: 18)<br />
<br />
Perhatikan, saat kita menasihati mereka untuk meninggalkan maulid karena hal itu tak ada tuntunannya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka manusia akan kiamat. Bukankah Allah -Ta’ala- berfirman,<br />
<br />
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maa’idah: 3)<br />
<br />
Bila agama telah sempurna, maka kita tak perlu menambahinya dengan amalan yang tak ada tuntunannya dalam agama –seperti, maulid-, sebab amalan yang tak ada tuntunannya dalam agama akan tertolak, tak mendapatkan pahala, bahkan akan dimintai pertanggungjawaban!!<br />
<br />
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,<br />
<br />
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ<br />
<br />
“Barang siapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”. [HR.Al-Bukhory (2697)]<br />
<br />
Ibnu Daqiq Al-Ied -rahimahullah- berkata, “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung diantara kaidah-kaidah agama.Dia termasuk "Jawami’ Al-Kalim" (ucapan ringkas, padat maknanya), yang diberikan kepada Al-Mushthofa -Shallallahu alaihi wa sallam- , karena hadits ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”. [Lihat Syarh Al-Arba`in (hal.43)]<br />
<br />
Renungilah, para wanita ketika diajak mengenakan pakaian wanita muslimah yang syar’iy, maka mereka menolaknya dengan seribu alasan. Sehingga kita tidak bisa lagi membedakan antara wanita muslimah dan wanita kafir. Jika kalian berbelanja di mall-mall dan pusat perbelanjaan lainnya, maka kalian akan menyaksikan wanita-wanita kita berseliweran dan bekerja disana. Awal kita melihat mereka, kita menyangkanya wanita kafir, karena ia tidak berjilbab, dan ia bersolek ala wanita kafir. Tapi kita akan terperanjat ketika mengetahui bahwa ia adalah muslimah. Bukankah seorang wanita diperintahkan mengenakan jilbab yang tebal dan lebar sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-,<br />
<br />
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab: 59).<br />
<br />
Ketika para wanita kita diajak berjilbab yang syar’iy, maka mereka enggan dan menolak dengan dalih “kurang bebas”, “tidak modern, kuno!!”, “panas dan pengab”, “tidak sesuai gaya anak muda”, dan sederet alasan lemah. Lebih ironis lagi, wanita-wanita ini muak dan sinis saat melihat saudari-saudari mereka bercadar dan mengenakan jilbab lebar dab tebal.<br />
<br />
Tengoklah, para lelaki muslim (tua-muda) tatkala dinasihati agar mereka memanjangkan jenggot, karena itu adalah petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka kalian akan melihat mereka akan memangkas, bahkan menggunduli jenggot-jenggot mereka, tanpa malu !! Tragisnya lagi, mereka sebaliknya malah membenci dan mencaci orang-orang yang memanjangkan jenggotnya karena ittiba (meneladani) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.<br />
<br />
Bukankah Nabi kita -Shollallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,<br />
<br />
اُعْفُوْا اللِّحَى وَخُذُوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى<br />
<br />
“Biarkanlah jenggot kalian tumbuh, cukurlah kumis kalian, ubahlah (semirlah) uban kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nashrani ”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (8657). Di-shohih-kan oleh Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (2/356)]<br />
<br />
Penyerupaan dalam penampilan lahiriah akan berpengaruh untuk menumbuhkan kasih, cinta, dan kesetiaan dalan batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh untuk menimbulkan penyerupaan dalam penampilan lahiriah. Ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan maupun dalam prakteknya.<br />
<br />
Lihatlah, pemuda dan orang-orang tua saat di ajak bermajelis ilmu untuk mempelajari ilmu agama, maka mereka berpaling dan enggan menghadirinya. Anehnya jika diajak menghadiri majelis-majelis syaithon, seperti bar, diskotik, atau konser musik, maka mereka akan hadir dengan langkah pasti dan hati girang.<br />
<br />
Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda dalam menjelaskan keutamaan majelis ilmu dan orang menghadirinya,<br />
<br />
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ<br />
<br />
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan, sedang ia mencari ilmu di dalamnya, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan menghamparkan sayapnya karena mereka senang kepada pencari ilmu. Sesungguhnya seorang penuntut akan dimohonkan ampunan oleh segala sesuatu yang ada di langit dan bumi sampai ikan-ikan di air. Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi. Sedang para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang cukup” [HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Ilm (3641), At-Tirmidziy (2682), dan Ibnu Majah (223)]<br />
<br />
Walapun demikian besar pahala yang didapatkan oleh orang yang menghadiri majelis ilmu, tapi kebanyakan orang diantara kita enggan menghadirinya, bahkan terkadang malu-malu dan malas-malasan. Kebanyakan orang lebih senang menghadiri majelis-majelis setan; di dalamnya dilantunkan lagu-lagu dan syi’ar setan.<br />
<br />
Keterasingan para pengamal dan pejuang Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- amat terasa di akhir zaman ini. Di saat inilah dibutuhkan kesabaran yang tinggi dalam menghadapi berbagai macam tantangan lahir dan batin, tantangan dan halangan.<br />
<br />
Al-Imam Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata, "Orang mukmin hanyalah terhinakan diakhir zaman disebabkan asingnya ia diantara pelaku kerusakan dari kalangan pengumbar syubhat dan syahwat. Mereka semua (yakni, para pelaku kerusakan itu) membenci orang mukmin, menyakitinya, karena menyelisihi jalan mereka, menyelisihi keinginan mereka, dan pijakan mereka". [Lihat Kasyful Kurbah (hal. 24)]<br />
<br />
Seorang yang menegakkan dan mengamalkan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di akhir zaman ini ibarat seorang yang menggenggam bara api; ia harus bersabar dan tegar. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,<br />
<br />
فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ الصَّبْرُ فِيهِ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهِمْ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِهِ<br />
<br />
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang kesabaran di kala hari itu laksana memegang bara api, karena bagi yang mengamalkan sunnah di hari itu dia akan mendapatkan pahala senilai 50 amalan seorang diantara kalian (sahabat) dimana merekan beramal seperti amalan seorang diantara kalian. [HR. Abu Dawud (3778), dan Ibnu Majah (4004). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3172)]<br />
<br />
Di zaman inilah setiap orang yang membela Sunnah dan mengamalkannya akan merasakan keasingan di tengah kaumnya, sebab pelaku kebatilan dan maksiat lebih banyak jumlahnya. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya para pengamal dan pejuang Sunnah bersabar dan tetap mengikuti jalan-jalan petunjuk yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- berkata,<br />
<br />
اِتَّبِعْ طُرُقَ الْهُدَى وَلاَ يَضُرُّكَ قِلَّةُ السَّالِكِيْنَ, وَإِيَّاكَ وَطُرُقَ الضَّلاَلَةِ وَلاَ تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِيْنَ<br />
<br />
"Ikutilah jalan-jalan petunjuk; anda tak akan dibahayakan oleh sedikitnya orang-orang yang menapaki jalan-jalan petunjuk. Waspadalah engkau terhadap jalan-jalan kesesatan, dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang binasa". [Lihat Al-I’tishom (1/135), tahqiq Masyhur Hasan Salman]<br />
<br />
Tetaplah bersabar di atas Sunnah, walaupun banyak orang-orang binasa yang membencimu karena mengamalkan Sunnah (petunjuk) Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kesudahan yang baik akan kalian raih di sisi Robb-mu, insya Allah.<br />
<br />
Inilah beberapa buah patah kata sebagai risalah penghibur bagi para pencinta Sunnah. Mudah-mudahan bisa menjadi pelipur lara di kala menghadapi para pembenci Sunnah yang melecehkan para pencinta Sunnah. Inilah sedikit nasihat dari saudara yang kasihan dan cinta kepadamu. Semoga Allah -Azza wa Jalla- mematikan kita di atas Sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sehingga kita termasuk golongan orang-orang yang akan mendatangi telaga Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.<br />
<br />
Semoga Allah menjadikan kita termasuk al-Ghuroba’.. Allahumma amin.<br />
<br />
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 111 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro.<br />
<br />
<a href="http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/pelipur-lara-di-tengah-keterasingan.html" onmousedown="UntrustedLink.bootstrap($(this), "17790", event);" rel="nofollow" target="_blank">sumber :http://almakassari.com dipublikasi ulang shalafushshalih.blogspot.com </a>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-70104822966698342062010-05-12T10:50:00.000-07:002010-05-12T10:50:41.395-07:00Perbedaan Antara Jin, Setan dan Iblisبسم الله الرحمن الرحيم<br />
<span class="fnu">Tema Jin, Setan, dan Iblis masih menyisakan kontroversi hingga kini. Namun yang jelas, eksistensi mereka diakui dalam syariat. Sehingga, jika masih ada dari kalangan muslim yang meragukan keberadaan mereka, teramat pantas jika diragukan keimanannya.<br />
<br />
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan risalah yang umum dan menyeluruh. Tidak hanya untuk kalangan Arab saja namun juga untuk selain Arab. Tidak khusus bagi kaumnya saja, namun bagi umat seluruhnya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutusnya kepada segenap Ats-Tsaqalain: jin dan manusia.<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا<br />
<br />
“Katakanlah: `Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raf: 158)<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً<br />
<br />
“Adalah para nabi itu diutus kepada kaumnya sedang aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhuma)<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:<br />
<br />
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِيْنَ. قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ. يَا قَوْمَنَا أَجِيْبُوا دَاعِيَ اللهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ. وَمَنْ لاَ يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي اْلأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ<br />
<br />
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan sekumpulan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur`an. Maka ketika mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: `Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: `Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan setelah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Wahai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan lepas dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata’.” (Al-Ahqaf: 29-32)<br />
<br />
Jin Diciptakan Sebelum Manusia<br />
Tak ada satupun dari golongan kaum muslimin yang mengingkari keberadaan jin. Demikian pula mayoritas kaum kuffar meyakini keberadaannya. Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani pun mengakui eksistensinya sebagaimana pengakuan kaum muslimin, meski ada sebagian kecil dari mereka yang mengingkarinya. Sebagaimana ada pula di antara kaum muslimin yang mengingkarinya yakni dari kalangan orang bodoh dan sebagian Mu’tazilah.<br />
Jelasnya, keberadaan jin merupakan hal yang tak dapat disangkal lagi mengingat pemberitaan dari para nabi sudah sangat mutawatir dan diketahui orang banyak. Secara pasti, kaum jin adalah makhluk hidup, berakal dan mereka melakukan segala sesuatu dengan kehendak. Bahkan mereka dibebani perintah dan larangan, hanya saja mereka tidak memiliki sifat dan tabiat seperti yang ada pada manusia atau selainnya. (Idhahu Ad-Dilalah fi ’Umumi Ar-Risalah hal. 1, lihat Majmu’ul Fatawa, 19/9)<br />
Anehnya orang-orang filsafat masih mengingkari keberadaan jin. Dan dalam hal inipun Muhammad Rasyid Ridha telah keliru. Dia mengatakan: “Sesungguhnya jin itu hanyalah ungkapan/ gambaran tentang bakteri-bakteri. Karena ia tidak dapat dilihat kecuali dengan perantara mikroskop.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah minal Jin oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu)<br />
Jin lebih dahulu diciptakan daripada manusia sebagaimana dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:<br />
<br />
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُوْنٍ. وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ<br />
<br />
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 26-27)<br />
Karena jin lebih dulu ada, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mendahulukan penyebutannya daripada manusia ketika menjelaskan bahwa mereka diperintah untuk beribadah seperti halnya manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ<br />
<br />
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)<br />
<br />
Jin, Setan, dan Iblis<br />
Kalimat jin, setan, ataupun juga Iblis seringkali disebutkan dalam Al-Qur`an, bahkan mayoritas kita pun sudah tidak asing lagi mendengarnya. Sehingga eksistensinya sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak lagi diragukan, berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma’ ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tinggal persoalannya, apakah jin, setan, dan Iblis itu tiga makhluk yang berbeda dengan penciptaan yang berbeda, ataukah mereka itu bermula dari satu asal atau termasuk golongan para malaikat?<br />
Yang pasti, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menerangkan asal-muasal penciptaan jin dengan firman-Nya:<br />
<br />
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ<br />
<br />
“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 27)<br />
Juga firman-Nya:<br />
<br />
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ<br />
<br />
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Ar-Rahman: 15)<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ وَخُلِقَتِ الْجَانُّ مِنْ مَّارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ<br />
<br />
“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan kepada kalian.” (HR. Muslim no. 2996 dari ’Aisyah radhiallahu 'anha)<br />
Adapun Iblis, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentangnya:<br />
<br />
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ<br />
<br />
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (Al-Kahfi: 50)<br />
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Iblis mengkhianati asal penciptaannya, karena dia sesungguhnya diciptakan dari nyala api, sedangkan asal penciptaan malaikat adalah dari cahaya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan di sini bahwa Iblis berasal dari kalangan jin, dalam arti dia diciptakan dari api. Al-Hasan Al-Bashri berkata: ‘Iblis tidak termasuk malaikat sedikitpun. Iblis merupakan asal mula jin, sebagaimana Adam sebagai asal mula manusia’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 3/94)<br />
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu mengatakan: “Iblis adalah abul jin (bapak para jin).” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 406 dan 793)<br />
Sedangkan setan, mereka adalah kalangan jin yang durhaka. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu pernah ditanya tentang perbedaan jin dan setan, beliau menjawab: “Jin itu meliputi setan, namun ada juga yang shalih. Setan diciptakan untuk memalingkan manusia dan menyesatkannya. Adapun yang shalih, mereka berpegang teguh dengan agamanya, memiliki masjid-masjid dan melakukan shalat sebatas yang mereka ketahui ilmunya. Hanya saja mayoritas mereka itu bodoh.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)<br />
<br />
Siapakah Iblis?1<br />
Terjadi perbedaan pendapat dalam hal asal-usul iblis, apakah berasal dari malaikat atau dari jin.<br />
Pendapat pertama menyatakan bahwa iblis berasal dari jenis jin. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu. Beliau menyatakan: “Iblis tidak pernah menjadi golongan malaikat sekejap matapun sama sekali. Dan dia benar-benar asal-usul jin, sebagaimana Adam adalah asal-usul manusia.” (Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsir surat Al-Kahfi ayat 50, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya)<br />
Pendapat ini pula yang tampaknya dikuatkan oleh Ibnu Katsir, Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur‘an (3/215), dan Asy-Syinqithi dalam kitabnya Adhwa`ul Bayan (4/120). Penjelasan tentang dalil pendapat ini beliau sebutkan dalam kitab tersebut. Secara ringkas, dapat disebutkan sebagai berikut:<br />
1. Kema’shuman malaikat dari perbuatan kufur yang dilakukan iblis, sebagaimana firman Allah:<br />
<br />
لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ<br />
<br />
“…yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)<br />
<br />
لاَ يَسْبِقُوْنَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُوْنَ<br />
<br />
“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan, dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (Al-Anbiya`: 27)<br />
2. Dzahir surat Al-Kahfi ayat 50<br />
<br />
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ<br />
<br />
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Rabbnya.”<br />
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa iblis dari jin, dan jin bukanlah malaikat. Ulama yang memegang pendapat ini menyatakan: “Ini adalah nash Al-Qur`an yang tegas dalam masalah yang diperselisihkan ini.” Beliau juga menyatakan: “Dan hujjah yang paling kuat dalam masalah ini adalah hujjah mereka yang berpendapat bahwa iblis bukan dari malaikat.”<br />
Adapun pendapat kedua yang menyatakan bahwa iblis dari malaikat, menurut Al-Qurthubi, adalah pendapat jumhur ulama termasuk Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Alasannya adalah firman Allah:<br />
<br />
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ<br />
<br />
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)<br />
Juga ada alasan-alasan lain berupa beberapa riwayat Israiliyat.<br />
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, insya Allah, karena kuatnya dalil mereka dari ayat-ayat yang jelas.<br />
Adapun alasan pendapat kedua (yakni surat Al-Baqarah ayat 34), sebenarnya ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa iblis dari malaikat. Karena susunan kalimat tersebut adalah susunan istitsna` munqathi’ (yaitu yang dikecualikan tidaklah termasuk jenis yang disebutkan).<br />
Adapun cerita-cerita asal-usul iblis, itu adalah cerita Israiliyat. Ibnu Katsir menyatakan: “Dan dalam masalah ini (asal-usul iblis), banyak yang diriwayatkan dari ulama salaf. Namun mayoritasnya adalah Israiliyat (cerita-cerita dari Bani Israil) yang (sesungguhnya) dinukilkan untuk dikaji –wallahu a’lam–, Allah lebih tahu tentang keadaan mayoritas cerita itu. Dan di antaranya ada yang dipastikan dusta, karena menyelisihi kebenaran yang ada di tangan kita. Dan apa yang ada di dalam Al-Qur`an sudah memadai dari yang selainnya dari berita-berita itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/94)<br />
Asy-Syinqithi menyatakan: “Apa yang disebutkan para ahli tafsir dari sekelompok ulama salaf, seperti Ibnu ‘Abbas dan selainnya, bahwa dahulu iblis termasuk pembesar malaikat, penjaga surga, mengurusi urusan dunia, dan namanya adalah ‘Azazil, ini semua adalah cerita Israiliyat yang tidak bisa dijadikan landasan.” (Adhwa`ul Bayan, 4/120-121)<br />
<br />
Siapakah Setan?2<br />
Setan atau Syaithan (شَيْطَانٌ) dalam bahasa Arab diambil dari kata (شَطَنَ) yang berarti jauh. Ada pula yang mengatakan bahwa itu dari kata (شَاطَ) yang berarti terbakar atau batal. Pendapat yang pertama lebih kuat menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir, sehingga kata Syaithan artinya yang jauh dari kebenaran atau dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala (Al-Misbahul Munir, hal. 313).<br />
Ibnu Jarir menyatakan, syaithan dalam bahasa Arab adalah setiap yang durhaka dari jin, manusia atau hewan, atau dari segala sesuatu.<br />
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا<br />
<br />
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)<br />
(Dalam ayat ini) Allah menjadikan setan dari jenis manusia, seperti halnya setan dari jenis jin. Dan hanyalah setiap yang durhaka disebut setan, karena akhlak dan perbuatannya menyelisihi akhlak dan perbuatan makhluk yang sejenisnya, dan karena jauhnya dari kebaikan. (Tafsir Ibnu Jarir, 1/49)<br />
Ibnu Katsir menyatakan bahwa syaithan adalah semua yang keluar dari tabiat jenisnya dengan kejelekan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127). Lihat juga Al-Qamus Al-Muhith (hal. 1071).<br />
Yang mendukung pendapat ini adalah surat Al-An’am ayat 112:<br />
<br />
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا<br />
<br />
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)<br />
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu 'anhu, ia berkata: Aku datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau berada di masjid. Akupun duduk. Dan beliau menyatakan: “Wahai Abu Dzar apakah kamu sudah shalat?” Aku jawab: “Belum.” Beliau mengatakan: “Bangkit dan shalatlah.” Akupun bangkit dan shalat, lalu aku duduk. Beliau berkata: “Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin.” Abu Dzar berkata: “Wahai Rasulullah, apakah di kalangan manusia ada setan?” Beliau menjawab: “Ya.”<br />
Ibnu Katsir menyatakan setelah menyebutkan beberapa sanad hadits ini: “Inilah jalan-jalan hadits ini. Dan semua jalan-jalan hadits tersebut menunjukkan kuatnya hadits itu dan keshahihannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/172)<br />
Yang mendukung pendapat ini juga hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam riwayat Muslim:<br />
<br />
الْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ شَيْطَانٌ<br />
<br />
“Anjing hitam adalah setan.”<br />
Ibnu Katsir menyatakan: “Maknanya –wallahu a’lam– yaitu setan dari jenis anjing.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)<br />
Ini adalah pendapat Qatadah, Mujahid dan yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani dan Asy-Syinqithi.<br />
Dalam masalah ini ada tafsir lain terhadap ayat itu, tapi itu adalah pendapat yang lemah. (ed)<br />
Ketika membicarakan tentang setan dan tekadnya dalam menyesatkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ. قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِيْنَ. قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِيْنَ<br />
<br />
“Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah aku sampai waktu mereka dibangkitkan’, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.’ Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukumiku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 14-17)<br />
Setan adalah turunan Iblis, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:<br />
<br />
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً<br />
<br />
“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)<br />
Turunan-turunan Iblis yang dimaksud dalam ayat ini adalah setan-setan. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 453)<br />
<br />
Penggambaran Tentang Jin<br />
Al-jinnu berasal dari kata janna syai`un yajunnuhu yang bermakna satarahu (menutupi sesuatu). Maka segala sesuatu yang tertutup berarti tersembunyi. Jadi, jin itu disebut dengan jin karena keadaannya yang tersembunyi.<br />
Jin memiliki roh dan jasad. Dalam hal ini, Syaikhuna Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Jin memiliki roh dan jasad. Hanya saja mereka dapat berubah-ubah bentuk dan menyerupai sosok tertentu, serta mereka bisa masuk dari tempat manapun. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar menutup pintu-pintu sembari beliau mengatakan: ‘Sesungguhnya setan tidak dapat membuka yang tertutup’. Beliau memerintahkan agar kita menutup bejana-bejana dan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala atasnya. Demikian pula bila seseorang masuk ke rumahnya kemudian membaca bismillah, maka setan mengatakan: ‘Tidak ada kesempatan menginap’. Jika seseorang makan dan mengucapkan bismillah, maka setan berkata: ‘Tidak ada kesempatan menginap dan bersantap malam’.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)<br />
Jin bisa berujud seperti manusia dan binatang. Dapat berupa ular dan kalajengking, juga dalam wujud unta, sapi, kambing, kuda, bighal, keledai dan juga burung. Serta bisa berujud Bani Adam seperti waktu setan mendatangi kaum musyrikin dalam bentuk Suraqah bin Malik kala mereka hendak pergi menuju Badr. Mereka dapat berubah-ubah dalam bentuk yang banyak, seperti anjing hitam atau juga kucing hitam. Karena warna hitam itu lebih signifikan bagi kekuatan setan dan mempunyai kekuatan panas. (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 19 dan 23)<br />
Kaum jin memiliki tempat tinggal yang berbeda-beda. Jin yang shalih bertempat tinggal di masjid dan tempat-tempat yang baik. Sedangkan jin yang jahat dan merusak, mereka tinggal di kamar mandi dan tempat-tempat yang kotor. (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)<br />
Tulang dan kotoran hewan adalah makanan jin. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:<br />
<br />
ابْغِنِي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضْ بِهَا وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ. فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍ أَحْمَلُهَا فِي طَرَفِ ثَوْبِي حَتَّى وَضَعْتُهَا إِلَى جَنْبِهِ ثُمَّ انْصَرَفْتُ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مَشَيْتُ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْعَظْمِ وَالرَّوْثَةِ؟ قَالَ: هُمَا مِنْ طَعَامِ الْجِنِّ وَإِنَّهُ أَتَانِي وَفْدُ جِنِّ نَصِيْبِيْنَ وَنِعْمَ الْجِنُّ فَسَأَلُوْنِي الزَّادَ فَدَعَوْتُ اللهَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَمُرُّوا بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ إِلاَّ وَجَدُوا عَلَيْهَا طَعَامًا<br />
<br />
“Carikan beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci dan janganlah engkau carikan tulang dan kotoran hewan.” Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: “Aku pun membawakan untuknya beberapa buah batu dan kusimpan di sampingnya. Lalu aku menjauh hingga beliau menyelesaikan hajatnya.”<br />
Aku bertanya: “Ada apa dengan tulang dan kotoran hewan?”<br />
Beliau menjawab: “Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin, dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Maka aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkan makanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3860 dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dalam riwayat Muslim disebutkan: “Semua tulang yang disebutkan nama Allah padanya”, ed)<br />
<br />
Gambaran Tentang Iblis dan Setan<br />
Iblis adalah wazan dari fi’il, diambil dari asal kata al-iblaas yang bermakna at-tai`as (putus asa) dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
Mereka adalah musuh nomer wahid bagi manusia, musuh bagi Adam dan keturunannya. Dengan kesombongan dan analoginya yang rusak serta kedustaannya, mereka berani menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala saat mereka enggan untuk sujud kepada Adam.<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ<br />
<br />
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)<br />
Malah dengan analoginya yang menyesatkan, Iblis menjawab:<br />
<br />
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ<br />
<br />
“Aku lebih baik darinya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf: 12)<br />
Analogi atau qiyas Iblis ini adalah qiyas yang paling rusak. Qiyas ini adalah qiyas batil karena bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menyuruhnya untuk sujud. Sedangkan qiyas jika berlawanan dengan nash, maka ia menjadi batil karena maksud dari qiyas itu adalah menetapkan hukum yang tidak ada padanya nash, mendekatkan sejumlah perkara kepada yang ada nashnya, sehingga keberadaannya menjadi pengikut bagi nash.<br />
Bila qiyas itu berlawanan dengan nash dan tetap digunakan/ diakui, maka konsekuensinya akan menggugurkan nash. Dan inilah qiyas yang paling jelek!<br />
Sumpah mereka untuk menggoda Bani Adam terus berlangsung sampai hari kiamat setelah mereka berhasil menggoda Abul Basyar (bapak manusia) Adam dan vonis sesat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan kita dengan firman-Nya:<br />
<br />
يَابَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِيْنَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ<br />
<br />
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-A’raf: 27)<br />
Karena setan sebagai musuh kita, maka kita diperintahkan untuk menjadi musuh setan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ<br />
<br />
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu, karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً<br />
<br />
“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)<br />
Semoga kita semua terlindung dari godaan-godaannya. Wal ’ilmu ’indallah.<br />
<br />
</span><br />
<span class="atas">Penulis : Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf</span><span class="tiny"> Syariah, Kajian Utama, 04 - Mei - 2006, 18:38:37</span><span class="content"><b><i> </i></b></span><br />
<span class="content"><b><i>sumber artikel www.asysyariah.com publikasi ulang oleh shalafushshalih.blogspot.com</i></b></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-33972264620443694252010-05-08T07:59:00.000-07:002010-05-12T09:52:41.562-07:00Wajibkah Bermahdzab ?<div align="justify"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S-rS75HOosI/AAAAAAAAAEc/imIIdviVTSo/s1600/atsar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://2.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/S-rS75HOosI/AAAAAAAAAEc/imIIdviVTSo/s200/atsar.jpg" width="200" /></a></div><br />
<i> Redaksi Al Wala’ Wal Bara’</i> </div><div align="justify"><br />
بسم الله الرحمن الرحيم</div><div align="justify"><b>Pertanyaan:<br />
</b></div><div align="justify"></div><div align="justify"><br />
Assalaamu’alaikum:<br />
<br />
<ol><li> Apa hukum bermadzhab (4 imam)?</li>
<li>Apakah Al-Imam Al-Bukhariy mempunyai madzhab (mengikuti salah satu madzhab)? </li>
</ol></div><div align="justify">(Budhi Dharma, the_natural…@yahoo.com)</div><div align="justify"><b>Jawab:<br />
</b></div><div align="justify"></div><div align="justify">Wa’alaikumus salaam warahmatullaah.</div><div align="justify"></div><div align="justify">1. Sesungguhnya kalau kita perhatikan dalil-dalil baik dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah maka tidak ada satupun dalil yang mewajibkan mengikuti madzhab-madzhab tertentu termasuk empat madzhab yang terkenal yaitu Al-Ahnaaf (madzhab Hanafiy), Malikiy, Syafi’i dan Hanaabilah (madzhab Hambaliy). Kita hanya diwajibkan untuk mengikuti dalil baik dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik ummat ini yaitu para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta para ulama yang mengikuti jejak mereka.</div><div align="justify"></div><div align="justify">Allah berfirman:</div><div align="justify"><b><br />
</b><br />
<div align="right"><b>اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ</b></div></div><div align="justify"></div><div align="justify"><i>"Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (daripadanya)."</i> (Al-A’raaf:3)</div><div align="justify"><b><br />
</b><br />
<div align="right"><b>قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ</b></div></div><div align="justify"></div><div align="justify"><i>"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". </i>(Yuusuf:108)</div><div align="justify"></div><div align="justify">Dan ayat-ayat lainnya yang memerintahkan untuk mengikuti dalil dan melarang untuk fanatik kepada kelompok tertentu ataupun individu tertentu.<br />
<br />
Bahkan para imam yang empat tersebut, baik Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, semuanya sepakat <b>melarang taqlid</b> kepada mereka.</div><div align="justify"></div><div align="justify">Al-Imam Abu Hanifah mengatakan: "Apabila hadits itu shahih maka itulah madzhabku."</div><div align="justify"></div><div align="justify">Beliau juga mengatakan: "Tidak halal bagi siapapun mengikuti perkataan kami bila ia tidak mengetahui dari mana kami mengambil sumbernya."<b><br />
</b></div><div align="justify"></div><div align="justify">Al-Imam Malik mengatakan: "Saya hanyalah seorang manusia biasa, terkadang berbuat salah dan terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, ambillah; dan sebaliknya apabila tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah." </div><div align="justify"></div><div align="justify">Beliau juga berkata: "Siapapun orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi (yang wajib diterima)."<b><br />
</b></div><div align="justify"></div><div align="justify">Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: "Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal baginya meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang." </div><div align="justify"></div><div align="justify">Beliau juga berkata: "Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah menurut ahlul hadits, tetapi pendapatku menyelisihinya, maka pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati."</div><div align="justify"></div><div align="justify">Al-Imam Ahmad berkata: "Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari sumber yang telah mereka ambil." </div><div align="justify"></div><div align="justify">Beliau juga berkata: "Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah, berarti dia berada di jurang kehancuran." (Lihat perkataan para imam tersebut dalam Muqaddimah Shifatu Shalaatin Nabiy, karya Asy-Syaikh Al-Albaniy)<br />
<br />
Walaupun demikian, semua kaum muslimin sepakat bahwa mereka adalah para ulama, orang-orang yang mulia, yang patut dijadikan teladan. Bahkan kita mempelajari Dinul Islam melalui bimbingan mereka dari kitab-kitab yang telah mereka tulis.</div><div align="justify"></div><div align="justify">Tidaklah kita bisa mempelajari Dinul Islam dengan benar kecuali melalui bimbingan dan pemahaman para ulama dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam yang mengikuti jejak mereka.</div><div align="justify"></div><div align="justify">Yang dilarang adalah ta’ashshub (fanatik kepada madzhab tertentu). Kalaulah mereka berbeda pendapat dalam suatu masalah maka kita ikuti pendapat yang paling kuat, yang sesuai dengan dalil. Adapun pendapat yang salah maka tidak boleh diikuti dengan tetap kita menghormati mereka sebagai para ulama yang mendapat dua pahala jika benar dan satu pahala jika salah.<br />
<br />
2. Demikian pula Al-Imam Al-Bukhariy, beliau tidak bermadzhab dengan madzhab apapun kecuali madzhabnya ahlul hadits yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, walaupun beliau termasuk salah seorang muridnya Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Yang sesuai dengan dalil, maka itulah yang beliau ikuti. Wallaahu A’lam.</div><div align="justify"></div><div align="justify"><i>Sumber: Buletin Dakwah Al Wala’ Wal bara’ <br />
</i></div><i>Edisi ke-21 Tahun ke-3 / 22 April 2005 M / 13 Rabi’ul Awwal 1426 H</i><br />
<i>sumber : ghuroba.blogsome.com dipublikasi ulang shalafushshalih.blogspot.com</i>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-22545406395082400192010-05-05T07:53:00.000-07:002010-05-05T07:53:39.154-07:00Secercah Harapan dalam Sepenggal Pesan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/SzZI0Ws0kYI/AAAAAAAAAAM/tCuBLu3A6zU/s1600/sky.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="160" src="http://4.bp.blogspot.com/_-NNbktvftPk/SzZI0Ws0kYI/AAAAAAAAAAM/tCuBLu3A6zU/s200/sky.jpg" width="200" /></a></div>بسم الله الرحمن الرحيم<br />
Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran<br />
Sakinah, Permata Hati, 15 - April - 2005, 15:52:34<br />
<br />
<br />
Anak berbeda dengan orang dewasa. Daya pikir dan imajinasinya yang masih sederhana terkadang menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang sifatnya abstrak. Di antaranya, bagaimana mengajari anak untuk senang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejelekan. Namun sesulit apapun, di sana akan selalu ada jalan. Berikut ini bimbingan Islam dalam mengajari anak beramar ma’ruf nahi munkar.<br />
<br />
Anak-anak tumbuh dan berkembang. Tak bisa tidak, mereka pasti akan berhadapan dengan lingkungannya: lingkungan keluarga, lingkungan belajarnya, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Tak selamanya yang tampak dalam lingkungannya adalah kebaikan. Entah suatu saat, suatu kesalahan atau keburukan mungkin akan terjadi di hadapan mereka. Terlebih lagi bagi orang yang memiliki mata hati, kini tampak banyak kerusakan yang tersebar.<br />
Tentu takkan ada yang berharap anak mereka turut jatuh dalam kerusakan itu. Bahkan mestinya setiap ayah dan ibu berharap anak mereka terjauh dari semua itu. Lebih dari itu, mestinya setiap ayah dan ibu berharap agar buah hati mereka mampu mengubah keburukan menjadi kebaikan, sesuai kemampuan yang ada pada mereka.<br />
Inilah pula yang diharapkan oleh Luqman ketika dia berpesan kepada anaknya:<br />
<br />
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ<br />
<br />
“Dan perintahkanlah manusia untuk melakukan kebaikan dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar…”(Luqman: 17)<br />
Demikianlah Luqman Al-Hakim mengajarkan kepada anaknya untuk memerintahkan manusia melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran sejauh kemampuan dan kesungguhannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/194). Demikian pula yang semestinya diajarkan kepada anak-anak.<br />
Begitu pun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar tidak berdiam diri ketika melihat kemungkaran terjadi, sebagaimana perintah ini disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu 'anhu:<br />
<br />
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِساَنِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْماَنِ<br />
<br />
“Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Apabila dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu, hendaknya dia ingkari dengan hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim no. 49)<br />
Semestinya orang tua mengajarkan kepada anak-anak hal-hal yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Juga diajarkan, apakah amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan itu akan menggiring pada kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang didapati tersebut ataukah tidak. Apabila ternyata akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka semestinya amar ma’ruf nahi mungkar itu ditunda penunaiannya hingga suatu saat, ketika kebaikan akan terwujud tanpa ada madharat ataupun madharat yang ada lebih ringan. (Fiqh Tarbiyatil Abna, hal. 204)<br />
Memerintahkan manusia pada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran akan senantiasa mendapatkan gangguan. Untuk itu, anak-anak didorong untuk bersabar dalam menghadapi segala ujian dan hal-hal yang memberatkan jiwa yang didapati ketika menunaikan kewajiban ini, sebagaimana dorongan Luqman. Dia menasihatkan kepada anaknya:<br />
<br />
وَاصْبِرْ عَلَى ماَ أَصاَبَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ<br />
<br />
“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang dikokohkan dan harus diperhatikan.” (Luqman: 17)<br />
Ini pula pengajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma:<br />
<br />
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخاَلِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لاَ يُخاَلِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ<br />
<br />
“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300: Shahih)<br />
Dalam ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini tergambar keutamaan seseorang yang bergaul dengan manusia disertai menyuruh mereka untuk berbuat kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran serta bermuamalah dengan baik terhadap mereka. Orang seperti ini lebih mulia daripada orang yang mengasingkan diri dari manusia dan tidak mau bersabar dalam pergaulannya dengan mereka. (Subulus Salam, 4/320)<br />
Anak-anak diajarkan pula untuk berlemah lembut di kala memerintahkan orang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Hal ini sebagaimana dikatakan, “Hendaklah perintahmu pada kebaikan dilakukan dengan kebaikan dan laranganmu dari kemungkaran bukan dengan kemungkaran.” (Makarimul Akhlaq, hal. 57)<br />
Demikian selayaknya yang dilakukan seseorang yang menunaikan amar ma’ruf nahi mungkar, karena akan lebih mudah mencapai tujuan. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menasihatkan, “Siapa yang menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, berarti dia telah menasihati dan menghiasinya. Dan siapa yang menasihati secara terang-terangan, berarti dia telah membuka aibnya dan menjelek-jelekkannya.” (Syarh Shahih Muslim, 2/24)<br />
Tentu saja, seseorang harus mengetahui hal-hal yang ma’ruf agar dia dapat menyuruh manusia melakukannya, dan harus pula mengetahui kemungkaran agar dia dapat mencegah mereka darinya (Taisirul Karimir Rahman, hal. 649). Hal ini ditempuh dengan mempelajari dan memahami agama. Barulah ia menegakkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar ini. (Wujubul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, hal. 25)<br />
Oleh karena itu, sudah semestinya orang tua mendorong anak-anak mereka untuk mempelajari dan memahami agama. Karena mempelajari dan memahami agama itu sendiri merupakan tanda di mana seseorang akan meraih kebahagiaan dan ini pun menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki kebaikan pada dirinya. Demikian dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan disampaikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu 'anhuma ketika berkhutbah di atas mimbar:<br />
<br />
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ<br />
<br />
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan memahamkannya terhadap agama.” (HR Muslim no. 1037)<br />
Hendaknya orang tua membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu dan memberikan semangat agar mereka bersungguh-sungguh menempuh jalan untuk menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih, karena jalan ini akan menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berujung kepada jannah-Nya yang kekal abadi.<br />
Benarlah janji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:<br />
<br />
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ<br />
<br />
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim no. 2699)<br />
Siapa kiranya yang tidak mendambakan kebaikan dan keberuntungan bagi anak-anak mereka, sebagaimana dikabarkan oleh Rabb semesta alam:<br />
<br />
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ<br />
<br />
“Dan hendaklah di antara kalian ada suatu kaum yang menyeru pada kebaikan, memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)<br />
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.<br />
<br />
<span style="font-size: x-small;"><b><i>sumber : www.asysyariah.com publikasi ulang shalafushshalih.blogspot.com</i></b></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-86883885630099698362010-05-04T08:14:00.000-07:002010-05-04T08:37:44.244-07:00Shifat Al Ghuraba’<title>BAB 26 : Shifat Al Ghuraba’</title> <br />
<div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">Al Fudlail bin Iyyadl berkata :</span></span><span style="color: #010101;"></span></div><div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">“Ikutilah jalan-jalan petunjuk! Dan tidak akan merugikanmu meskipun sedikit orang yang menempuhnya. Sebaliknya jauhilah jalan-jalan kesesatan! Dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang celaka di dalamnya.” (Al I’tisham 1/112)</span></span><span style="color: #010101;"></span></div><div align="left"><br />
</div><span style="color: #010101;"> </span><br />
<div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;"> Al Hasan Al Bashry berkata :</span></span></div><div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">“Amal yang sedikit dalam Sunnah lebih baik daripada amalan yang banyak di dalam bid’ah.” (Tahdzibut Tahdzib 10/180)</span></span><span style="color: #010101;"></span></div><div align="left"><br />
</div><span style="color: #010101;"> </span><br />
<div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">Beliau juga berkata :</span></span></div><div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">“Wahai Ahlus Sunnah, berteman baiklah kalian! --Semoga Allah merahmati kamu-- sesunggguhnya kalian adalah kelompok manusia yang sangat sedikit jumlahnya.” (Al Lalikai 1/57 nomor 19)</span></span><span style="color: #010101;"></span></div><div align="left"><br />
</div><span style="color: #010101;"> </span><br />
<div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">Dari Yunus bin Ubaid ia berkata :</span></span></div><div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">“Seorang yang disampaikan kepadanya As Sunnah kemudian menerimanya akhirnya menjadi orang yang asing namun lebih asing lagi adalah yang menyampaikannya. (Beruntunglah orang-orang yang asing, pent.).” (Al Lalikai 1/58 nomor 21 dan Al Hilyah Abu Nu’aim 3/12)</span></span><span style="color: #010101;"></span></div><div align="left"><br />
</div><span style="color: #010101;"> </span><br />
<div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">Abu Idris Al Khulaniy berkata :</span></span></div><div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">“Saya mendengar bahwa dalam Islam ini terdapat tali tempat bergantung manusia dan tali itu akan terurai seutas demi seutas tali maka yang pertama terlepas dari tali itu adalah sifat halim (lemah-lembut) dan yang paling akhir adalah shalat.” (Ibnu Wudldlah 73)</span></span><span style="color: #010101;"></span></div><div align="left"><br />
</div><span style="color: #010101;"> </span><br />
<div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">Dari Ibnul Mubarak dari Sufyan Ats Tsauri ia berkata :</span></span></div><div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">“Berwasiatlah kamu terhadap Ahlis Sunnah dengan kebaikan karena sesungguhnya mereka adalah Ghuraba’ (orang-orang yang asing).” (Al Lalikai 1/644 nomor 49-50)</span></span><span style="color: #010101;"></span></div><div align="left"><br />
</div><span style="color: #010101;"> </span><br />
<div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">Dari Yusuf bin Asbath ia berkata, saya mendengar Sufyan Ats Tsauri berkata :</span></span></div><div align="left"><span style="color: #010101; font-family: Verdana;"><span style="font-size: 10pt;">“Jika kamu mendengar berita bahwa di belahan bumi timur ada seorang Ahli Sunnah dan di barat ada seorang Ahli Sunnah, kirimkanlah salam buat keduanya dan doakan kebaikan untuk mereka! Sungguh alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah itu.” (Ibid)</span></span></div><div align="left"></div><span style="font-size: x-small;"><i><b>sumber : ebook Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah/BAB 26/Shifat Al Ghuraba’/Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi --hafidhahullahu--</b></i></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-43657376957938998122010-05-04T07:56:00.000-07:002010-05-04T07:56:01.546-07:00Perintah Komitmen Dengan Jamaah Muslimin dan Imam Mereka Serta Peringatan Bahayanya Perpecahanبسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Barangsiapa yang memisahkan diri dari Al Jamaah sejengkal saja maka ia telah menanggalkan ikatan Islam dari lehernya.” (As Sunnah Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Syaikh Al Albani 892 dan 1053)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Barangsiapa yang mati tanpa mempunyai imam maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (As Sunnah Ibnu Abi Ashim dihasankan Syaikh Al Albani 1057)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Tetaplah kamu bersama Al Jamaah dan jauhilah perpecahan, sesungguhnya syaithan selalu bersama orang yang sendirian dan ia lebih jauh dari yang berdua dan siapa yang ingin tinggal di tengah-tengah kebun surga maka hendaknya tetap berpegang dengan Al Jamaah.” (Shahih As Sunnah Ibnu Abi Ashim 88)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Berjamaah itu rahmat dan perpecahan itu adzab.” (Hadits hasan dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 93)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan Al Jamaah maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 93 dan 1064)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Tiga hal yang tidak ditanya dari mereka yaitu seseorang yang memisahkan diri dari Al Jamaah dan orang yang mendurhakai imamnya dan mati dalam keadaan maksiat.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 89, 100, dan 1060)<br />
<br />
Mu’adz bin Jabal radliyallahu 'anhu berkata :<br />
“Tangan Allah ada di atas Al Jamaah, maka siapa menyimpang maka Allah tidak akan mempedulikan dia dengan penyimpangannya itu.” (Al Ibanah 1/289 nomor 119)<br />
<br />
Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata :<br />
“Hai manusia, tetaplah kalian taat dan berada dalam Al Jamaah karena sesungguhnya itu adalah tali Allah yang Ia perintahkan berpegang dengannya dan sesungguhnya apapun yang tidak disukai dalam jamaah jauh lebih baik daripada apapun yang disukai di dalam perpecahan.” (Al Ibanah 1/297 nomor 133)<br />
<br />
Al Auza’i berkata :<br />
“Dikatakan bahwa terdapat lima hal yang shahabat Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para tabi’in di atasnya, di antaranya menetapi Al Jamaah.” (Al Lalikai 1/64 nomor 48)<br />
<br />
<br />
<span style="font-size: x-small;"><i><b>sumber : ebook Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah/BAB 2/Perintah Komitmen Dengan Jamaah Muslimin dan Imam Mereka Serta Peringatan Bahayanya Perpecahan /Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi --hafidhahullahu-- </b></i></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-30442202046006400722010-05-04T07:50:00.000-07:002010-05-04T07:50:34.864-07:00Sebab-Sebab Hilangnya Agamaبسم الله الرحمن الرحيم <br />
<br />
Abdullah bin Ad Dailamy berkata :<br />
“Sesungguhnya sebab pertama hilangnya agama ini adalah meninggalkan As Sunnah. Agama ini akan hilang sunnah demi sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas.” (Al Lalikai 1/93 nomor 127, Ad Darimy 1/58 nomor 97, dan Ibnu Wadldlah dalam Al Bida’ 73)<br />
<br />
Ia juga berkata, saya mendengar Amru berkata :<br />
“Tidaklah dilakukan suatu bid’ah melainkan akan bertambah cepat berkembangnya dan tidaklah ditinggalkan As Sunnah kecuali bertambah cepat hilangnya.” (Al Lalikai 1/93 nomor 128 dan Ibnu Wadldlah 73)<br />
<br />
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu 'anhu ia berkata :<br />
“Ketahuilah hendaknya jangan satupun dari kalian bertaqlid kepada siapapun dalam perkara agamamu sehingga (bila) ia beriman ikut beriman bila ia kafir ikut pula menjadi kafir. Maka jika kamu tetap ingin berteladan maka ambillah contoh dari yang telah mati sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah.” (Al Lalikai 1/93 nomor 130 dan Al Haitsamy dalam Al Majma’ 1/180)<br />
<br />
Al Auza’i menyebutkan dari Hassan bin Athiyyah, ia berkata :<br />
“Tidaklah suatu kaum berbuat satu bid’ah dalam Dien mereka melainkan Allah cabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya dan tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat.” (Ad Darimy 1/58 nomor 98)<br />
<br />
Dari Yunus bin Zaid dari Az Zuhri ia berkata :<br />
“Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As Sunnah itu adalah keselamatan dan ilmu akan tercabut dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedang dengan hilangnya ilmu hilang pula semuanya.” (Ad Darimy 1/58 nomor 16)<br />
<br />
dinukil : ebook Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah/BAB 7/Sebab-Sebab Hilangnya Agama/Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi --hafidhahullahu--Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-36430622628963195002010-05-04T07:46:00.000-07:002010-05-04T07:46:05.097-07:00Perintah Mentaati Dan Memuliakan Penguasa Serta Tidak Memberontak Kepadanyaبسم الله الرحمن الرحيم <br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Meskipun kamu diperintah oleh budak Habsyi yang (jelek) terpotong hidungnya tetaplah kamu mendengar dan mentaatinya selama ia memimpinmu dengan Kitab Allah.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1062)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Barangsiapa yang mentaatiku berarti ia mentaati Allah dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka ia bermaksiat kepada Allah dan siapa yang taat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) berarti ia mentaatiku dan siapa yang bermaksiat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) maka ia berarti bermaksiat kepadaku dan amirnya adalah tameng.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1065- 1068)<br />
(Menurut Imam Al Qurthuby yang dinukil oleh Imam As Suyuthi dalam Kitab Az Zahrur Riba, arti tameng di sini adalah ia (amir itu) diikuti pendapat dan pandangannya dalam beberapa peraturan dalam menghadapi keadaan yang mengkhawatirkan, pent.)<br />
<br />
Dari Ady bin Hatim ia berkata, kami berkata :<br />
“Ya Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertaqwa tapi (bagaimana) terhadap orang yang berbuat begini dan begitu -- ia menyebut berbagai kejelekan--.” Beliau berkata : “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan tetaplah kamu mendengar dan mentaatinya.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1069)<br />
<br />
Dari Abi Sa’id Al Khudri ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Akan ada nanti para pemimpin yang kulit menjadi lunak terhadap mereka sedangkan hati tidak tenteram kemudian akan ada pula para pemimpin yang hati manusia gemetar karena mereka dan bulu kuduk berdiri karena (takut) kepada mereka.” Lalu ada yang bertanya : “Ya Rasulullah apakah tidak diperangi saja mereka?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Tidak, selama mereka menegakkan shalat.” (Ibid nomor 1077)<br />
<br />
Dari Abu Dzar radliyallahu 'anhu ia berkata :<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendatangiku ketika saya di mesjid lalu beliau menyentuhku dengan kakinya dan bersabda : “Apakah kamu sedang tidur di tempat ini?” Saya menjawab : “Wahai Rasulullah, mataku mengalahkanku.” Beliau bersabda : “Bagaimana jika kamu diusir dari sini?” Maka saya menjawab : “Sungguh saya akan memilih tanah Syam yang suci dan diberkahi.” Beliau bertanya lagi : “Bagaimana jika kamu diusir dari Syam?” Saya berkata : “Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya perangi dia, ya Rasulullah?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Maukah aku tunjukkan jalan yang lebih baik dari tindakan itu dan lebih dekat kepada petunjuk --beliau ulangi dua kali--? Yaitu kamu dengar dan taati, kamu akan digiring kemanapun mereka menggiringmu.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1074)<br />
<br />
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan ia berkata, ketika Abu Dzar keluar menuju Rabdzah, serombongan pengendara dari Iraq menemuinya lalu berkata :<br />
“Hai Abu Dzar, apa yang menimpamu telah sampai kepada kami, pancangkanlah bendera jihad (berontak) niscaya akan datang kepadamu orang- orang berapapun kamu kehendaki.” Ia berkata : [Tenanglah hai kaum Muslimin, sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Akan ada sesudahku nanti penguasa maka hormatilah dia, barangsiapa yang mencari-cari kesalahannya maka ia berarti benar-benar merobohkan sendi-sendi Islam dan tidak akan diterima taubatnya sampai mengembalikannya seperti semula.”] (Ibid nomor 1079)<br />
<br />
Dari Qathn Abul Haitsami ia berkata bahwa Abu Ghalib bercerita kepada kami, saya berada di sisi Abu Umamah ketika seseorang berkata kepadanya :<br />
“Apa pendapat Anda mengenai ayat :<br />
Dia-lah yang telah menurunkan kepadamu Al Kitab di antaranya (berisi) ayat-ayat yang muhkam itulah Ummul Kitab dan ayat lainnya adalah ayat mutasyabihat. Maka adapun orng-orang yang dalam hati mereka ada zaigh (condong kepada kesesatan) maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat. (QS. Ali Imran : 7)<br />
Siapakah mereka (orang yang di hatinya terdapat zaigh) ini?” Ia berkata : “Mereka adalah Khawarij, --beliau melanjutkan-- dan tetaplah kamu beriltizam (komitmen) dengan As Sawadul A’zham.” Saya berkata : “Engkau telah mengetahui apa yang ada pada mereka (penguasa).” Ia menjawab : “Kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu, taatilah mereka niscaya kamu akan mendapat petunjuk.” (As Sunnah Ibnu Nashr 22 nomor 55)<br />
<br />
Dari Daud bin Abil Furat ia berkata, Abu Ghalib bercerita kepadaku bahwa Abu Umamah bercerita bahwa Bani Israil terpecah menjadi 71 golongan dan ummat ini lebih banyak satu golongan dari mereka, semua di neraka kecuali As Sawadul A'zham, yakni Al Jamaah. Saya berkata :<br />
“Terkadang dapat diketahui apa yang ada pada As Sawadul A'zham --di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan--.” Ia berkata : “Ketahuilah, sungguh demi Allah saya benar-benar tidak suka perbuatan mereka namun bagi kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajibanmu adalah apa yang dibebankan kepadamu, di samping itu mendengar dan taat kepada mereka lebih baik daripada durhaka dan bermaksiat kepada mereka.” (Ibid nomor 56)<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
“Barangsiapa yang memuliakan penguasa (yang dijadikan) Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi di dunia maka Allah memuliakannya pada hari kiamat dan siapa yang menghinakan penguasa Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi di dunia maka Allah hinakan dia pada hari kiamat.” (Ash Shahihah Al Albani 2297)<br />
<br />
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :<br />
“Lima perkara, barangsiapa yang mengamalkan salah satunya ia mendapat jaminan dari Allah Azza wa Jalla, yaitu (antara lain) barangsiapa yang masuk kepada imam (pemimpinnya) untuk memuliakan dan menghormatinya.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1021)<br />
<br />
Dari Ubadah bin Ash Shamit radliyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (beliau) bersabda :<br />
“Dengar dan taatilah mereka baik --dalam-- kesulitan atau kemudahan, gembira dan tidak suka, dan (meskipun) mereka bersikap egois (sewenang-wenang) terhadapmu, walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu.” (Ibid, dishahihkan Al Albani 1026)<br />
<br />
Dari Rabi’i bin Harrasy ia berkata, saya mendatangi Hudzaifah radliyallahu 'anhu di Madain pada malam hari ketika banyak orang yang mendatangi Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu maka ia berkata :<br />
“Hai Rabi’i! Apa yang dilakukan kaummu?” Saya menjawab : “Tentang kejadian mana yang Anda tanyakan?” Ia berkata : “Tentang siapa di antara mereka yang keluar (unjuk rasa/memberontak) kepada orang itu (Utsman)?” Maka saya sebutkan nama-nama beberapa orang di antara mereka. Lalu kata Hudzaifah : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br />
Barangsiapa yang memisahkan diri dari Al Jamaah dan merendahkan pemerintah maka ia akan menemui Allah Azza wa Jalla dalam keadaan tidak mempunyai muka lagi --dalam lafaz Adz Dzahabi, tidak mempunyai hujjah--.” (HR. Ahmad 5/387, Al Hakim menshahihkannya, dan disetujui Adz Dzahabi 1/119)<br />
<br />
Imam Al Barbahary berkata, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :<br />
“Dengar dan taatilah para pemimpin dalam perkara yang dicintai dan diridlai Allah! Dan siapa yang diserahi jabatan kekhalifahan dengan kesepakatan dan keridlaan manusia kepadanya maka ia adalah Amirul Mukminin. Tidak halal bagi siapapun untuk berdiam satu malam dalam keadaan tidak menganggap adanya imam baik orang yang shalih ataupun durhaka.” (Thabaqat Hanabilah 2/21 dan Syarhus Sunnah 77-78)<br />
Kata Syaikh Jamal bin Farihan, ijma’ (kesepakatan manusia dan keridlaan mereka) di sini maksudnya adalah manusia dari kalangan Ahlul Hali wal ‘Aqdi (ulama mujtahid) bukan seluruh rakyat yang di dalamnya banyak terdapat orang-orang yang bodoh. Maka perhatikanlah hal ini!<br />
<br />
Kata beliau (dalam Syarhus Sunnah hal 77-78) :<br />
“Barangsiapa yang keluar (demonstrasi/memberontak) kepada imam kaum Muslimin maka ia Khawarij dan sungguh mereka telah mematahkan tongkatnya kaum Muslimin, menyelisihi atsar maka mereka mati dalam keadaan jahiliyyah.”<br />
<br />
Dan kata beliau lagi :<br />
“Tidak halal memerangi (memberontak) kepada penguasa dan keluar (demonstrasi) terhadap mereka meskipun mereka jahat karena tidak ada dalam As Sunnah (tuntunan) memerangi penguasa sebab yang demikian mengakibatkan kerusakan dunia dan agama.”<br />
<br />
<span style="font-size: x-small;"><b><i>sumber : ebook Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah/BAB3/Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi --hafidhahullahu--</i></b></span>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2259967152958450804.post-28105060830680088092010-05-04T07:39:00.000-07:002010-05-04T07:39:50.799-07:00TIPS SALAFUS SHALEH DALAM MEMILIH PASANGAN HIDUPبسم الله الرحمن الرحيم<br />
<br />
Disebutkan dalam kitab “tahdzibul kamaal” karya Al-Hafizh Al-Mizzi:<br />
<br />
Berkata Yahya bin Yahya An-Naisaburi: suatu ketika aku berada di sisi Sufyan bin Uyainah, tiba-tiba ada seorang lelaki datang lalu berkata: Wahai Abu Muhammad! Aku mengeluhkan kepadamu perihal fulanah –isterinya, saya orang yang paling hina dan rendah menurutnya!<br />
<br />
Maka Sufyan diam beberapa saat, lalu mengangkat kepalanya dan berkata: jangan- jangan engkau sangat berharap kepadanya sehingga menjadikannya semakin merasa tinggi?<br />
<br />
Ia menjawab: benar demikian wahai Abu Muhammad,!<br />
<br />
Berkata Sufyan:<br />
<br />
من ذهب إلى العز ابتلي بالذل، ومن ذهب إلى المال ابتلي بالفقر، ومن ذهب إلى الدين يجمع الله له العز والمال مع الدين<br />
<br />
“Siapa yang mencari kemuliaan (dengan nasab keturunan), maka dia akan ditimpa musibah kehinaan, dan siapa yang mencari harta, maka dia akan ditimpa kemiskinan, dan siapa yang mencari agama, maka Allah mengumpulkan untuknya kemuliaan, harta, sekaligus agama.”<br />
<br />
Lalu Beliau mulai bercerita:<br />
<br />
“Kami empat bersaudara: Muhammad, Imran, Ibrahim dan saya sendiri. Muhammad yang tertua diantara kami sedangkan Imran adalah yang bungsu, aku pertengahan diantara mereka.Tatkala Muhammad ingin menikah, dia ingin mencari wanita berketurunan bangsawan, maka diapun menikahi wanita yang lebih mulia nasab keturunannya dibanding dirinya, maka Allah menimpakan musibah kehinaan kepadanya. Adapun Imran menginginkan harta, maka dia menikahi wanita yang lebih kaya darinya, maka Allah menimpakan kemiskinan kepadanya, dimana keluarga wanita itu mengambil semua miliknya dan tidak menyisakan sama sekali untuknya!. Akupun memperhatikan keadaan keduanya, lalu datanglah Ma’mar bin Rasyid kepada kami, maka akupun meminta pendapatnya sambil aku menceritakan kisah kedua saudaraku. Maka Beliaupun mengingatkan aku hadits<br />
<br />
Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah. Adapun hadits Yahya bin Ja’dah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:<br />
<br />
تنكح المرأة على أربع: دينها، وحسبها، ومالها، وجمالها، فعليك بذات الدين تربت يداك ".<br />
<br />
“Wanita dinikahi karena empat hal: agamanya,keturunannya, hartanya dan kecantikannya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, (jika tidak) maka celaka engkau.”<br />
<br />
Dan hadits Aisyah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:<br />
<br />
" أعظم النساء بركة أيسرهن مؤنة<br />
<br />
“wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling mudah maharnya.”<br />
<br />
Maka akupun memilih untuk diriku waniita yang memiliki agama dan mahar yang ringan sebagai wujud mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka Allah Ta’ala menganugerahkan kepadaku kemuliaan, harta sekaligus agama.”<br />
<br />
<i><span style="font-size: x-small;"><span style="color: black;">sumber: </span></span></i><a href="http://sahab.net/forums/showthread.php?t=376334" onmousedown="UntrustedLink.bootstrap($(this), "d7f7d", event);" rel="nofollow" target="_blank"><i><span style="font-size: x-small;"><span style="color: black;">http://sahab.net Publikasi ulang shalafushshalih.blogspot.com</span></span></i></a>Abu Naizarhttp://www.blogger.com/profile/00826522621385569759noreply@blogger.com0