“Allah angkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan yang diberikan ilmu di antara mereka.” [Al-Mujadilah: 11]

Rabu, 26 Mei 2010

Ghibah, Haram Tapi Diminati

بسم الله الرحمن الرحيم

Ghibah atau dalam bahasa sehari-hari biasa disebut ‘gosip’ atau ‘ngrumpi’, adalah aktivitas yang ‘luar biasa mengasyikkan’. Bagaimana tidak, kita sudah melihat banyak orang yang terjatuh dalam perbuatan ini baik secara sadar ataupun tidak. Syaithan telah begitu indah menghiasi perbuatan ini, jadi terkadang sekelompok orang yang sedang berghibah tentang saudaranya sambil tertawa-tawa, tidak sedikitpun menyadari bahwa mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.

Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam lembah maksiat adalah lisan. Sungguh betapa ringan rasanya jika lisan digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Dan rasakan pula betapa beratnya mengajak lisan untuk taat kepada Allah. Demikianlah hakikat lisan, sebagaimana dikatakan Abu Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui rasa asinnya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan menjadi sangat tanggap pula apabila melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah lidah itu tak bertulang.”

Jika kita ingin mengetahui isi hati seseorang, maka cukuplah kita memperhatikan lisannya. Karena ucapan lisan akan menunjukkan isi hati seseorang, baik hal ini diakuinya atau tidak. Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Hati adalah laksana periuk yang mendidihkan isi yang ada didalamnya. Lisan laksana gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang sedang berbicara. Karena lisannya akan menuangkan isi hatinya, manis, masam, segar, sangat asin ataukah rasa yang lain. Akan jelas bagi kita rasa hatinya dengan gayung lisannya.”[1]

Kekejian Berupa Memakan Bangkai Saudara Sendiri
Ghibah adalah salah satu dari sekian banyak penyakit lisan yang berbahaya dan kini telah merebak luas di kalangan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan ghibah dengan sabda beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله أعلم, قال: ذكرك أخاك بما يكره, قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول, قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتيته وإن لم يكن فيه فقد بهته
“’Apakah kalian tahu apakah ghibah itu?’ Mereka mengatakan: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Nabi bersabda: ‘Membicarakan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.’ Ada orang yang bertanya: ‘Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar ada pada dirinya?’ Beliau menjawab: ‘Jika apa yang kau katakan itu benar ada pada dirinya, maka berarti kamu telah mengghibahinya. Namun jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada dirinya maka kamu telah berdusta atasnya (memfitnahnya).” [Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2000), lihat juga Syarah Nawawi fi Shahih Muslim (XVI/142)]

Dan Allah juga telah mengisyaratkan para pelaku ghibah sebagai orang-orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri, dalam firman-Nya:
يـأيهـا الذين ءامنوا الجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا, أيحب أحدكم أن يأكل لحم إخيه ميتـافكر هتموه, والتـقـو الله, إن الله تواب رحيم
“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Imam an-Nawawi mendefinisikan ghibah dengan berkata, ”Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan, akhlak, harta, anak, istri, pembantu, gaya, ekspresi rasa senang, rasa duka dan sebagainya yang berkaitan dengan dirinya, baik dengan kata-kata yang gamblang, isyarat, maupun dengan kode.”[2]

Ghibah tidaklah hanya dengan kata-kata saja, akan tetapi seluruh perbuatan yang menyebabkan orang lain bisa faham terhadap hal yang tidak disukai oleh orang yang dighibahi/dipergunjingkan, meskipun berupa sindiran, perbuatan, isyarat, kedipan mata, celaan, tulisan dan segala sesuatu yang mampu menjelaskan maksud yang diinginkan. Semisal meniru gaya berjalan seseorang. Itu semua termasuk ghibah bahkan lebih berbahaya daripada ghibah dengan kata-kata karena perbuatan tersebut mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang lebih gamblang.[3]
‘Aisyah berkata: “Aku menirukan gerakan seseorang di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata,
ما أحب أني حكيت إنسا نا و أن لي كذا وكذا
“Aku tidak suka menirukan gerakan seseorang meski aku mendapatkan upah sekian dan sekian banyaknya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223), lihat juga Shahihul Jami’ (V/31)]

Ghibah adalah Dosa Besar
Dari penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ghibah adalah menceritakan keadaan atau perkara seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Namun, tidak jarang dalam pembicaraan itu ada bagian-bagian yang ditambah atau dikurangi, dan apabila yang dibicarakan ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka orang berbicara ini dikenai dosa sebagai seorang pendusta.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan dalam hal yang maslahatnya lebih kuat, seperti dalam masalah jarh wat ta’dil (menerangkan kualitas perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang tidak baik akhlaknya meminta izin untuk bertemu dengan beliau, maka beliau berkata,
ائـذنوا له بئس أخو العشيرة
“Berikan izin untuknya, dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.”[4]
Juga seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais ketika dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm[5], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (yakni suka memukul).”[6]

Ghibah jelas merupakan perbuatan yang haram dan terlarang, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
يـأيهـا الذين ءامنوا الجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا, أيحب أحدكم أن يأكل لحم إخيه ميتـافكر هتموه, والتـقـو الله, إن الله تواب رحيم
“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan kepada kita tentang larangan ghibah sekaligus ancaman bagi orang yang melakukan ghibah,
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لماعرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم, فقلت: من هؤلاء يا جبريل؟ قال: هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم
“’Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan sekelompok orang yang kukunya terbuat dari tembaga lalu mereka mencakar muka dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (melakukan ghibah) dan melanggar kehormatan orang lain.” [Riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/224), hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi hal. 29. Lihat juga Shahihul Jami’ (V/51)]

Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يا معشر من امن بلسانه ولم يد خل الإيمان قلبه لا تغتا بوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم, فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته, ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته
“Wahai sekalian orang yang baru beriman di mulut saja, yang keimanan itu belum masuk ke dalam relung hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin atau mencari-cari kejelekannya. Sesungguhnya orang-orang yang mencari-cari kejelekan orang beriman maka Allah akan mencari-cari kejelekannya. Barang siapa yang kejelekannya dicari-cari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dirinya di rumahnya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud (IV/270) dan Ahmad (IV/421, 424). Lihat juga Shahihul Jami’ (VI/308 no. 3549)]

Hadits di atas mengingatkan bahwa menggunjing seorang muslim termasuk ciri khas orang munafik, bukan ciri orang mukmin. Di dalam hadits tersebut Allah mengancam akan membuka aib orang-orang yang mencari-cari kejelekan kaum muslimin. Allah membalas mereka disebabkan oleh perbuatan buruk yang mereka lakukan. Allah akan menyingkap kejelekan-kejelekan mereka walaupun mereka berada di dalam rumah. Laa hawla wa laa quwwata illa billah...[7]

Sikap Ketika Mendengar Ghibah
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, hal yang seharusnya dilakukan seseorang yang mendengar seorang muslim dipergunjingkan, maka hendaklah dia mencegah dan menghentikan pembicaraan itu. Andaikan orang yang menggunjing itu tidak mau berhenti setelah diingatkan dengan kata-kata, maka hendaklah diingatkan dengan tangan. Seandainya orang yang mendengar ghibah tadi tidak mampu mengingatkan dengan tangan maupun dengan lisan, maka hendaklah dia meninggalkan tempat itu. Apabila dia mendengar gurunya, orang yang berjasa kepada dirinya atau orang yang memiliki kelebihan dan keshalihan dipergunjingkan maka hendaknya ada perhatian lebih terhadap apa yang telah dijelaskan di atas.[8]

Telah datang riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah dan Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وما من امرئ ينصر مسلما في موضع ينتـقص فيه من عرضه وينتهـك فيه من حرمته إلا نصره الله في موطن يحب نصرته
“Barang siapa yang tidak membela saudaranya sesama muslim pada saat kehormatan dan harga dirinya dilecehkan, maka Allah pasti tidak akan membelanya pada saat pertolongan Allah sangat diharapkan.” [Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/271) dan Ahmad dalam Musnad-nya (IV/30). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (V/160)]

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
من رد عن عرض أخيه رد الله عن وجهه النار يوم القيامة
“Barang siapa membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka pada Hari Kiamat.” [Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/450) dan Tirmidzi (IV/327). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (V/295)]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
من ذب عن لحم أخيه بالغيبة كان حقا على الله أن يعتقه من النار
“Barang siapa membela daging (kehormatan) saudaranya dari gunjingan orang lain, maka Allah pasti akan membebaskannya dari Neraka.”[Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/461). Lihat juga Shahihul Jami’ (V/290 no. 6116)]

Ghibah yang Diperbolehkan
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan[9], “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i, yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya, yakni dengan enam perkara:
1. Ketika terzhalimi. Orang yang dizhalimi (dianiaya) boleh mengadukan orang yang menzhaliminya kepada qadhi, hakim, penguasa, atau pihak berwajib.
2. Meminta bantuan untuk merubah dan menghilangkan kemungkaran dan menyadarkan pelaku maksiat agar kembali ke jalan yang benar.
3. Meminta fatwa kepada mufti dengan menjelaskan kondisi atau keadaan orang lain dengan maksud agar mufti memahami keadaan dan duduk perkara yang sebenarnya terjadi.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari bahaya. Contoh ghibah yang diperbolehkan dalam hal ini adalah kritik terhadap perawi hadits (jarh wat ta’dil); menceritakan kekurangan seseorang ketika dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting (seperti pernikahan); jika melihat barang yang cacat atau budak yang suka mencuri atau suka mabuk, kita mengingatkan pembeli dengan maksud memberi nasihat dan bukan untuk mengacaukan transaksi jual beli dan merugikan pihak penjual; menasihati orang yang menimba ilmu kepada orang fasiq atau ahli bid’ah dan dikhawatirkan orang tersebut akan terpengaruh, maka kita menasihatinya dengan menjelaskan keadaan gurunya yang sebenarnya; apabila kita melihat seseorang yang tidak amanah dalam memegang jabatannya atau tugasnya dan selalu melanggar aturan agama, maka kita dapat melaporkannya kepada atasannya dengan menjelaskan keadaaan yang sebenarnya.
5. Orang-orang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Dalam hal ini, boleh menceritakan kejelekan yang dilakukannya dalam hal kefasikan atau kebid’ahan yang dilakukannya secara terang-terangan. Namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang selain itu kecuali berdasarkan alasan yang dapat dibenarkan.
6. Memanggil seseorang yang masyhur (populer) dengan sebutan semacam itu, seperti misalnya memanggil seseorang yang terkenal dengan julukan ‘si buta’, ‘si pincang’, ‘si pendek’, dsb. Dan sebutan ini hanya diperbolehkan untuk memberikan penjelasan keadaan orang tersebut, adapun jika maksudnya adalah untuk mencela orang tersebut, maka hal tersebut tidak boleh. Akan tetapi, akan sangat lebih baik apabila memberikan penjelasan tanpa menggunakan julukan seperti itu.

Solusi Untuk Terlepas Dari Ghibah
Agar terhindar dari ghibah, maka dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Hendaklah kita menyadari bahwa apabila kita menggunjing seseorang, berarti kita akan mendapat kemurkaan dan kemarahan dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai riwayat sebelumnya. Hendaknya kita juga menyadari bahwa pahala dan segala bentuk kebaikan yang telah susah payah kita kumpulkan pada hari ini dan hari-hari sebelumnya, akan dilimpahkan kepada orang yang kita ghibahi pada Hari Kiamat nanti sebagai bentuk ‘ganti rugi’ terhadap perampasan kehormatan orang lain. Dan ketika kita tidak memiliki sedikit kebaikan pun untuk diberikan kepadanya, maka kejelekannyalah yang akan ditambahkan kepada kita, sehingga memberatkan timbangan keburukan kita[10]. Maka bagaimana kesudahan kita apabila timbangan keburukan lebih berat daripada timbangan kebaikan..?
2. Telitilah dan perbaikilah faktor-faktor yang mendorong kita untuk berbuat ghibah. Apakah faktor-faktor yang membuat kita ‘menyukai’ ghibah akan memberi manfaat untuk kita atau orang yang kita gunjing atau terlebih untuk orang lain yang ikut mendengarkan..? Jika tidak, maka ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (VII/ 184 no.6475) dan Muslim (I/68 no. 74), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Infotaiment = Ghibahtainment
Tidak dapat disangsikan lagi bahwa televisi menjadi salah satu faktor terjebaknya umat manusia dalam kecenderungan hidup yang hedonis dan permisif. Bagaimana tidak..? Televisi telah ‘sukses’ menjadikan para pemuda menggantungkan mimpinya hanya sebatas kebahagiaan dunia. Idola mereka kini adalah artis-artis muda, dengan perawakan rupawan dan uang jutaan. Tidak jarang para pemuda dan orang tua duduk di depan televisi menunggu siaran program infotainment, hanya untuk mendengarkan kabar terbaru dari artis idola mereka. Mereka pikir bahwa mereka akan dicap gaul dan modis jika mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh artis idola mereka. Sungguh suatu kebobrokan akhlak yang nyata..!!
Ingatlah wahai kaum muslimin, tidak akan menjadi baik suatu keburukan, meski dia dihiasi dengan keindahan dan kemewahan. Ghibah, atau apa pun namanya, tetap haram hukumnya, dari dulu hingga sekarang, meskipun engkau menggantinya dengan judul yang bermacam-macam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.” (Hadits shahih, riwayat Tirmidzi no. 2317)

___________
Catatan kaki:
[1] Hilyatul Auliya,’ X/63.
[2] Al-Adzkar, hal. 288.
[3] Afaatul Lisaan fi Dhau’il Kitab was Sunnah, hal. 18.
[4] Hadits shahih, riwayat Bukhari no. 6131 dan Muslim no.2591.
[5] Lafazhnya sebagai berikut,
أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عا تقــه وأما معاوية فصعلو ك لا مال له
“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu’awiyah, dia adalah orang miskin yang tidak memiliki harta.” [Hadits shahih, riwayat Muslim no. 1480].
[6] Tafsir Al-Qur’anil Azhim, IV/215.
[7] Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, XIII/224.
[8] Al-Adzkar, hal 294.
[9] Syarah Nawawi fi Shahih Muslim, XVI/142 dan Al-Adzkar, hal. 292.
[10] Berdasarkan hadits yang cukup panjang dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 2581.



sumber : http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com publikasi ulang oleh salafushshalih.blogger.com

Selasa, 25 Mei 2010

Kekeliruan Dalam Mengucapkan Kata "Waiyyakum"

Oleh :-Abu Ahmed-
Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan ucapan tersebut:

Asy Syaikh Muhammad 'Umar Baazmool, pengajar di Universitas Ummul Quraa Mekah, ditanya: Beberapa orang sering mengatakan "Amiin, waiyyaak" (yang artinya "Amiin, dan kepadamu juga") setelah seseorang mengucapkan "Jazakallahu khairan" (yang berarti "semoga ALLAH membalas kebaikanmu"). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?

Beliau menjawab:
Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan "Jazakalahu khairan," tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan "wa iyyaakum."

Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan "wa iyyaakum," setelah doa apapun, dan tidak berkata "Jazakallahu khairan," mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama).

Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta’ala ditanya: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga)?

Beliau menjawab:
“tidak ada dalilnya, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khair” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu dido'akan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazakalallahu khair” dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”

Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi ditanya: Apa hukumnya mengucapkan, “Syukran (terimakasih)” bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita?

Beliau menjawab:
Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, “Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.” Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan.

Menjawab dengan "Wafiika barakallah".
Apabila ada seseorang yang telah mengucapkan do'a "Barakallahu fiikum atau Barakallahu fiika" kepada kita, maka kita menjawabnya: "Wafiika barakallah" (Semoga Allah juga melimpahkan berkah kepadamu) (lihat Ibnu Sunni hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun)

Menjawab dengan "jazakallahu khair".
Ada satu hadits yang menjelaskan sunnahnya mengucapkan "jazakallahu khairan", dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khair (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” (HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Ada beberapa ketentuan dalam mengucapkan jazakallah:
- jazakallahu khairan (engkau, lelaki)
- jazakillahu khairan (engkau, perempuan)
- jazakumullahu khairan (kamu sekalian)
- jazahumullahu khairan (mereka)

Fatwa ulama seputar ucapan "jazakallah":

Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya:
sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan "jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan), dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, dimana beliau mengatakan "sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?

Beliau menjawab:
Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini, sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do'a yang disebut ini. Boleh jadi orang yang dido'akan dengan do'a ini tidak menghendakinya. Seseorang mendoakan kebaikan, dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini. Namun jika seseorang menyebutkan do'a ini, bukan berarti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk menambah dari do'a tersebut. Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya. Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa. Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a. Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya, boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.

Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya:
Ada sebagian orang berkata: ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?

Beliau -hafidzahullah- menjawab:
“Demi Allah, kebaikan itu tidak ada batasnya, sedangkan kata seribu itu terbatas, sementara kebaikan tidak ada batasnya. Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”, seperti ungkapan mereka ini. Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.” (transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222)

Kesimpulan:
Ucapan "Waiyyak" secara harfiah artinya "dan kepadamu juga". Ini adalah bentuk do'a `yang walaupun ulama kita tidak menemukan itu sebagai sunnah. Dalam kasus manapun, namun tidak ada ulama yang melarang berdo'a dengan selain ucapan "Jazakumullah khairan" dengan syarat tidak boleh menganggapnya merupakan bagian dari sunnah. Namun untuk lebih afdholnya kita ucapkan "jazakalla khair", inilah sunnahnya.

Ada satu kaidah ushul fiqih yang dengan ini mudah-mudahan kita bisa terhindar dari bid'ah dan kesalahan-kesalahan dalam beramal atau beribadah.

Al-Imam Al-Bukhari (dalam kitab Al-Ilmu) beliau berkata, "Ilmu itu sebelum berkata dan beramal". Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).

Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya? Tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Kita tidak boleh asal ikut-ikutan orang lain tanpa dasar ilmu, seseorang sebelum berbuat sesuatu harus mengetahui dengan benar dalil-dalilnya.

Muraja':
- sunniforum.com/forum/showt
hread.php?t=3105
- darussalaf.or.id/stories.p
hp?id=1520
- Hisnul Muslim, Syaikh Said bin Ali Al Qathani

Semoga bermanfaat, Wallahu ta'ala a'lam bissowab
sumber : achfan.multiply.com/reviews/item/160 publikasi ulang shalafushshalih.blogger.com

Kamis, 20 Mei 2010

Hukum Memotong Jenggot

Pertanyaan:
Apa hukum mencukur jenggot sampai habis atau memotong sebagiannya?


Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah menjawab:
Orang yang mencukur jenggotnya sampai habis tergolong orang yang fasiq, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
احْفُوا الشَّوَارِبَ وَأعْفُوا اللِّحَى
“Potonglah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian.”


dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pula:
وَفِّرُوا اللِّحَى
“Biarkanlah jenggot kalian menjadi banyak.”
Juga:
أَكْرِمُوا اللِّحَى
“Muliakanlah jenggot kalian.”
Juga:
ارْخُوا اللِّحَى
“Panjangkan jenggot kalian.”
Juga:
قَصُّوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Potonglah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian.”
Banyak sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot, dan tidak pernah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mencukur habis jenggotnya, bahkan jenggot beliau menutupi dada beliau. Dan tidak didapatkan pula adanya riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang muslim yang mencukur jenggotnya lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyetujuinya. Bahkan mencukur jenggot tergolong perbuatan tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Islam dan perbuatan tasyabbuh (menyerupai) wanita.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk menjaga penampilan Islami di mana pun dia berada, sehingga dia tidak kehilangan jati diri muslim sebagaimana orang lain kehilangan jati diri muslimnya. Wallahul musta’an.
Jenggot merupakan perhiasan bagi seorang lelaki. Meskipun engkau melihat adanya sebagian orang alim yang fasiq memotongnya, ini bukanlah suatu hujjah. Juga meskipun engkau melihat di antara para raja dan pimpinan yang memotong jenggotnya, ini bukanlah hujjah. Yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila engkau melihat orang-orang alim yang memotong jenggot mereka atau para raja dan pimpinan, niscaya engkau dapati mereka terpengaruh oleh musuh-musuh Islam. Sama saja mereka terpengaruh dengan belajar kepada musuh-musuh Islam ataupun belajar kepada orang yang belajar kepada musuh-musuh Islam, ataupun terpengaruh oleh orang yang terpengaruh musuh-musuh Islam. Tidak boleh bagi seorang pun untuk mengambil teladan dari salah seorang dari mereka, bahkan As Sunnah yang wajib untuk diikuti.
Demikian pula memotong sebagian jenggot dan membiarkan sebagiannya, ini juga tidak diperbolehkan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أعفوا, maknanya adalah biarkanlah sebagaimana diciptakan Allah. Juga sabda beliau وَفِّرُوا, dan ارخوا

.
Adapun riwayat dari Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma bahwa bila melaksanakan haji atau umrah beliau radhiallahu 'anhuma mengambil (memotong) jenggot yang melebihi ukuran genggaman tangan, ini bukanlah hujjah, karena yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bila engkau katakan: Terkadang saya diperintah untuk memotong jenggot karena saya seorang tentara? Jawabannya: Tidak boleh bagimu untuk menaati perintah itu, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan tersebut dalam hal yang baik.”
kecuali bila engkau khawatir akan disiksa dengan siksaan yang tidak bisa engkau pikul, wallahul musta’an.
Bila engkau katakan: Terkadang saya masuk ke suatu negeri atau saya kembali ke negeri saya, sedangkan penduduk negeri tersebut memaksa dan memasukkan setiap orang yang memelihara jenggotnya ke dalam penjara, dan juga dikhawatirkan akan dibunuh.
Maka bila engkau takut bahwa dirimu akan disiksa, atau diambil hartamu, atau kehormatanmu dengan sesuatu yang tidak bisa engkau pikul, maka diperbolehkan bagimu untuk memotong jenggot. Adapun tanpa ada sesuatu lalu engkau memotong jenggot dan menyerupai musuh-musuh Islam, atau hanya karena mengikuti perintah orang-orang yang menyimpang maka tidak boleh bagimu (untuk memotong jenggot), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam hal yang baik.”
Betapa banyak orang shalih yang pergi ke negeri musuh-musuh Islam dimana mereka (musuh-musuh Islam) melihat orang-orang shalih yang berpegang teguh dengan agama secara benar, justru musuh-musuh Islam itu mencintai orang-orang shalih tersebut, memuliakan mereka, mempercayai keamanahan mereka. Adapun jenggot, maka tidaklah jenggot itu yang bersalah (yang menyebabkan kebencian orang-orang kafir membenci Islam). Bila engkau lihat seorang yang memelihara jenggotnya pendusta, atau berkhianat, atau mencuri, maka yang salah bukanlah jenggotnya namun orangnya. Adapun jenggot termasuk sifat yang fithrah dan termasuk Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang beliau perintahkan dan beliau wajibkan. Saya maksudkan keterangan ini agar tidak menjadi alasan bagimu untuk mencukur jenggot bila engkau melihat di antara orang yang memelihara jenggot ada yang tidak istiqamah atau tidak amanah. Wallahul musta’an.
(diterjemahkan dari Ijabatus Sail, hal. 221-222)

(http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=216 )

Mengapa sibuk membantah sesama muslim dan diam terhadap orang kafir?

Pertanyaan atau ucapan seperti ini sering muncul dari berbagai kalangan, baik dari orang-orang awam maupun dari kalangan yang diistilahkan dengan ”para aktivis” atau “pegiat da’wah”. Kalau munculnya dari orang-orang awam maka hal itu bisa dimaklumi, karena keawamannya itu mereka cenderung menilai dan bersikap berdasarkan tingkat pengetahuannya terhadap agama. Karena bersumber dari orang awam, maka pengaruh dari ucapan tersebut tidak terlalu berarti. Namun apabila ucapan atau pertanyaan seperti itu diucapkan oleh orang-orang yang disebut “para aktivis” atau “pegiat da’wah” maka akan memiliki pengaruh negatif yang cukup berarti, antara lain: 1.       Mendidik umat untuk diam terhadap berbagai penyimpangan dan kesesatan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Tentunya bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa haditsnya, antara lain:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ: تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ.
Tolong saudaramu, baik yang berbuat kezhaliman maupun yang terzhalimi. Seorang shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jelas aku akan menolongnya jika ia pihak yang terzhalimi, tapi bagaimana menurut engkau  jika ia adalah pihak yang berbuat kezhaliman, bagaimana mungkin aku akan menolongnya?’ Rasulullah menjawab: “Yaitu (dengan cara) kamu mencegah atau melarang dia dari perbuatan zhalim. Maka sesungguhnya itu adalah bentuk pertolongan untuknya.” [HR. Al-Bukhari]
Begitu juga dengan hadits:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِى أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا خَرْقًا، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا.
Permisalan antara seseorang yang menjalanlan syari’at Allah dengan orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang mengundi penentuan tempat pada sebuah kapal (bahtera). Sebagian mereka berhasil mendapatkan tempat di bagian atas, sementara yang lain di bagian bawah. Orang-orang berada di bagian bawah kapal, jika membutuhkan air minum terpaksa harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Akhirnya mereka berkata: “Kalau seandainya kita lobangi (dinding kapal) sedikit (untuk mendapatkan air) sehingga kita tidak mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Jika mereka membiarkan orang-orang yang ada di bawah dengan kemauannya itu niscaya mereka semua akan binasa. Namun apabila mereka berupaya mencegahnya niscaya mereka akan selamat dan selamat pulalah seluruh (yang ada di kapal tersebut).” [Al-Bukhari 2493, 2686]
2.       Akan semakin berkembangnya penyimpangan dan paham sesat.
Ketika upaya pengingkaran terhadap berbagai penyimpangan telah diabaikan, tentu umat yang jauh dari bimbingan ilmu ini akan mengira suatu kesesatan sebagai suatu kebenaran, para pengusung paham dan aliran yang menyesatkan dianggapnya sebagai penyeru kebaikan, dan umatpun akan semakin terpecah belah dalam berbagai kelompok. Para penganut paham Syi‘ah yang menyesatkan akan dengan mudah menjerumuskan umat kepada aqidahnya yang menyesatkan itu. Para penganut paham Khawarij akan terus dengan mudah menggiring para pemuda khususnya untuk memusuhi dan mengkafirkan pemerintahnya dan orang-orang yang tidak berada dalam satu kelompok dengan mereka, melakukan pengeboman, pembunuhan, dan berbagai tindakan sadis lainnya dengan mengatasnamakan agamanya. Begitu pula para pengusung paham sesat lainnya.
3.       Akan semakin menjauhkan umat dari pertolongan Allah ‘azza wajalla dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Kita semua tahu dan yakin, bahwa Allah tidak akan menolong umat ini tehadap musuh-musuhnya selama mereka masih banyak melanggar Allah dan Rasul-Nya. Terkhusus jika pelanggaran tersebut dalam permasalahan aqidah dan manhaj, yang tersebar di tengah-tengah umat dalam berbagai paham dan aliran yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam koridor bimbingan generasi as-salafush shalih.
Sehingga dengan itu umat akan semakin lemah di hadapan musuh-musuhnya dengan tidak adanya pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala.
Dalam kesempatan ini, kami akan nukilkan untuk para pembaca sekalian nasehat Asy- Syaikh Al-’Allamah DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, salah satu anggota Majelis Hai’ah Kibaril ‘Ulama  Kerajaan Saudi ‘Arabia, dalam jawabannya terhadap pertanyan sebagai berikut:
Pertanyaan:  Kenapa harus diterapkan tahdzir (peringatan keras) terhadap berbagai ahlul bid’ah sementara umat ini sedang menghadapi permusuhan dengan kaum Yahudi, Nashara, dan para sekuleris.
Jawaban: Tidak mungkin bagi kaum muslimin untuk melawan Yahudi dan Nashara kecuali jika mereka memberantas berbagai bid’ah yang ada di tengah-tengah mereka, mengobati berbagai penyakit (kesesatan) yang ada di antara mereka, sehingga mereka menang atas Yahudi dan Nashara. Namun apabila kaum muslimin masih saja mengabaikan urusan agama mereka dan masih saja melakukan berbagai bid’ah dan perbuatan-perbuatan haram lainnya serta terus meremehkan untuk mengaplikasikan syari’at Allah maka tidak akan mungkin mereka menang atas Yahudi dan tidak pula atas Nashara. Bahkan mereka akan dikalahkan oleh Yahudi dan Nashara dengan sebab sikap meremehkan urusan agama mereka. Karena itu wajib adanya upaya pembersihan masyarakat (muslimin) dari berbagai macam bid’ah dan kemungkaran, serta wajib berupaya menerapkan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya sebelum kita memerangi Yahudi dan Nashara. Kalau kita terus memerangi Yahudi dan Nashara dalam keadaan kondisi kita masih seperti ini, maka kita tidak akan menang atas mereka selama-lamanya! Bahkan merekalah yang akan menang atas kita disebabkan dosa-dosa kita. [dari kitab Al-Ijabatul Muhimmah fil Masyakil Al-Mulimmah, hal 28; lihat http://www.misrsalaf.com/vb/showthread.php?t=35]
Sumber: Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij, hal. 51-54.
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=76 dipublikasi ulang oleh salafushshalih.blogger.com

Rabu, 19 Mei 2010

Demonstrasi Bukan Metode Salafus Sholih

Penulis: Ustadz Zuhair Syarif
Manhaj, 27 Juni 2003, 00:05:42
Gejolak unjuk rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang komentar banyak pengamat. Sebagian mereka mengatakan : “Aksi unjuk rasa ini dipelopori oleh oknum-oknum tertentu.”

Adapula yang berkomentar : “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk aksi kecuali ada yang memicu atau ngompori.” Sedangkan yang lain berkata : “Demonstrasi ini adalah ungkapan hati nurani rakyat.”

Demikian komentar para pengamat tentang demonstrasi yang terjadi di hampir semua universitas di Indonesia. Sebagian mereka menentangnya dan menganggap para mahasiswa itu ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Sebagian lain justru mendukung mati-matian dan menganggapnya sebagai jihad.

Namun dalam tulisan ini kita tidak menilai mana pendapat pengamat yang benar dan mana yang salah. Tetapi kita berbicara dari sisi apakah demonstrasi ini bisa digunakan sebagai sarana/alat dakwah kepada pemerintah atau tidak? Atau apakah tindakan ini bisa dikatakan sebagai jihad[1]?

DEMONSTRASI PERTAMA DALAM SEJARAH ISLAM

Kasus terbunuhnya Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu dan timbulnya pemikiran Khawarij sangat erat hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah terbunuhnya Utsman radliyallahu 'anhu adalah berawal dari isu-isu tentang kejelekan Khalifah Utsman yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ di kalangan kaum Muslimin.

Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam[2]. Sedangkan kita telah maklum bagaimana karakter Yahudi itu karena Allah telah berfirman :

“Niscaya engkau akan dapati orang yang paling memusuhi (murka) kepada orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin.” (Al Maidah : 82)

Permusuhan kaum Yahudi terlihat sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati janji mereka terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, merendahkan kaum Muslimin, mencerca ajaran Islam, dan banyak lagi (makar-makar busuk mereka). Setelah Islam kuat, tersingkirlah mereka dari Madinah. (Lihat Sirah Ibnu Hisyam juz 3 halaman 191 dan 199)

Pada zaman Abu Bakar dan Umar radliyallahu 'anhuma, suara orang-orang Yahudi nyaris hilang. Bahkan Umar mengusir mereka dari Jazirah Arab sebagai realisasi perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang pernah bersabda :

“Sungguh akan aku keluarkan orang-orang Yahudi dan Nashara dari Jazirah Arab sampai aku tidak sisakan padanya kecuali orang Muslim.” Juga Ucapan beliau : “Keluarkanlah orang-orang musyrikin dari Jazirah Arab.” (HR. Bukhari)

Di tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman radliyallahu 'anhu di saat kondisi masyarakat mulai heterogen, banyak muallaf dan orang awam yang tidak mendalam keimanannya, mulailah orang-orang Yahudi mengambil kesempatan untuk mengobarkan fitnah.

Mereka berpenampilan sebagai Muslim dan di antara mereka adalah Abdullah bin Saba’ yang dijuluki Ibnu Sauda. Orang yang berasal dari Shan’a ini menebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslimin agar mereka iri dan benci kepada Utsman radliyallahu 'anhu.

Sedangkan inti dari apa yang dia bawa adalah pemikiran-pemikiran pribadinya yang bernafaskan Yahudi. Contohnya adalah qiyas-nya yang bathil tentang kewalian Ali radliyallahu 'anhu. Dia berkata : “Sesungguhnya telah ada seribu Nabi dan setiap Nabi mempunyai wali. Sedangkan Ali walinya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kemudian dia berkata lagi : “Muhammad adalah penutup para Nabi sedangkan Ali adalah penutup para wali.”

Tatkala tertanam pemikiran ini dalam jiwa para pengikutnya, mulailah dia menerapkan tujuan pokoknya yaitu melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu. Maka dia melontarkan pernyataan pada masyarakat yang bunyinya : “Siapa yang lebih dhalim daripada orang yang tidak pantas mendapatkan wasiat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (kewalian Rasul), kemudian dia melampaui wali Rasulullah (yaitu Ali) dan merampas urusan umat (pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali Rasulullah ini (Ali) ada (di kalangan kalian). Maka bangkitlah kalian dan bergeraklah. Mulailah untuk mencerca pejabat kalian tampakkan amar ma’ruf nahi munkar. Niscaya manusia serentak mendukung dan ajaklah mereka kepada perkara ini.” (Tarikh Ar Rasul juz 4 halaman 340 karya Ath Thabary melalui Mawaqif)

Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah ini sama modelnya dengan amar ma’ruf menurut Khawarij yakni keluar dari pemerintahan dan memberontak, memperingatkan kesalahan aparat pemerintahan di atas mimbar-mimbar, forum-forum, dan demonstasi-demonstasi yang semua ini mengakibatkan timbulnya fitnah.

Masalah pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah dan Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu, peperangan sesama kaum Muslimin, dan terbukanya pintu fitnah dari zaman Khalifah Utsman sampai zaman kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu. (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati fil Fitnati min Riwayat Al Imam Ath Thabari wal Muhadditsin juz 2 halaman 342)

Sebenarnya amar ma’ruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai label dan tameng belaka. Buktinya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada Utsman :

“Hai Utsman, nanti sepeninggalku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika orang-orang ingin mencelakakanmu pada waktu malam --dalam riwayat lain :-- Orang-orang munafik ingin melepaskannya, maka jangan engkau lepaskan. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 6 halaman 75 dan At Tirmidzi dalam Sunan-nya dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi 3/210 nomor 2923)

Syaikh Muhammad Amhazurn berkomentar : “Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang Khawarij tidaklah menuntut keadilan dan kebenaran akan tetapi mereka adalah kaum yang dihinggapi penyakit nifaq sehingga mereka bersembunyi dibalik tabir syiar perdamaian dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Tidak diketahui di satu jamanpun adanya suatu jamaah atau kelompok yang lebih berbahaya bagi agama Islam dan kaum Muslimin daripada orang-orang munafik.” (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati juz 1 halaman 476)

Inilah hakikat amar ma’ruf nahi mungkar kaum Saba’iyah dan Khawarij. Alangkah serupanya kejadian dulu dan sekarang?!

Di jaman ini ternyata ada Khawarij Gaya Baru yaitu orang-orang yang mempunyai pemikiran Khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, unjuk rasa, dan sebagainya sebagai alat dan metode dakwah serta jihad. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurrahman Abdul Khaliq yang mengatakan (Al Fushul minas Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 31-32) : “Termasuk metode atau cara Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.”

Sebelum kita membongkar kebathilan ucapan ini dan kesesatan manhaj Khawarij dalam beramar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintahan, marilah kita pelajari manhaj Salafus Shalih dalam perkara ini.

MANHAJ SALAFUS SHALIH BERAMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR KEPADA PEMERINTAH

Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang dhalim.

Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim, sesungguhnya kedhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat) yang tidak mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat.

Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi menyebarkan dan membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.

Adapun dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab Was Sunnah halaman 54).

Dan Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji Sunnah 2/521-522. Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungjawaban. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas.

Bertolak dari hadits yang agung ini, para ulama Salaf berkata dan berbuat sesuai dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam As Syaukani yang berkata : “Bagi orang-orang yang hendak menasihati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah --lantaran pemimpin itu telah berbuat salah-- seharusnya ia tidak menampakkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai.

Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya kemudian menasihatinya tanpa merendahkan penguasa yang ditunjuk Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As Sair : Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir.

Akan tetapi wajib bagi makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (As Sailul Jarar 4/556)

Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al Adawi. Beliau berkata : “Aku di samping Abu Bakrah berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal[3] berkata : “Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.”

Lantas Abu Bakrah berkata : “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.’ ” (Sunan At Tirmidzi nomor 2224)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasihati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syaukani sampai pada perkataannya : “ … sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian, dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh karena itu jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara Salafus Shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam halaman 395)

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwasanya beliau ditanya : “Mengapa engkau tidak menghadap Utsman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau : “Apakah kalian berpendapat semua nasihatku kepadanya harus diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330 dan 13/48 Fathul Bari dan Muslim dalam Shahih-nya 4/2290)

Syaikh Al Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya : “Yang beliau (Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya, pent.) terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah. Karena pengingkaran terang-terangan bisa berakibat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada Utsman mengakibatkan kematian beliau[4].”

Demikian metode atau manhaj Salaf dalam amar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintah atau orang yang mempunyai kekuasaan. Dengan demikian batallah manhaj Khawarij yang mengatakan bahwa demonstrasi termasuk cara untuk berdakwah sebagaimana yang dianggap oleh Abdurrahman Abdul Khaliq.

Manhaj Khawarij ini menjadi salah satu sebab jeleknya sifat orang-orang Khawarij. Sebagaimana dalam riwayat Said bin Jahm beliau berkata : “Aku datang ke Abdullah bin Abu Aufa, beliau matanya buta, maka aku ucapkan salam.”

Beliau bertanya kepadaku : “Siapa engkau?” “Said bin Jahman,” jawabku. Beliau bertanya : “Kenapa ayahmu?” Aku katakan : “Al Azariqah[5] telah membunuhnya.” Beliau berkata : “Semoga Allah melaknat Al Azariqah, semoga Allah melaknat Al Azariqah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan bahwa mereka anjing-anjing neraka.” Aku bertanya : “(Yang dilaknat sebagai anjing-anjing neraka) Al Azariqah saja atau Khawarij semuanya?” Beliau menjawab : “Ya, Khawarij semuanya.” Aku katakan : “Tetapi sesungguhnya pemerintah (telah) berbuat kedhaliman kepada rakyatnya.” Maka beliau mengambil tanganku dan memegangnya dengan sangat kuat, kemudian berkata : “Celaka engkau wahai Ibnu Jahman, wajib atasmu berpegang dengan sawadul a’dham, wajib atasmu untuk berpegang dengan sawadul a’dham. Jika engkau ingin pemerintah mau mendengar nasehatmu maka datangilah dan khabarkan apa yang engkau ketahui. Itu kalau dia menerima, kalau tidak, tinggalkan! Sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 4/383)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits mengenai celaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terhadap orang-orang Khawarij sebagai anjing-anjing neraka karena perbuatan mereka sebagaimana telah dijelaskan.

Oleh karena itu, bagi seorang Muslim yang masih mempunyai akal sehat, tidak mungkin dia akan rela dirinya terjatuh pada jurang kenistaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (sebagai anjing-anjing neraka). Maka wajib bagi kita apabila hendak menasehati pemerintah, hendaklah dengan metode Salaf yang jelas menghasilkan akibat yang lebih baik dan tidak menimbulkan bentrokan fisik antara rakyat (demonstran) dengan aparat pemerintah yang akhirnya membawa kerugian di kedua belah pihak atau munculnya tindak anarki.

DEMONSTRASI ATAU UNJUK RASA MERUPAKAN BENTUK TASYABUH (MENYERUPAI) ORANG-ORANG KAFIR

Sangat disayangkan, para demonstran ini mayoritas mereka adalah aktivis-aktivis Islam. Tetapi mengapa mereka melakukan hal ini? Mana ciri Islam mereka? Atas dasar apa melakukan hal hal itu? Apakah berdasarkan dalil ataukah berlandaskan syubhat (kekaburan pemahaman)? Mereka --mahasiswa/rakyat yang beragama Islam--- tidak sadar bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, junjungan mereka, yaitu larangan menyerupai orang-orang kafir. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan : “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk kaum tersebut.” Malah demonstrasi ini termasuk bentuk tasyabuh terhadap orang kafir. Telah diterangkan oleh Syaikh Al Albani hafidhahullah tatkala seorang penanya menyampaikan pertanyaan kepada beliau yang lengkapnya demikian :

Penanya : “Apa hukumnya demonstrasi/unjuk rasa, misalnya para remaja, laki-laki maupun perempuan keluar ke jalan-jalan?”

Syaikh : “Para perempuan juga?”

Penanya : “Benar. Sungguh ini telah terjadi!”

Syaikh : “Masya Allah.”

Penanya : “Mereka keluar ke jalan-jalan dalam rangka menentang sebagian permasalahan yang dituntut atau diperintahkan oleh orang yang mereka anggap taghut-taghut, atau apa yang mereka tuntut dari organisasi/partai-partai politik yang bertentangan dengan mereka. Apa hukumnya perbuatan ini?”

Syaikh : [ Aku katakan --wabillahi taufiq--, jawaban dari soal ini termasuk pada kaidah dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radliyallahu 'anhu atau hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu --saya ragu apakah beliau Abdullah bin ‘Amr atau Ibnu Umar-- ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Aku diutus dengan pedang dekat sebelum hari kiamat sampai hingga hanya Allah-lah yang disembah, tidak ada sekutu baginya. Dan Allah menjadikan rizqiku di bawah naungan tombak, dijadikan kerendahan dan kekerdilan atas orang yang menyelisihi pemerintah. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.” Yang dijadikan dalil dari ucapan beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini adalah perkataan : “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.”

Maka tasyabuh (penyerupaan) seorang Muslim kepada seorang kafir tidak dibolehkan dalam Islam. Tasyabuh kepada seorang kafir ada beberapa tingkatan dari segi hukum. Yang tertinggi adalah haram dan yang terendah adalah makruh. Permasalahan ini sudah diterangkan secara rinci oleh Syaikhul Islam di dalam kitabnya yang agung, Iqtidla’ Shirathal Mustaqim Mukhalafata Ashabil Jahim secara rinci dan tidak akan didapat selain dari beliau rahimahullah. Aku ingin memperingatkan perkara yang lain, yang sepantasnya bagi Thalabul Ilmi memperhatikannya agar tidak menyangka bahwa hanya tasyabuh saja yang dilarang syariat.

Ada perkara lain --yang lebih tersamar-- yaitu perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir. Tasyabuh kepada orang-orang kafir adalah menjalankan kesukaan mereka. Adapun menyelisihi orang-orang kafir adalah engkau bermaksud menyelisihi mereka pada apa yang kita dan mereka mengerjakannya tetapi mereka tidak merubahnya. Seperti sesuatu yang ditetapkan dengan ketetapan alami yang tidak berbeda antara Muslim dengan kafir, karena sesungguhnya pada ketetapan ini, tidak ada usaha dan kehendak dari makhluk. Karena yang demikian adalah sunnatullah tabarak wa ta’ala kepada manusia dan engkau tidak akan mendapati sunnatullah itu berubah. Sebagaimana telah shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambut-rambut mereka maka selisihilah mereka (2X).” Sungguh dalam hal ini seorang Mukmin mungkin menyerupai orang kafir dalam hal uban. Dan ini tidak ada perbedaannya. Engkau tidak akan menemukan seorang Muslim yang tidak beruban kecuali sangat sedikit sekali. Ada kesamaan di sini pada penampilan antara Muslim dan kafir yang sama-sama keduanya tidak bisa memiliki/mengatur sebagaimana yang kami katakan tadi. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kita untuk menyelisihi kaum musyrikin, yakni dengan menyemir uban rambut-rambut kita. Sama saja rambut jenggot atau kepala. Untuk apa? Agar dengan ini tampak perbedaan antara Muslim dan kafir. Maka apa tujuannya kalau apabila seorang kafir mengerjakan suatu amalan lalu seorang Muslim ikut melakukannya dan terpengaruh dengan perbuatan-perbuatan mereka? Ini kesalahan yang lebih parah daripada menyelisihi. Dalam masalah ini, aku memperingatkannya sebelum memasuki bahasan dalam menerangkan pertanyaan yang ditujukan padaku.

Jika telah diketahui perbedaan antara tasyabuh dengan penyelisihan maka seorang Muslim yang benar keislamannya hendaknya terus menerus berusaha menjauhi bertasyabuh dengan orang kafir.

Sebaliknya harus berusaha menyelisihi mereka. Dengan alasan inilah kami menyunnahkan (membiasakan) meletakkan jam tangan di tangan kanan karena mereka yang pertama kali membuat jam tangan memakainya di tangan kiri.

Kami mengambil istinbath demikian berdasar ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Maka selisihilah mereka.” Kalian mengetahui hadits ini : “Bahwa Yahudi dan Nashara tidak menyemir rambut mereka maka selisihilah mereka.” Sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam dalam kitab tersebut (Iqtidla). Ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Maka selisihilah mereka,” merupakan hujjah yang mengisyaratkan penyelisihan terhadap orang-orang kafir sebagaimana yang dikehendaki oleh As Sami’ul ‘Alim (Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, kami mendapati praktek penyelisihan dalam amalan dan hukum-hukum bukan termasuk wajib. Seperti makan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau : “Shalatlah kalian di atas sandal-sandal kalian.” “Selisihilah Yahudi (2X).” Di sini diketahui bahwasanya shalat memakai sandal bukan fardlu. Beda dengan memanjangkan jenggot, karena orang yang mencukurnya akan mendapat dosa.

Adapun shalat dengan bersandal itu adalah perkara yang sunnah (mustahab). Namun apabila seorang Muslim terus menerus tidak memakai sandal ketika shalat justru telah menyelisihi sunnah dan bukan menyelisihi Yahudi.

Ada suatu hal yang perlu diperhatikan di sini sebagaimana dalam riwayat sikap tawadlu Ibnu Mas’ud ketika beliau mempersilakan Abu Musa Al Asy’ari mengimami shalat waktu itu. Padahal kedudukan Ibnu Mas’ud lebih utama dari Abu Musa radliyallahu 'anhu. Pada waktu itu Abu Musa Al Asy’ari melepas sandalnya dan segera ditegur dengan keras oleh Ibnu Mas’ud : “Bukankah ini perbuatan orang-orang Yahudi? Apakah kau menganggap dirimu ada di lembah Thursina yang disucikan?” Ucapan Ibnu Mas’ud ini menegaskan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Shalatlah di atas sandal kalian dan selisihilah Yahudi!”

Apabila dua hakikat ini telah dipahami yaitu (larangan) tasyabuh dan (perintah) menyelisihi kaum musyrikin maka wajib bagi kita untuk menjauhi setiap perilaku kesyirikan dan segala bentuk kekufuran.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalaupun mereka menyusuri atau masuk ke lubang biawak niscaya kalian pun akan memasukinya.”

Berita dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini mengandung peringatan bagi umat ini. Namun di samping itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga mengatakan dalam hadits mutawatir : “Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang menampakkan Al Haq. Tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat.”

Jadi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam itu telah memberikan khabar gembira dalam hadits shahih ini bahwasanya umat ini terus dalam keadaan baik. Tatkala datang berita ini, yaitu : “Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan sebelum kalian.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memaksudkan dalam hadits ini setiap individu dalam umatnya akan mengikuti jalan orang-orang kafir.

Maka ucapan itu bermakna peringatan artinya : “Hati-hati kalian, jangan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian. Dan sesungguhnya akan ada dari kalian orang-orang yang melakukannya.”

Dalam riwayat lain selain riwayat As Shahihain, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan perbuatan orang Yahudi pada tingkat yang sangat parah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda (dalam riwayat itu) : “Bahkan ada dari mereka (Yahudi) orang yang mendatangi (menzinahi) ibunya di tengah-tengah jalan dan niscaya akan ada pula dari kalian yang akan melakukanya.”

Kecenderungan pada jaman ini telah membuktikan kebenaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut walaupun masih perlu adanya penelitian yang lebih mendalam.

Dan pada sebagian hadits-hadits yang telah tsabit, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ada di antara manusia bersetubuh seperti bersetubuhnya keledai di jalan-jalan.” Ini adalah puncak kejelekan tasyabuh terhadap orang-orang kafir.

Apabila kalian telah mengetahui larangan bertasyabuh dan perintah untuk menyelisihi (orang-orang kafir) maka kembali kepada permasalahan demonstrasi (unjuk rasa), kita saksikan dengan mata kepala sendiri saat Perancis menguasai Suriah dan apa yang terjadi di Aljazair. Di sana terdapat kesesatan dan tasyabuh dengan turut sertanya para wanita dalam demonstrasi.

Demikian itu merupakan kesempurnaan tasyabuh terhadap orang kafir baik laki-laki atau perempuan. Karena kita melihat melalui foto-foto, berita lewat radio, dan televisi atau selainnya tentang keluarnya beribu-ribu manusia dari kalangan orang-orang kafir Afrika maupun Syiria dan yang lainnya.

Menurut ungkapan orang-orang Syam, keluarga laki-laki dan wanita dalam keadaan “meleit temkit”. Meleit temkit maksudnya mereka berdesakan antara punggung dengan punggung, atau pinggul dengan pinggul, dan lain-lain. Saya katakan dari segi yang lain (yang berhubungan dengan demonstrasi) : Bahwasanya demonstrasi ini menunjukkan sikap taklid terhadap orang-orang kafir dalam rangka menolak undang-undang yang ditetapkan oleh hakim-hakim mereka.

Demonstrasi ala Eropa dengan sikap taklidiyah (ikut-ikutan) dari kalangan kaum Muslimin bukan termasuk cara yang syar’i untuk memperbaiki hukum dan keadaan masyarakat. Dari sini setiap jamaah hizbiyah kelompok Islam jelas telah melakukan kekeliruan besar karena tidak menelusuri jalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di dalam merubah keadaan masyarakat. Tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara bergerombol-gerombol, berteriak-teriak, dan demonstrasi (unjuk rasa).

Islam mengajarkan ketenangan dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum Muslimin serta mendidik mereka di atas syariat Islam sampai berhasil walaupun harus dengan waktu yang sangat panjang.

Dengan ini saya katakan dengan ringkas, demonstrasi dan unjuk rasa yang terjadi di sebagian negara Islam pada asalnya adalah penyimpangan dari jalan kaum Mukminin[6] dan tasyabuh (menyerupai) golongan kafir. Sungguh Allah telah berfirman (yang artinya) : “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115)

Penanya : “Mereka --para demonstran-- berdalih dengan dalil Sirah (sejarah Nabi) bahwasanya setelah Umar radliyallahu 'anhu masuk Islam, kaum Muslimin (serentak) keluar.

Umar pada suatu barisan sedang Hamzah di barisan lain. Maka mereka (yang pro demonstrasi) mengatakan unjuk rasa ini untuk mengingkari taghut-taghut dan orang kafir Quraisy. Bagaimanakah jawaban Anda dengan dalil semacam ini?”

Jawab : Jawaban terhadap pendalilan semcam itu adalah : Berapa kali aksi demonstrasi ini terjadi pada masyarakat Islam (dulu)? Hanya satu kali. Padahal sirah termasuk sunnah yang diikuti, menurut ulama fiqih. Mereka mengatakan kalau tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam suatu ibadah yang disyariatkan akan diberi pahala orang yang melakukannya.

Dan dalam pelaksanaannya pun tidak boleh terus-menerus tanpa putus karena dikhawatirkan menyerupai perkara wajib dengan sebab lamanya waktu.

Kebanyakan manusia --menurut adat mereka-- kalau ada salah satu Muslim meninggalkan sunnah seperti ini niscaya akan diingkari dengan keras. Demikian menurut para ahli fiqih. Maka bagaimana kalau ada suatu peristiwa yang sekilas terjadi pada waktu tertentu seperti disebutkan di dalam sirah di atas kemudian dijadikan sunnah yang diikuti bahkan dijadikan hujjah untuk mendukung apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir secara terus-menerus sedangkan kaum Muslimin tidak secara mutlak melakukannya kecuali pada saat itu saja[7].

Kita mengetahui kebanyakan pemerintahan mempunyai hukum-hukum yang keluar dari Islam dan kadang-kadang manusia dipenjarakan dengan dhalim dan melampaui batas, maka bagaimana sikap kaum Muslimin dalam hal ini? Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memerintahkan dalam hadits yang shahih wajibnya taat kepada pemerintah walaupun dia mengambil hartamu dan memukul punggungmu. Namun kenyataannya demonstrasi bukan ketaatan kepada pemerintah seperti yang digariskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Inilah yang aku khawatirkan tentang apa yang dinamakan “kebangkitan (shahwah) suara kebenaran”, bagaimana kita akan meridlainya? Bagaimana mungkin suatu “kebangkitan (shahwah)” dengan perasaan, bukan dengan ilmu? Padahal ilmu itulah yang menjadikan perkara itu dianggap baik atau buruk.

Tidak diragukan lagi di Aljazair dan di setiap negara Islam, shahwah ini lahir dari pemuda Muslim setelah mereka “bangun dari tidur”. Akan tetapi engkau akan melihat mereka berjalan di atas jalan yang menunjukkan ketidakgigihan mereka dalam menuntut ilmu Allah ‘Azza wa Jalla.

Kita tidak memperpanjang pembahasan. Cukuplah kita katakan pengambilan mereka terhadap dalil ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap fiqih Islam sebagaimana yang kami telah isyaratkan di depan. Kejadian yang sesaat ini terbetik pada diri saya dan saya teringat bahwa kejadian ini tercatat dalam sirah. Akan tetapi saya belum bisa mendapati shahih atau tidaknya saat ini. Jika riwayat ini shahih sanadnya maka dan ada salah seorang di antara kalian mendapati riwayat ini pada kitab-kitab hadits standar, tolong ingatkan saya. Sehingga saya bisa memeriksa barangkali riwayat tentang demonstrasi dalam sirah tersebut shahih. Maka kalaupun shahih, hanya dilakukan sekali saja. Jika terjadi hanya sekali saja, tentu tidak bisa dijadikan sunnah. Apalagi bila demonstrasi saat ini lebih sering dilakukan oleh orang-orang kafir yang seharusnya kaum Muslimin menyelisihinya.

Kejadian ini dilakukan oleh orang-orang kafir kemudian kita mengikutinya. Ulama Hanafiyah telah membuat pijakan di dalam masalah fiqhiyah bahwasanya ada suatu masalah yang merupakan sunnah Muhammadiyah yang tidak sepantasnya ditinggalkan, yaitu sunnah membaca surat Sajadah pada pagi hari Jum’at (saat shalat Shubuh). Ini terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim). Walaupun demikian ulama Hanafiyah menganjurkan pada imam-imam masjid agar sesekali meninggalkannya, dikhawatirkan apabila terus menerus diamalkan di kalangan orang awam, akan menganggkat hukumnya keluar dari hukum asalnya.

Kami mempunyai bukti yang mendukung ketelitian dalam fiqih dan pemahaman terhadap sunnah ini. Saya sangat ingat bahwasanya imam di masjid besar Damaskus, yaitu masjid Bani Umayah, mengimami shalat shubuh di masjid tersebut dan dia tidak membaca surat Sajadah.

Baru saja imam salam, tiba-tiba mereka membentak dan mendatangi imam tersebut seraya berkata : “Kenapa engkau tidak membaca surat Sajadah?” Kemudian dia menerangkan bahwa hal itu adalah sunnah dan kadang-kadang dianjurkan untuk meninggalkannya.

Kejadian ini terjadi karena imam masjid mengamalkan amalan tersebut secara terus-menerus dan berlangsung lama. Dan saat itu ia tidak mengerjakan amalan tersebut.

Lebih aneh lagi yang terjadi pada diri saya. Pada suatu hari saya berada dalam perjalanan dari Damaskus kira-kira 60 km ke Madhaya. Maka aku hampir di pagi hari Jum’at untuk shalat berjamaah bersama kaum Muslimin di sana. Tatkala itu imam tidak datang.

Maka mereka mencari pengganti imam yang cocok. Mereka tidak mendapati pengganti kecuali saya. Pada waktu itu saya masih muda dan jenggot saya baru tumbuh. Dalam keadaan bingung, mereka menyuruh saya maju. Saya sebenarnya belum hafal surat Sajadah dengan baik maka aku membaca surat Maryam. Aku membaca dua halaman awal. Tatkala aku takbir untuk ruku maka aku merasakan semua makmum malah sujud. Ini menunjukkan karena apa? Karena adat kebiasaan (yakni mereka sujud tilawah karena kebiasaan dan bukan dengan ilmu, ed.).

Seyogyanya para imam menjaga keadaan masyarakatnya agar tidak ghuluw (berlebihan) pada sebagian hukum-hukum. Lalu memberi penjelasan bahwa masalah syariat, wajib untuk diambil dengan tanpa sikap keterlaluan hingga mengangkat derajat hukum sunnah menjadi wajib dan sebaliknya yang wajib menjadi sunnah.

Semua ini adalah ifrath dan tafrith yang tidak diperbolehkan. Inilah jawaban saya terhadap pendalilan (riwayat Umar di atas) yang menunjukkan atas kebodohan orang yang mengambil dalil dengannya. ] (Kaset Fatawa Jeddah nomor 89880, pagi Shubuh, hari Ahad, 27 Jumadil Akhir 1410 H)

BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ

Di awal sudah saya singgung masalah manhaj Abdurrahman Abdul Khaliq terhadap pemerintah Muslimin. Yaitu bolehnya memakai demonstrasi sebagai alat dakwah dengan berdalil riwayat Umar radliyallahu 'anhu yang dibawakan oleh seorang penanya di atas. Dan Syaikh Al Albani mengatakan bahwa beliau belum tahu shahih dan dlaifnya riwayat tersebut. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz telah membantah syubhat Abdurrahman Abdul Khaliq dalam surat menyurat antara beliau dengan Abdurrahman Abdul Khaliq. Kata Syaikh bin Bazz : “Engkau menyebutkan pada kitab Fushul Minas Siyasah As Syar’iyyah halaman 31-32 bahwasanya termasuk dari uslub (metode) dakwah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah demonstrasi. Aku belum pernah mengetahui nash yang sharih dalam masalah ini. Maka aku mengharap faidah dari siapa kamu mengambil dan dari kitab mana kamu dapatkan. Jika hal itu tidak ada sanadnya maka kamu wajib untuk rujuk (kembali/bertaubat) dari hal itu. Karena aku tidak tahu sama sekali nash-nash yang menunjukkan hal itu.

Dengan menggunakan demonstrasi atau unjuk rasa justru mengakibatkan banyak kerusakan. Jika nash (dalil) itu shahih maka kamu harus menerangkan dengan jelas dan sempurna sehingga orang-orang yang membuat kerusakan tidak berdalih dengannya dalam demonstrasi-demonstrasi mereka yang bathil.” (Tanbihat wa Ta’biqat halaman 41)

Jawaban Abdurrahman Abdul Khaliq : “Adapun ucapanku pada kitab Al Fushul Minas Siyasah As Syar’iyyah fi Da’wah Ilallah halaman 31-33 maka aku katakan : Aku telah menyebutkan demonstrasi-demonstrasi yang digelar itu sebagai wasilah (metode) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam menampakkan dakwah Islam, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa setelah masuk Islamnya Umar radliyallahu 'anhu, kaum Muslimin keluar karena perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada dua shaf (barisan) dalam rangka menampakkan kekuatan.

Dalam satu barisan terdapat Hamzah radliyallahu 'anhu, sedang barisan yang lain ada Umar bin Al Khattab radliyallahu 'anhu beserta kaum Muslimin.” (Kemudian Abdurrahman Abdul Khaliq membawakan riwayat dengan sanad-sanad yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah 1/40 dengan sanad sampai ke Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu, Ibnu Abi Syaibah dalam As Shahabah 2/512, dan di dalam Tarikh-nya serta Al Bazar).

Kemudian dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) berkata : “Tetapi setelah kedatangan surat Anda (Syaikh bin Bazz) aku dapatkan bahwa pusat (poros) sanad hadits ini atas Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul hadits.” Demikian pernyataan Abdurrahman Abdul Khaliq.

Tapi anehnya setelah itu dia mengatakan : “Aku berpandangan metode ini (demonstrasi) bisa untuk dijadikan metode yang benar dalam mendorong/menganjurkan manusia dalam shalat Jum’at dan jamaah … dalam rangka menampakkan banyaknya orang Islam.

Demikian juga memamerkan tentara-tentara Islam bersamaan dengan peralatan perang karena hal ini dapat menaklukan hati-hati musuh dan menakuti musuh-musuh Allah serta meninggikan syariat Islam.”

Demikian cara Ahlul Bid’ah. Setelah ditanya atau dibantah dari sisi pendalilan dan setelah ucapan atau perbuatannya diketahui tidak benar bahkan palsu maka mereka tidak mau merujuk kepada dalil yang shahih dan manhaj yang benar.

Bahkan dia berkelit : “Maksud saya demikian, maksud saya demikian”, “boleh saja hadits lemah --dalam hal ini palsu-- dijadikan i’tibar”, dan berbagai silat lidah lainnya pun meluncur tajam.

Maka saya katakan, setelah atsarnya diketahui mungkar karena adanya rawi yang mungkarul hadits pada sanadnya, tentu saja demonstrasi tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dijadikan manhaj amar ma’ruf nahi mungkar. Karena metode dakwah adalah tauqifiyah, yakni harus sesuai dengan metode Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya.

Jikalau kisah Umar itu shahih, maka penjelasannya adalah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Syaikh Al Albani. Dengan telah diketahui atsarnya dlaif bahkan mungkar, maka tidak bisa lagi dijadikan sebagai dalil bolehnya demonstrasi, sekalipun niatnya baik, sebagaimana telah diterangkan oleh Syaikh bin Bazz di atas. Wallahu A’lam.

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN PADA ACARA UNJUK RASA

Di atas sudah diterangkan sebagian kemungkaran pada acara demo yaitu :

- Bentuk tasyabuh dengan orang-orang kafir.

- Termasuk khuruj (menentang pemerintah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam riwayat Muslim dan lain-lain. (Lihat Nasehati)

- Menceritakan aib pemerintah di depan umum dalam bentuk orasi-orasi yang ini pun dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (Lihat Nasehati)

- Ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan) bahkan berdesak-desakan. (Lihat SALAFY rubrik Ahkam edisi 4 tahun pertama)

- Tindak anarkis yang seringkali timbul ke sana atau setelah demonstrasi dan orasi-orasi.

- Dan lain-lain.

SOLUSI DARI KRISIS

Pada situasi sekarang, masalah yang timbul bukan saja terjadi akibat satu aspek, misalnya ekonomi. Tetapi juga terkait pada aspek lainnya, seperti sosial dan politik. Dan krisis ini tidak bisa sembuh total manakala dibasmi dengan kebathilan.

Suatu negara yang dipimpin oleh pemimpin yang dhalim yang di dalamnya ditaburi praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme merupakan buah dari tindakan rakyatnya juga. Maka kalau rakyatnya baik, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menganugerahkan kepada mereka pemimpin yang arif dan bijaksana. Hal ini sudah dibuktikan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Khulafaur Rasyidin. Situasi yang kacau balau ini solusinya bukan dengan demonstrasi tetapi dengan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang tepat dan benar. Kemudian menyebarkan ilmu yang haq di kalangan umat agar muncul generasi-generasi yang berbekal ilmu. Akhirnya diharapkan nanti setiap langkah yang mereka lakukan diukur dengan ilmu syar’i yang haq. Dengan demikian akan musnahlah virus kolusi, korupsi, dan virus-virus lainnya. Wallahu A’lam Bis Shawab.

[1] Seperti pendapatnya Abdurrahman Abdul Khaliq dan konco-konconya.

[2] Orang yang bergabung dengannya disebut golongan (firqah) Saba’iyah.

[3] Mirdas bin Udayah adalah seorang Khawarij. Lihat Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzi 7/399.

[4] Mukhtashar Shahih Muslim, ta’liq Syaikh Al Albani nomor 335.

[5] Salah satu aliran dari aliran-aliran Khawarij.

[6] Shahabat, ed.

[7] Ini bukti bahwa para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya tidak mengambil kejadian itu sebagai sunnah dalam rangka mengingkari pemerintah.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Zuhair Syarif, sumber Majalah SALAFY XXVII/1419/1998/MABHATS)
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=43 publikasi ulang oleh shalafushshalih.blogger.com

Fatwa Para Ulama Besar Tentang Demonstrasi

بسم الله الرحمن الرحيم
Berkata Al-’Allamah Ibnu Khuldun -rahimahullah- : “Dan dari bab ini keadaan para pelaku resolusi/pemberontak yang melakukan perubahan terhadap kemungkaran dari kalangan orang umum dan para fuqaha, karena kebanyakan dari orang-orang yang di atas nihlah (agama panutan) untuk beribadah dan menempuh jalan agama mereka bermazhab akan bolehnya menentang orang-orang yang melampaui batas dari kalangan para umaro` (pemimpin), dengan menyeru kepada merubah kemungkaran dan melarang darinya dan memerintah terhadap pemerintah dengan ma’ruf dengan mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hal tersebut. Maka menjadi banyaklah para pengikut mereka dan orang-orang yang berpegang bersama mereka dari kalangan rakyat jelata dan orang-orang banyak dan mereka memampangkan diri-diri mereka dengan hal tersebut kepada tempat-tempat kehancuran dan kebanyakan dari mereka hancur pada jalan itu dalam keadaan berdosa tidak mendapatkan pahala, karena Allah Subhanahu tidak mewajibkan atas mereka Dan sesungguhnya yang (Allah) perintahkan dengannya hanyalah ketika ada kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Berkata (Rasulullah) Shollallahu ‘alaihi wasallam :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran maka hendaknya dia rubah dengan tangannya kemudian siapa yang tidak mampu maka dengan lisannya, siapa yang tidak mampu maka dengan hatinya”. (HR. Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudry).
{Muqaddimah Ibnu Khuldun jilid 1 hal 199}
_______________________________
Fatwa Asy-Syaikh Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullahu Ta’ala- beliau berkata sebagaimana dalam majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah edisi ke 38 halaman 210 :

“Maka uslub yang baik merupakan dari wasilah yang sangat agung di dalam menerima kebenaran dan uslub yang jelek lagi kasar merupakan dari wasilah yang sangat berbahaya dalam menolak kebenaran dan tidak menerimanya atau menimbulkan kekacauan, kezholiman, permusuhan dan perkelahian. Dan masuk di dalam bab ini apa yang dilakukan oleh sebagian orang dari muzoharot (demonstrasi) yang menyebabkan kejelekan yang sangat besar terhadap para da’i. Maka pawai-pawai di jalan dan berteriak-teriak itu bukanlah jalan untuk memperbaiki dan (bukan pula jalan) dakwah, maka jalan yang benar adalah dengan berkunjung dan menyurat dengan sesuatu yang paling baik kemudian engkau menasihati pemerintah, gubernur dan pimpinan qobilah dengan jalan ini bukan dengan kekerasan dan demonstrasi. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam menetap 13 tahun di Mekkah beliau tidak menggunakan demonstrasi dan tidak pula pawai-pawaian dan tidak mengancam manusia akan dihancurkan harta mereka dan dilakukan ightiyal terhadap mereka. Dan tidak diragukan bahwa uslub seperti ini berbahaya bagi dakwah dan para da’i dan menghambat tersebarnya dakwah dan menyebabkan para penguasa dan orang-orang besar memusuhinya dan menentangnya dengan segala kemampuan. Mereka menginginkan kebaikan dengan uslub ini (uslub yang jelek yang disebutkan di atas) akan tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, maka seorang da’i kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hendaknya menempuh jalan para Rasul dan para pengikutnya walaupun waktu menjadi panjang itu lebih baik daripada suatu amalan yang membahayakan dakwah dan membuatnya sempit atau menyebabkan dakwah itu habis sama sekali dan La Haula Wala Quwwata Illa Billah.

Kemudian Syeikh Bin Baz –rahimahullahu Ta’ala- juga ditanya sebagaimana dalam kaset yang berjudul Muqtathofat min Aqwalil ‘Ulama :

Pertanyaan : “Apakah demonstrasi laki-laki dan perempuan menentang pemerintah dan penguasa dianggap wasilah dari wasilah dakwah, dan apakah orang yang mati dalam demonstrasi itu dianggap mati syahid di jalan Allah ?”.
Maka beliau menjawab : “Saya tidak melihat demonstrasi perempuan dan laki-laki merupakan obat (baca : penyelesaian), akan tetapi demonstrasi itu merupakan sebab fitnah, sebab kejelekan dan sebab kezholiman dan pelampauan batas sebagian manusia kepada sebagian manusia (yang lainnya) tanpa kebenaran. Akan tetapi sebab-sebab yang disyari’atkan adalah dengan menyurat, menasehati dan berdakwah berdakwah kepada kebaikan dengan jalan keselamatan demikianlah ditempuh oleh para ulama dan demikian (pula yang ditempuh) oleh para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikut mereka dengan baik dengan menyurat dan berbicara langsung kepada orang-orang yang bersalah, kepada pemerintah dan kepada penguasa dengan menghubunginya, menasehatinya, mengirim surat untuknya tanpa menyebarluaskannya di atas mimbar dan lain-lainnya bahwa dia telah mengerjakan begini dan sekarang telah menjadi begini, Wallahul Musta’an.
_____________________________
Fatwa Fadhilatusy Syeikh Al-’Allamah Faqihuz Zaman Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin –rahimahullah-.
Pertanyaan : “Apakah muzhoharoh dianggap wasilah dari wasilah dakwah yang disyari’atkan ?”.
Beliau menjawab : “Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin Washollallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala Alihi Washahbihi Wasallama Waman Taba’ahum bi Ihsanin ila Yaumiddin, amma ba’du :
Sesungguhnya demonstrasi adalah perkara baru dan tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shollallahi ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tidak pula di zaman Al-Khulafa Ar-Rosyidin dan tidak pula di zaman shahabat –radhiallahu Ta’ala ‘anhum-. Kemudian didalamnya terdapat kekacauan dan keributan yang menyebabkannya menjadi perkara yang terlarang tatkala terdapat didalamnya penghancuran kaca, pintu dan lain-lainnya dan terdapat didalamnya percampurbauran antara laki-laki dan perempuan, pemuda dan orang tua dan yang semisal dengannya dari kerusakan dan kemungkaran. Adapun masalah menekan terhadap pemerintah, maka kalau pemerintah ini adalah pemerintah muslimah maka cukuplah yang menjadi nasehat untuknya Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shollallahi ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan ini adalah sebaik-baik apa yang diperuntukkan untuk seorang muslim. Adapun kalau pemerintahannya pemerintahan kafir, maka dia tidaklah memperhatikan mereka orang-orang yang berdemonstrasi itu dan dia akan berbuat baik secara zhohir dan dia menyembunyikan kejelekan di dalam batinnya, karena itulah kami melihat bahwa demonstrasi itu adalah perkara mungkar. Adapun perkataan mereka bahwa demonstrasi ini adalah keselamatan, maka kadang ia merupakan keselamatan di awal perkara atau di awal kali kemudian menjadi pengrusakan dan saya menasihatkan para pemuda untuk mengikuti jalan orang-orang yang telah lalu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji atas kaum Muhajirin dan Anshor dan memuji orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
{Lihat : Al-Jawaban Azhhar karya Fu’ad Siroj halaman 79}.
___________________________________
Fatwa Syeikh Al-’Allamah Sholeh bin Ghoshul -rahimahullah-. Syeikh Sholeh bin Ghoshul merupakan salah seorang anggota Hai`ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia. Beliau ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut :
“Pada dua tahun yang lalu kami mendengar sebagian para da’i mendengung-dengungkan seputar permasalahan wasilah dakwah dan mengingkari kemungkaran dan mereka memasukkan ke dalam wasilah dakwah tersebut demonstrasi, ightiyal dan pawai dan sebagian di antara mereka kadang-kadang memasukkannya ke dalam bab jihad Islami.
1.    Kami mengharap penjelasan apabila perkara-perkara ini termasuk wasilah yang disyari’atkan atau masuk di dalam lingkaran bid’ah yang tercela dan wasilah yang terlarang.
2.    Kami memohon penjelasan tentang mu’amalah syar’i bagi orang-orang yang berdakwah kepada amalan-amalan ini dan berkata dengannya serta menyeru kepadanya”.
Maka beliau menjawab : “Alhamdulillah sudah dimaklumi bahwa bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar, dakwah dan memberikan wejangan merupakan pokok dari agama Allah ‘azza wa Jalla, akan tetapi Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam muhkam kitabNya Al-’Aziz :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125).
Dan tatkala (Allah) ‘Azza wa Jalla mengutus Musa dan Harun kepada Fir’aun, Allah berfirman :
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thoha : 44).
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam datang dengan hikmah dan beliau memerintahkan untuk menempuh dakwah yang hikmah dan berhias dengan kesabaran, ini dalam Qur`an Al-’Aziz dalam surah Al-’Ashr :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dengan seluruh nama-nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-‘Ashr : 1-3).
Maka seorang da’i kepada Allah ‘Azza wa Jalla, orang yang memerintah kepada yang ma’ruf dan orang yang mencegah dari kemungkaran hendaknya berhias dengan kesabaran dan wajib atasnya untuk mengharapkan pahala dan balasan dan wajib pula atasnya untuk bersabar terhadap apa yang dia dengar atau apa yang dia dapatkan (dari kesulitan) dalam jalan dakwahnya. Adapun seorang manusia menempuh jalan kekerasan dan menempuh jalan –wal’iyadzubillah- mengganggu manusia, jalan, kekacauan atau jalan perbedaan, perselisihan dan memecah kalimat maka ini adalah perkara-perkara syaitoniyah dan ia merupakan pokok dakwah Al-Khawarij. Ini pokok dakwah Al-Khawarij, mereka itulah yang mengingkari kemungkaran dengan pedang atau dengan benda tajam dan mengingkari perkara-perkara yang mereka tidak berpendapat dengannya atau menyelisihi keyakinan mereka, mengingkarinya dengan pedangnya, menumpahkan darah, mengkafirkan manusia dan seterusnya dari berbagai macam perkara. Maka beda antara dakwah para shahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan Salaf Ash-Sholeh dan antara dakwah orang-orang Khawarij dan orang yang menempuh manhaj mereka serta berjalan di atas jalan mereka. Dakwah para shahabat dengan hikmah dan dengan maw’idzoh, menjelaskan kebenaran, bersabar, berhias dengan baik dan mengharapkan pahala dan balasan. Dan dakwah Khawarij memerangi manusia, menumpahkan darah mereka, mengkafirkan mereka, memecah belah kalimat dan merobek barisan kaum muslimin dan ini adalah pekerjaan yang keji dan perbuatan yang baru (bid’ah). Maka yang paling pantas bagi orang-orang yang menyeru kepada perkara ini hendaknya mereka menjauhi dan mereka dijauhi dan berjeleksangka kepada mereka mereka itu memecah belah kalimat kaum muslimin. Al-Jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah siksaan dan adzab, wal’iyadzubillah. Dan andaikata penduduk suatu negara bersatu di atas kebaikan dan bersatu di atas satu kalimat, maka niscaya mereka akan mempunyai kedudukan dan mereka akan mempunyai wibawa. Akan tetapi penduduk negara sekarang berpartai-partai dan berkelompok-kelompok, mereka berpecah, berselisih dan masuk kepada mereka musuh-musuh dari diri mereka sendiri sebagian dari mereka atas sebagian yang lainnya dan ini adalah jalan yang bid’ah, jalan yang keji dan jalan yang seperti yang telah lalu bahwa ini adalah jalan orang-orang yang memecah belah tongkat dan memerangi amir/pimpinan ‘Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan orang-orang yang bersama beliau dari para shahabat dan Ahli Bai’atir Ridwan (orang-orang yang melakukan bai’at Ridwan). Mereka memeranginya menginginkan dengannya kebaikan dan mereka adalah gembong kerusakan dan bid’ah dan gembong perpecahan. Mereka itulah yang memecahkan kalimat kaum muslimin dan melemahkan sisi kaum muslimin dan demikian pula sampai yang berkeyakinan dengannya dan membangun bangunannya di atasnya dan menganggap hal tersebut baik, maka orang yang seperti ini jelek keyakinannya dan wajib untuk dijauhi. Dan ketahuilah –wal’iyadzubillah- bahwa seseorang itu berbahaya bagi ummat dan bagi teman-teman duduknya ………” .
{Dari majalah Safinah An-Najah edisi ke-2 bulan Juli 1997}
__________________________
Fatwa Syeikh Al-‘Allamah Ahmad An-Najmy –hafizhohullahu Ta’ala-
Beliau berkata di dalam kitab beliau Maurid Al-‘Adzbi Az-Zilal halaman 228 dalam menjelaskan kritikan terhadap Ikhwanul Muslimin, beliau berkata :
“Kritikan yang ke-23 : Tandzhim, pawai dan demonstrasi dan Islam tidak mengenal perbuatan ini dan tidak menetapkannya bahkan itu adalah perbuatan yang muhdats/baru (bid’ah) dari amalan orang-orang kafir dan telah diimpor dari mereka kepada kita. Apakah setiap kali orang kafir beramal dengan suatu amalan kita menyeimbanginya dan mengikuti mereka ???, sesungguhnya Islam tidaklah mendapatkan pertolongan dengan pawai dan demonstrasi akan tetapi Islam akan mendapatkan pertolongan dengan jihad yang dibangun  di atas ‘aqidah yang shohihah dan jalan yang disunnahkan oleh Muhammad bin ‘Abdillah Shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan para Rasul dan pengikutnya telah diuji dengan berbagai macam cobaan dan tidaklah mereka diperintah kecuali dengan kesabaran. Ini Nabi Musa ‘alaihissalam beliau berkata kepada Bani Israil bersamaan dengan apa yang mereka dapatkan dari Fir’aun dan kaumnya berupa pembunuhan laki-lakidari anak-anak yang baru dilahirkan dan menghidupkan yang perempuan, Nabi Musa berkata kepada mereka sebagaimana yang dikhabarkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla wa Jalla Musa berkata kepada kaumnya :

اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-A’raf : 128).
Dan ini Rasulullah Shollalahu ‘alaihi wasallam beliau berkata kepada sebagian para shahabatnya tatkala mereka mengadukan kepada beliau apa yang mereka dapatkan dari gangguan kaum musyrikin (beliau berkata) :

قد كان من قبلكم يؤخذ الرجل فيحفر له في الأرض فيجعل فيها فيجاء بالمنشار فيوضع على رأسه فيجعل نصفين ويمشط بأمشاط الحديد ما دون لحمه وعظمه فما يصده ذلك عن دينه والله ليتمن هذا الأمر حتى يسير الراكب من صنعاء إلى حضرموت لا يخاف إلا الله والذئب على غنمه ولكنكم تستعجلون.
“Sesungguhnya ada di antara orang-orang sebelum kalian didatangkan sesorang dari mereka kemudian diletakkan gergaji di atas dahinya sampai dibelahlah antara kedua kakinya dan tidaklah hal tersebut menahan mereka dari agama mereka. Dan demi Allah sungguh Allah akan menyempurnakan perkara ini sampai seseorang berjalan sari Shon’a menuju Hadramaut dan dia tidak takut kecuali Allah dan srigala berada di atas kambing-kambingnya akan tetapi kalian sangat tergesa-gesa”. (HR. Al-Bukhari dari shahabat Khobbab Ibnul Aroth)
Maka beliau tidak memerintahkan shahabatnya melakukan demonstrasi dan tidak pula ightiyal”.
_______________________________
Fatwa Syeikh Sholeh Al-Atram -’afahullah- dan beliau adalah salah seorang anggota Hai’ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia, beliau ditanya tentang hukum demonstrasi dan apakah itu merupakan wasilah dakwah. Beliau menjawab :
“Tidak, ini merupakan wasilah syeiton”, kemudian beliau berkata bahwa : “Orang-orang Khawarij yang kudeta terhadap ‘Utsman pada mereka itulah ada muzhaharoh/demonstrasi”.
_______________________________
Syaikh Sholeh Al-Fauzan, salah seorang ulama besar di Timur Tengah dan merupakan anggota Al-Lajnah Ad-Daimah dan Hai’ah Kibarul ‘Ulama, pada malam senin tanggal 2 Safar 1423 H bertepatan tanggal 17 April 2002 dalam acara pertemuan terbuka yang disebarkan melalui Paltalk beliau dengan nash sebagai berikut
Pertanyaan :
Apa hukum demonstrasi-demonstrasi, apakah dia termasuk bagian dari jihad fii sabilillah ?
Beliau menjawab :
“Demonstrasi tidak ada faidah didalamnya, itu adalah kekacauan, itu adalah kekacauan dan apa mudharatnya bagi musuh kalau manusia melakukan demonstrasi di jalan-jalan dan (berteriak-teriak) mengangkat suara ? bahkan perbuatan ini menyebabkan musuh senang seraya berkata sesungguhnya mereka telah merasa mendapatkan kejelakan dan meresa mendapatkan mudharat dan musuh gembira dengan ini. Islam adalah agama sakinah (ketenangan), agama hudu` (ketentraman), dan agama ilmu bukan agama kekacauan dan hiruk pikuk, sesungguhnya dia adalah agama yang menghendaki sakinah dan hudu` dengan beramal dengan amalan-amalan yang mulia lagi majdy (tinggi,bermanfaat) dengan bentuk menolong kaum muslimin dan mendo’akan mereka, membantu mereka dengan harta dan senjata, inilah yang majdy dan membela mereka di negara-negara supaya diangkat dari mereka kezholiman dan meminta kepada negara-negara yang menggembar-gemborkan demokrasi untuk memberikan kepada kaum muslimin hak meraka, dan hak-hak asasi manusia yang mereka membanggakan diri dengannya, tetapi mereka itu menganggap bahwa manusia itu hanyalah orang kafir adapun muslim disisi mereka bukan manusia bahkan teroris. Mereka menamakan kaum muslimin sebagai gerombolan teroris. Dan manusia yang punya hak-hak asasi hanyalah orang kafir menurut mereka !.
Maka wajib bagi kaum muslimin untuk bermanhaj dengan manhaj islam pada kejadian-kejadian yang sepeti ini dan yang selainnya. Islam tidak datang dengan demonstrasi, hirup pikuk dan berteriak-teriak atau menghancurkan harta benda atau melampaui batas. ini semuanya bukan dari islam dan tidak memberikan faidah bahkan memberikan mudharat bagi kaum muslimin dan tidak memberikan mudharat bagi  musuh-musuhnya. Ini memudharatkan kaum muslimin dan tidak memudharatkan musuh-musuhnya bahkan musuhnya gembira dengan hal ini dan berkata : saya telah membekaskan pengaruh (jelek) pada mereka, saya telah membuat mereka marah dan saya telah membuat mereka merasa mendapat pengaruh jelek”.
[Dikutip dari majalan An-Nasihah dengan beberapa perubahan]

sumber : al-atsariyyah.com/?p=574 dipublikasi ulang shalafushshalih.blogger.com